Mubadalah.id – Dalam banyak hadis, perceraian disebut sebagai perbuatan yang sangat dibenci Allah SWT. Nabi Muhammad SAW sendiri bahkan dalam keadaan rumah tangga yang sulit pun tidak mudah mengambil jalan talak. Sayangnya, begitu masuk ke ranah fikih, urusan perceraian ini justru terasa begitu longgar dan sepenuhnya berada di tangan laki-laki.
Dalam fikih klasik, suami dapat menjatuhkan talak kapan saja, di mana saja, dalam keadaan apa pun. Bahkan tanpa peduli bagaimana kondisi perempuan.
Padahal, para ulama sepakat bahwa menceraikan istri ketika sedang haid itu hukumnya haram. Namun mereka tetap menganggap talaknya sah dan berlaku. Akibatnya, lagi-lagi perempuan yang harus menanggung kerugian dari keputusan sepihak itu.
Lebih jauh, kita bisa melihat betapa rumit atau barangkali malah tak masuk akal hukum fikih soal talak ini. Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah dalam kitab Ath-Thuruq al-Hakimah fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah mencatat pendapat sejumlah ulama mengenai kasus talak tanpa penyebutan nama.
Jika seorang laki-laki yang punya empat istri berkata, “Aku ceraikan istriku,” tanpa memperjelas siapa, menurut Ibn Hanbal maka keempat istri itu harus ia undi siapa yang keluar namanya, dialah yang dianggap dicerai.
Imam Malik lebih tegas: talak itu jatuh kepada semua istri sekaligus. Sedangkan Abu Hanifah punya pendapat unik yaitu suami boleh terus menggauli keempat istrinya. Lalu saat ia menggauli salah satu, talak dialihkan ke istri lainnya, begitu seterusnya sampai istri terakhir yang akhirnya benar-benar diceraikan.
Kisah-kisah seperti ini menyingkap betapa hukum sering kali lebih taat pada konstruksi sosial dan kepentingan laki-laki daripada menghadirkan semangat keadilan yang seharusnya menjadi inti ajaran agama.
Seperti dalam pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah, kita perlu terus mengkritisi tafsir-tafsir fikih yang lebih menuruti budaya patriarkal daripada nilai rahmah yang telah Islam bawa. []