Mubadalah.id – Dalam penanganan kekerasan terhadap anak, peraturan yang dapat digunakan adalah Undang-undang UU Perlindungan Anak.
Misalnya penerapan UU Perlindungan Anak ini dalam kasus pernikahan Pujiono Cahyo Widianto dengan Lutfiana Ulfa tahun 2008 yang saat itu berusia 12 tahun. (Baca juga: Penjelasan Hak Anak dalam Kitab Klasik)
Puji secara pidana telah menyalahi UU Perlindungan Anak dan mengabaikan hak-hak Lutfiana Ulfa sebagai seorang anak untuk mengenyam pendidikan, mendapatkan perlindungan dari beragam dampak buruk perkawinan anak, menikmati masa kanan-kanak, di antara haknya lainnya.
Sebenarnya, soal perkawinan itu, menurut Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Fikih Hak Anak, masuk ke dalam ranah perdata. (Baca juga: Halaqah KUPI II di Medan Pertemukan Para Ulama Perempuan Region Sumatra)
Namun, jika melihatnya dari perspektif hak anak, maka kasus pelanggarannya dapat membawanya ke ranah pidana karena termasuk ke dalam kekerasan terhadap anak dan kasus hukumnya di proses dengan menggunakan UU Perlindungan Anak.
Isu kekerasan terhadap anak juga secara lebih spesifik tertuang ke dalam Strategi Nasional Pencegahan Kekerasan terhadap Anak (Stranas PKTA) 2016-2020.
Di dalam Stranas PKTA telah mencakupi enam strategi utama, arah dan strategi tujuan, serta mekanisme pelaksanaan dan evaluasi pelaporan.
Namun, masalahnya Stranas PKTA ini tidak/belum negara lain adopsi, walaupun strateginya telah KPPPA sosialisasikan. Ini berarti strategi nasional KPTA tidak memiliki payung hukum untuk implementasinya. (Rul)