Mubadalah.id – Pendidikan merupakan salah satu hak dasar setiap orang. Pendidikan memungkinkan manusia untuk hidup bermartabat dan sebagai warga negara yang terlibat. Perkembangan sosial dan ekonomi keluarga secara keseluruhan sangat bergantung pada pendidikan. Meskipun pendidikan meningkat dalam beberapa tahun terakhir, anak perempuan masih menderita dari ketidakberuntungan dan pengucilan dari sistem Pendidikan. Begitu juga nasib yang menimpa perempuan Afghanistan.
Menurut laporan UNICEF (2015), hampir 31 juta anak perempuan usia sekolah dasar dan 32 juta anak perempuan usia sekolah menengah pertama tidak bersekolah. Pendidikan adalah hak intrinsik anak perempuan, serta pengungkit penting yang akan membantu dalam mencapai tujuan perkembangan lainnya.
Mendidik anak perempuan pasti akan memutus siklus kemiskinan. Akan ada lebih sedikit kemungkinan pernikahan dini yang tidak kita inginkan pada gadis-gadis berpendidikan. Jadi mereka akan lebih kecil kemungkinannya untuk meninggal saat melahirkan. Lebih mungkin memiliki bayi yang sehat dan pasti akan menyekolahkan anaknya juga. Ketika ada kesempatan bagi setiap anak untuk memiliki akses ke pendidikan berkualitas yang berakar pada hak asasi manusia dan kesetaraan gender, hal itu menimbulkan efek riak kesempatan yang mempengaruhi generasi yang akan datang.
Namun, kesempatan untuk mengenyam pendidikan bagi anak perempuan tidak terasa secara merata dan bebas di Negara Afghanistan. Afghanistan adalah negara bersejarah. Di mana sejarah pendidikannya selalu penuh dengan masalah, terutama di pihak perempuan. Tidak ada konsep sekolah perempuan dan sebagian besar pendidikan agama mereka berikan di dalam rumah.
Afghanistan dan Kerusakan Sektor Pendidikan
Perang saudara selama tiga dekade telah menghancurkan setiap sektor di Afghanistan terutama pendidikan yang paling banyak rusak. Sekolah-sekolah dirusak dan dibakar. Orang-orang bermigrasi ke berbagai negara, terutama mereka yang terpelajar telah meninggalkan Afghanistan lebih awal karena adanya peperangan tersebut.
Menurut (EPD, 2011) situasi politik negara mempengaruhi akses ke pendidikan tinggi, terutama bagi perempuan Afganistan. Akses ke pendidikan tinggi sangat berkurang, setelah jatuhnya rezim komunis yang dipimpin oleh Najibullah pada tahun 1992. Di era Mujahidin pemerintah (1992-1996) akses pendidikan tinggi menjadi sangat terbatas.
Di era Taliban (1996-2001) situasi berubah dari lebih buruk menjadi lebih buruk. Pendidikan bersama dan perempuan terlarang untuk berpendidikan sampai jatuhnya pemerintahan mereka pada tahun 2001. Di pemerintahan Taliban, sekolah beroperasi, tetapi mereka hanya mengizinkan pendidikan untuk laki-laki, serta dengan tegas menolak dan melarang pendidikan bagi perempuan.
Akibatnya mayoritas perempuan Afganistan kehilangan pendidikan dan terjerumus ke dalam dunia kebodohan. Menurut BBC NEWS (2014), pada tahun 2001 tidak ada anak perempuan yang bersekolah di sekolah formal dan hanya ada satu juta anak laki-laki yang terdaftar. Setelah jatuhnya rezim Taliban dan dengan pembentukan pemerintahan baru, fokus diberikan pada pendidikan dan tidak diragukan lagi sektor pendidikan meningkat dari hari ke hari. Sekolah dibuka kembali dan ada beberapa sekolah baru yang terbangun di setiap bagian negara. Perguruan Tinggi Keguruan mereka perkenalkan di setiap provinsi dan juga di beberapa kabupaten.
Lingkaran universitas meluas ke hampir setiap provinsi. Universitas swasta semakin hari semakin bertambah jumlahnya. Namun, dengan segala perbaikan dan kemajuan tersebut, sistem pendidikan masih mengalami kesulitan terutama di bidang pendidikan perempuan. Meskipun ada peningkatan besar dalam pendaftaran selama beberapa tahun terakhir, hampir sepertiga kabupaten tidak memiliki sekolah untuk anak perempuan (Narayan, Rao & Khan, 2010).
Rendahnya Partisipasi Pendidikan Perempuan
Di beberapa bagian negara jumlah siswa perempuan setara, tetapi di sebagian besar bagian, perempuan tercabut pendidikannya. Menurut BBC NEWS (2014) hanya 26% dari populasi Afghanistan yang melek huruf dan angka tersebut menurun di kalangan perempuan yang hanya mencapai 12%. Dari anak usia sekolah, 38% (angka riil 4,2 juta) yang tidak memiliki akses ke sekolah yang sebagian besar adalah anak perempuan. Ada beberapa penyebab masalah.
Menurut laporan UNICEF (2013) penyebab terbesar rendahnya partisipasi perempuan di sekolah adalah karena kurangnya sekolah dan infrastruktur. Demikian pula, daerah-daerah yang berada di bawah kendali Taliban paling terpengaruh dan tidak memiliki sekolah perempuan sama sekali, karena mereka menentang pendidikan perempuan. Serangan pemberontak yang menentang pendidikan perempuan secara signifikan meningkatkan penutupan sekolah perempuan (UNWOMEN, 2013).
Tradisi adalah penyebab lain yang menghambat pendidikan perempuan. Mayoritas penduduk Afghanistan terdiri dari Pashtoon yang secara tradisional tidak terlalu mementingkan pendidikan perempuan. Mereka mengizinkan anak perempuan hanya untuk pendidikan dasar. Yakni belajar membaca dan menulis dasar tetapi setelah pendidikan dasar, karir pendidikan mereka mulai tidak pasti. Untuk anak perempuan, cukup membaca dan menulis dan lebih dari itu, tidak perlu (Jackson, 2011).
Dalam budaya dan tradisi mereka, perempuan tidak diperbolehkan pergi ke luar rumah, tanpa kasus yang sangat darurat. Orang-orang yang membiarkan perempuannya pergi ke luar rumah setiap hari dianggap di bawah standar di masyarakat. Kemiskinan, keamanan, dan kawin paksa adalah di antara beberapa faktor lain yang menyebabkan hambatan serius dalam pendidikan perempuan di Afghanistan.
Pendidikan Perempuan Afghanistan Setelah Kembalinya Taliban
Sudah lebih dari delapan bulan sejak Taliban merebut kembali kendali atas Afghanistan, tetapi masih belum jelas bagaimana Taliban akan memerintah atau bagaimana mereka akan diterima di panggung dunia. Namun, beberapa hal mulai menjadi jelas. Tampaknya Taliban mungkin lebih konservatif dan kejam daripada yang kita perkirakan sebelumnya.
Pembunuhan dan penindasan terhadap agama dan etnis minoritas terus berlanjut. Meskipun ada janji yang bertentangan, perempuan masih tidak mereka izinkan bersekolah di atas kelas enam. Mereka juga tidak dapat izin bekerja atau bepergian tanpa pendamping laki-laki. Pendidikan publik di Afghanistan untuk anak laki-laki dan perempuan telah menjadi persyaratan utama oleh LSM dan pemerintah untuk melanjutkan bantuan keuangan dan material ke Afghanistan.
Ketika Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021, mereka mengumumkan bahwa pendidikan untuk anak laki-laki dan perempuan di atas kelas 6 akan mereka tangguhkan. Tetapi akan berlanjut setelah tahun baru Afghanistan, yaitu 23 Maret 2022. Taliban mengatakan perlu waktu untuk merevisi kurikulum sekolah agar lebih mencerminkan nilai-nilai Islam, dan kurikulum perempuan dan seragam sekolah untuk perempuan dapat mereka kembangkan.
Pemisahan Siswa Perempuan dan Laki-laki
Taliban juga memutuskan bahwa hanya perempuan yang boleh mengajar kelas perempuan di sekolah menengah dan universitas. Diumumkan juga bahwa mata kuliah universitas dapat mahasiswi ambil, tetapi perlu ada pemisahan fisik antara siswa perempuan dan laki-laki (Jackson, 2022).
Selanjutnya pada 17 September 2021, Taliban mengumumkan bahwa sekolah akan mereka buka sesuai rencana. Namun dalam pengumuman tersebut hanya disebutkan sekolah untuk laki-laki. Tampaknya belum ada keputusan yang mereka ambil terkait pendidikan perempuan. Kemudian pada Januari 2022 Wakil Menteri Kebudayaan dan Penerangan, Zabiullah Mujahid menyampaikan kepada Associated Press bahwa pemerintah berharap dapat membuka semua sekolah pada 23 Maret 2022, tampaknya termasuk sekolah untuk perempuan.
Dia juga menekankan bahwa Afghanistan tidak memiliki kapasitas untuk mendukung pendidikan di seluruh Afghanistan dan meminta komunitas donor untuk membantu mendanai pendidikan Afghanistan. Kemudian pada Januari 2022, Penjabat Menteri Pendidikan Taliban, Nurulla Munir dan Wakil Menteri Pendidikan Abdul Hakim Hemat berjanji kepada berbagai pihak internasional bahwa Taliban tidak menentang pendidikan perempuan. Sedangkan bagi perempuan yang lebih tua, yaitu dua belas tahun atau lebih, dapat kembali ke sekolah dan mereka dapat menciptakan “lingkungan yang aman untuk anak perempuan” (Jackson, 2022).
Dektrit Terbaru Taliban
Namun, pada Desember 2022, penguasa Taliban telah mengeluarkan dekrit terbaru yang menindak hak dan kebebasan perempuan. Yaitu melarang perempuan Afghanistan untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Keputusan tersebut mereka umumkan setelah melakukan rapat pemerintah. Kemudian, sebuah surat yang dibagikan oleh juru bicara Kementerian Pendidikan Tinggi, Ziaullah Hashmi yang mengatakan kepada universitas negeri dan swasta untuk menerapkan larangan tersebut sesegera mungkin.
Salah satu kekhawatiran anggota konservatif Taliban tentang pendidikan untuk perempuan di tingkat perguruan tinggi, berkaitan dengan pakaian sekolah yang pantas bagi mereka. Taliban telah menyatakan kekhawatiran bahwa seragam sekolah yang perempuan kenakan di atas 12 tahun, dinilai terlalu terbuka. Sehingga Taliban perlu waktu untuk menemukan seragam yang pantas untuk mereka.
Beberapa pendidik perempuan Afghanistan telah menunjukkan bahwa ini adalah isu yang salah. Pashtana Durrani, seorang aktivis pendidikan dan pendiri Learn Afghanistan. Yakni LSM Afghanistan yang mempromosikan pendidikan perempuan, menunjukkan bahwa alasan seragam bukanlah hal yang perlu mereka permasalahkan. Bahkan alasan tersebut membuktikan bahwa Taliban telah merampas kebebasan dan HAM perempuan.
Isu publik perempuan, baik non-madrasah maupun sekuler, pendidikan telah menjadi isu selama beberapa dekade di Afghanistan. Dan merupakan bagian dari perdebatan yang lebih besar dibandingkan dengan peran perempuan dalam masyarakat Afghanistan pada umumnya. (bebarengan)