Mubadalah.id – Cara pandang dikotomis dengan mempertentangkan dua hal berbeda, seringkali mengabaikan kemungkinan keduanya bisa terjadi bersamaan. Bahkan, menjadi dua dimensi berbeda yang niscaya atas sesuatu yang sama. Misalnya kategori ibadah dan muamalah. Cara pandang dikotomis akan menyimpulkan bahwa perbuatan manusia kalau tidak masuk kategori ibadah (hubungan antara manusia dengan Allah), pasti masuk Muamalah (antar sesama manusia).
Padahal setiap tindakan manusia meniscayakan relasinya dengan sesama manusia. Karenanya setiap individu mesti mempertimbangkan apakah tindakannya juga maslahat bagi orang lain sebagai sesama manusia, bahkan sesama makhluk. Di samping itu, setiap tindakan individu juga mesti bisa dipertanggungjawabkan pada Allah Swt, yang menghendaki manusia jadi anugerah (rahmat) bagi semesta.
Ibadah Haji misalnya. Ada dimensi muamalah yang menjanjikan kesejahteraan ekonomi tidak hanya bagi masyarakat Muslim, tapi juga yang lain. Bayangkan perputaran modal yang terjadi dari aspek transportasi, akomodasi, dan konsumsi. Belum lagi aspek walimah sampai dengan oleh-oleh. Kemana larinya keuntungan finansial spektakuler peristiwa haji? Tentu pada mereka yang memahami ilmu dan menguasai sistem ekonomi dengan baik.
Dan akan terus begitu. Selama masyarakar Muslim memandang ilmu ekonomi tidak penting dan hanya Fiqh yang penting, ya selama itu pula kita hanya akan memandang sah tidaknya haji sebagai hal terpenting bahkan satu-satunyanya yang penting dari haji.
Takdir dan Ikhtiar
Pandangan dikotomis atas konsep Takdir Allah dan Ikhtiar manusia juga kerap terjadi. Ada dua pandangan yang paling menonjol dalam hal ini:
Kaum Jabariyah meyakini bahwa nasib manusia bahkan perbuatannya ditentukan oleh Allah. Menurutku pandangan ini perlu dipahami secara hati-hati. Ia bisa digunakan untuk ngeles dari tanggungjawab atas kejahatan yang dilakukan seseorang. Perampok akan ngeles, ‘Coba kalau Allah menghendaki saya tidak jadi perampok, pasti saya tidak akan jadi perampok’.
Juga perempuan korban kekerasan kerap digiring untuk sabar menjalani takdir Allah. Sementara laki-laki sebagai pelaku tidak diperingatkan untuk sabar agar tidak main pukul dan sabar jika istrinya sakit keras untuk kerja lebih keras, bukan malah berpaling pada yang lain demi mencari kesenangan diri yang bisa membuat istri semakin komplit sakit keras lahir dan batin, komplit juga karena tidak hanya istri melainkan anak-anak juga mengalami kepedihan.
Cara berfikir seperti ini sebetulnya sering muncul dalam menghadapi bencana alam. Penguasa berwenang kerap meyakinkan masyarakat bahwa bencana ini adalah kehendak Allah. Tentu tidak masalah selagi tidak digunakan sebagai cara ngeles bahwa bencana terjadi bukan karena salah kelola dalam kebijakan-kebijakan strategis.
Sebaliknya kaum Qodariyah mengatakan bahwa nasib dan perbuatan manusia sepenuhnya adalah pilihan mereka. Hati-hati juga karena ini bisa berujung kesombongan. Terutama saat sukses sehingga meyakini bahwa semua prestasi yang diraihnya semata-mata karena usahanya sendiri. Pihak lain tidak ikut andil, bahkan Allah!
Semua yang terjadi pada manusia adalah perpaduan antara takdir (ketentuan Allah) dan ikhtiar (pilihan manusia). Ibarat mobil, kata Fazlur Rahman, kecepatan maksimal yang dimilikinya adalah “takdir” mobil yang ditentukan pabrik pembuatnya. Sementara kecepatan mobil antara 0 KM hingga maksimal KM adalah wilayah ikhtiar mobil.
Kata Cak Nun, petinju kalau menang pasti ada sebagian honor yang jadi hak pelatih. Padahal dia hanya melatih. Bayangkan berapa yang harus dibayar untuk Allah yang telah kasih otak pada petinju dan pelatih untuk memikirkan strategi, kaki petinju untuk berdiri saat tinju, tangan untuk nonjok lawan, dll.
Sistem Reproduksi
Tidak satu pun manusia memilih lahir dalam kondisi seperti apa. Termasuk berjenis kelamin apa. Perbedaan sistem biologis antara laki-laki dan perempuan termasuk sistem reproduksi adalah Allah yang menentukan. Sistem reproduksi meliputi perbedaan organ/unsur, fungsi, durasi, dan dampak adalah dari Allah! Karena itu merendahkan salah satu sistem reproduksi sama saja merendahkan Dzat yang menciptakannya.
Bagaimana dengan menilai dan menggunakan sistem tersebut? Jelas masuk wilayah ikhtiar manusia. Misalnya:
Pertama, Apakah menilai bahwa sistem reproduksi perempuan yang berdarah-darah dan terjadi secara periodik (menstruasi) setiap kurang lebih sebulan sekali selama kurang lebih seminggu yang disertai dengan rasa sakit (adza), hamil (9 bulanan) dan melahirkan yang disertai dengan kurhan (payah) dan wahnan ala wahnin (payah dan sakit berlipat2), nifas (kurang lebih 40 hari) yang disertai dengan pendarahan, dan menyusui (kurang lebih 2 tahun) itu lebih hina atau justru lebih agung daripada sistem reproduksi laki-laki yang hanya mengeluarkan sperma saat mimpi basah dan hubungan seksual, yang berlangsung cuma menitan, dan berdampak nikmat.
Kedua, Apakah perbedaan sistem reproduksi itu akan dijadikan alasan untuk meminggirkan perempuan dari wilayah publik? atau alasan untuk menciptakan wilayah publik yang aman dan nyaman bagi perempuan saat menjalani masa reproduksi atau mencegah kekerasan seksual terutama perkosaan yang membuat perempuan semakin terpuruk karena wahnan ala wahnin tidak hanya biologis tapi juga psikhis?
Ketiga, Apakah perbedaan siatem reproduksi ini menjadi alasan untuk menjadikan perempuan sebagai mesin pembuat anak atau sekedar alat pemuas seksual sehingga bisa dipakai sewaktu-waktu tanpa ditanya sedang ingin hubungan seksual atau tidak, ingin hubungan seksual dengan cara seperti apa, sedang ingin hubungan seksual berakhir dengan kehamilan atau tidak, ingin berapa kali hamil, atau ditanya dan dipastikan ikut menikmati hubungan seksual dan dampak jangka pendek dan panjangnya,
Keempat, Apakah dijadikan alasan untuk mencegah zina sehingga dinikahkan segera atau alasan untuk mendidik kesehatan dan tanggungjawab reproduksi keduanya sejak dini?
Kelima, apakah dijadikan alasan untuk menjaga alat kelamin perempuan selengkap dan sesempurna mungkin sebagaimana Allah ciptakan dengan kerumitan sistem syaraf, sistem sel pembuluh darah, sistem otot, dll untuk mendukung fungsi reproduksi perempuan yang kompleks dan lama serta berturut-turut dan bisa berulang-ulang? Sehingga tidak melakukan perlukaan apalagi pemotongan atasnya?
Dan tidak menjadikan kemaslahatan alat kelamin laki-laki yang hanya punya fungsi sebagai saluran air seni, cairan mani, dan sperma, sebagai standard keemaslahatan alat kelamin perempuan yang tidak hanya sebagai saluran air seni, dan cairan vagina, melainkan juga darah menstruasi yang disertai gumpalan, darah nifas yang gumpalannya lebih besar, bahkan bayi.
Tentu Islam memberi tuntunan untuk menggunakan tubuh sendiri dan tubuh orang lain, termasuk sistem reproduksinya, secara halalan (diijinkan agama), thayyiban (baik, yakni untuk diri sendiri dengan segala keunikannya secara lahir dan batin), wa ma’rufan (layak/pantas/etik sebagai bagian dari unit sosial).
Sejarah kehadiran Islam adalah juga sejarah revolusi atas kemanusiaan perempuan, mengubah cara pandang manusia atas perempuan sebagai objek menjadi subjek penuh, menjadikan perempuan sebagai standar atas kemanusiaan mereka, mengajarkan cara menilai dan menyikapi pengalaman khas biologis perempuan bukan sebagai alasan untuk menistakan tapi sebaliknya sebagai alasan respek dan berterimakasih pada perempuan sebagai ibu kehidupan!
Allah memberikan modal dengan aneka karunianya pada manusia. Kita dipercaya untuk memiliki tubuh termasuk organ reproduksi, harta, kekuasaan, kesehatan, keselamatan, anak, suami/istri, keluarga, lingkungan hidup, dan lainnya. Kelak kita akan Allah mintai perpertanggungjawaban atas pengelolaannya.
Semoga kita mampu menjalankan amanah Allah dalam bentuk apapun agar bisa maslahat bagi sendiri sekaligus pihak lain seluasnya. []