Mubadalah.id – Membicarakan kejadian-kejadian di sekolah, miris jika mendengar adanya kasus kekerasan seksual di dalamnya. Baru-baru ini, media berita mengabarkan, terdapat kasus kekerasan seksual di lingkup sekolah. Pelakunya adalah seorang guru dengan kejahatannya melakukan pencabulan terhadap siswi sejumlah 45 anak. 10 di antaranya menjadi korban perkosaan. Peran guru sebagai pendidik patut kita pertanyakan kembali.
Pasalnya, kejahatan seksual yang seorang guru lakukan menggunakan dalih tes kedewasaan dan kejujuran dalam proses pemilihan OSIS di sekolah. Hal ini menjadi tanda kutip, sudahkah sekolah menjadi ruang aman dan nyaman untuk peserta didik?
Sudahkah setiap peran guru turut mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual di sekolah? Kejadian di atas dapat menjadi gambaran, ternyata belum tentu sekolah menjadi ruang yang aman dan nyaman untuk peserta didik dalam proses belajarnya. Hal ini menjadi bahan refleksi, khususnya untuk para guru yang bertemu secara langsung dengan peserta didik.
Mengapa Kasus Kekerasan Seksual Terjadi di Sekolah
Beberapa faktor yang menjadi penyebab kasus kekerasan seksual, antara lain adanya relasi kuasa dan ketimpangan gender. Relasi kuasa ini muncul dari pemikiran yang menganggap peran guru memiliki posisi sangat kuat sehingga berhak untuk mengontrol secara lebih jauh terhadap kondisi peserta didik.
Relasi kuasa juga menganggap bahwa siswa perempuan harus mengikuti instruksi guru apapun yang dikatakan. Kekerasan seksual di sekolah ketika kita bedah, korban tidak memiliki langkah untuk menolak karena motif yang pelaku gunakan adalah perintah guru.
Maka, mau tidak mau sebagai seorang murid yang terbiasa dengan narasi setiap perkataan guru harus kita gugu, akan menuruti perkataan guru. Sistem tersebut harus kita dobrak dengan pemahaman kalau murid bukan seseorang yang dengan mudahnya dilibatkan dalam keinginan guru, apalagi yang sifatnya kejahatan.
Publik juga jangan sampai menyalahkan posisi korban dengan melabelkan pernyataan, “Salahnya siapa mau diajak guru untuk tes kedewasaan dan kejujuran”, “Salah siapa mau daftar jadi anggota OSIS”, atau pernyataan lain yang bersifat menyalahkan korban. Sekali lagi, kasus kekerasan seksual adalah salahnya pelaku, bukan salah korban dan tidak pantas kalimat menyalahkan korban diucapkan kepada korban.
Guru memiliki peran aktif sangat penting dalam mendorong perkembangan peserta didik melalui proses belajar dan mengajar. Tentunya, kondisi peserta didik kita pastikan merasa aman dan nyaman dalam menerima pelajaran di sekolah. Jangan ada diskriminatif yang menyebabkan ketimpangan gender.
Ketimpangan Gender
Beberapa contoh ketimpangan gender di sekolah, seperti pemilihan ketua kelas atau ketua osis yang hanya dinobatkan kepada laki-laki. Konon katanya, laki-laki memiliki jiwa kepemimpinan tegas, sedangkan perempuan mendapat label dengan sifatnya yang lemah dan tidak tanggap.
Contoh lainnya, saat mata pelajaran olahraga. Masih kita temukan kasus siswa laki-laki diberi kebebasan untuk melakukan olahraga seperti halnya sepak bola. Sedangkan siswa perempuan hanya kita berikan ruang untuk duduk-duduk saja atau menjadi penonton.
Perspektif adil gender merupakan sebuah langkah yang dapat kita lakukan untuk menekan adanya ketimpangan gender. Praktik ketimpangan gender dapat menggiring pemikiran bahwa laki-laki memiliki posisi sangat kuat di sekolah. Sedangkan perempuan lekat dengan labelnya memiliki sifat yang lemah dan peran nomor dua.
Pemahaman konsep gender yang salah ini memunculkan perlakuan tidak tepat di sekolah. Sehingga masih kita temukan, perlakuan guru terhadap siswa yang mencerminkan guru tersebut memang belum paham mengenai prespektif adil gender. Hal di bawah ini dapat menjadi catatan untuk para guru tentang perspektif adil gender adalah suatu hal yang bersifat urgensi untuk kita pahami.
Setiap Murid adalah Guru
Kalimat ini dapat menjadi langkah awal seorang guru turut berperan aktif dalam mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual di sekolah. Jangan sampai, guru memiliki narasi yang menganggap murid adalah anak yang harus menuruti kemauan guru tanpa mempertimbangkan baik buruknya untuk murid.
Guru juga harus memahami, bahwa tidak semua anak memiliki kenyamanan terhadap apa yang guru perintahkan. Murid adalah seseorang yang memberikan pelajaran bagaimana menjadi guru maslahat dan memberikan kenyamanan untuk peserta didik. Sehingga, timbul kesalingan dan atmosfer yang ramah dalam proses belajar mengajar.
Pentingnya Guru Memiliki Perspektif Adil Gender
Pendidikan berbasis adil gender merupakan strategi rasional dan sistematis untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender dalam lingkup sekolah. Melalui kebijakan dan program yang guru lakukan, harapannya dapat menekan terjadinya kasus kekerasan seksual di sekolah.
Misalnya, dengan memberikan ruang kebebasan supaya perempuan dapat memiliki akses untuk menjadi ketua kelas, memberikan ruang untuk siswa perempuan dan laki-laki memiliki proses belajar yang sama tanpa ada diskriminasi. Selain itu, menghindari kalimat yang mengobjektifikasi tubuh perempuan. Melalui perspektif adil gender ini harapannya kasus kekerasan seksual tidak lagi terjadi, dan sekolah menjadi ruang aman untuk peserta didik. []