Mubadalah.id – Jika perempuan mampu melakukan pekerjaan untuk memenuhi nafkah keluarga, sekalipun sedang menjalankan fungsi reproduksi ataupun tidak, atau suaminya sedang tidak mampu memberi nafkah karena kesehatan atau yang lain, perempuan dibolehkan bekerja mencari nafkah bagi pemenuhan kebutuhan diri dan keluarga dengan merujuk pada prinsip awal.
Bahkan dalam keadaan tertentu, bekerja mencari nafkah bisa saja menjadi wajib. Terutama jika ada tuntutan keadaan keluarga dan sosial yang jauh lebih penting.
Pada konteks inilah, Islam memiliki preseden perempuan-perempuan pada masa Nabi Saw. yang bekerja dan memiliki harta, menafkahkan hartanya untuk suami, anak-anak, dan keluarga, bahkan untuk kepentingan masyarakat lebih luas.
Di antara yang tercatat dalam kitab Hadis adalah Zainab ats-Tsaqafiyah r.a., istri dari Sahabat terkenal Abdullah bin Mas’ud r.a. Sementara berbagai sumber sejarah juga menyebutkan nama-nama seperti Zainab bint Jahsyr.a., Qilah al-Anmariyah r.a.
Lalu ada Malkah ats-Tsaqafiyah r.a., Sa’irah al-Asadiyah r.a, asy-Syifa bint Abdullah al-Quraisyiyah r.a. Kemudian, Umm Ra’lah al-Quraisyiyah r.a, Umm Syuraik al-Ansyariyah r.a., dan yang lain.
Perempuan bisa dan boleh memenuhi nafkah keluarga dengan memperhatikan dua ketentuan yang telah digariskan al-Qur’an.
Pertama, hak-hak reproduksi perempuan untuk memperoleh perlindungan seperti pada saat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui, agar tetap sehat, selamat, dan kuat. Kedua, bekerja sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing (Ia yukallifu Allah nafs illa wus’aha).
Bekerja dan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga adalah sesuatu yang baik bagi laki-laki maupun perempuan. Namun, laki-laki harus memikul tanggung jawab lebih utama dalam hal nafkah keluarga ini. Karena perempuan memikul peran reproduksi yang tidak bisa laki-lak gantikan. []