Mubadalah.id – Perkawinan idealnya menjadi ruang saling berbagi kasih, saling mendukung, dan saling menumbuhkan antara laki-laki dan perempuan yang menjalin komitmen hidup bersama. Namun, tak jarang institusi ini justru berubah menjadi tempat pemaksaan. Terutama bagi perempuan, baik dalam bentuk tekanan untuk menikah, beban kerja domestik yang timpang, maupun keterpaksaan.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita menegaskan kembali bahwa perempuan memiliki hak penuh untuk memilih apakah ia ingin menikah atau tidak, memilih siapa pasangannya, serta menentukan syarat dan kesepakatan dalam perkawinannya.
Tujuannya sederhana tetapi sangat penting yaitu agar perempuan merasa aman, terlindungi, dan bahagia. Karena perkawinan yang sehat, sebagaimana pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir hanya bisa berdiri di atas landasan kesetaraan dan saling ridha, bukan paksaan ataupun subordinasi.
Lebih jauh, ketika bahtera rumah tangga tak lagi menghadirkan kebersamaan yang sehat, baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang setara untuk mengakhiri hubungan tersebut. Inilah yang dikenal dalam fikih Islam sebagai thalaq (cerai oleh suami) maupun khulu’ (gugatan cerai oleh istri).
Meskipun perceraian adalah hal yang tidak disukai dalam pandangan Islam—sebagaimana dijelaskan dalam berbagai teks keagamaan. Namun ajaran Islam tidak pernah melarang seseorang untuk mengambil jalan tersebut ketika memang ia perlukan, juga demi kebaikan semua pihak.
Kisah
Salah satu contoh yang penting kita catat adalah kisah istri dari sahabat Nabi, Tsabit bin Qays. Dalam riwayat dari Ibn Abbas ra dan Imam al-Bukhari menyebutkan bahwa sang istri datang kepada Rasulullah Saw dan berkata:
“Wahai Rasulullah, aku tidak mencela akhlak dan ibadah Tsabit, tetapi aku tidak ingin hidup dalam kekufuran setelah menjadi muslimah.” Maksudnya, ia khawatir jika terus bertahan dalam perkawinan tanpa cinta dan kenyamanan, ia akan kehilangan makna keimanannya.
Rasulullah kemudian bertanya, “Apakah kamu rela mengembalikan kebun yang dulu Tsabit berikan sebagai mahar?” Ia menjawab, “Ya, aku rela.” Maka Nabi bersabda kepada Tsabit: “Terimalah kembali kebunmu dan ceraikanlah dia.” (Lihat: Subul as-Salam, Jilid III, hlm. 166).
Kisah ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa perempuan diberi ruang oleh Nabi untuk menyuarakan ketidaknyamanannya dan bahkan memilih perceraian sebagai jalan keluar, tanpa harus menunggu perlakuan buruk dari suami. Cinta yang hilang dan relasi yang tak lagi sehat sudah cukup menjadi alasan untuk mengakhiri rumah tangga.
Pelajaran penting dari kisah ini adalah bahwa Islam, melalui teladan Nabi Muhammad Saw, menjunjung tinggi kebebasan dan pilihan perempuan dalam urusan perkawinan. Perempuan bukan objek pasif dalam rumah tangga, melainkan subjek yang punya kehendak dan hak penuh atas kehidupannya.
Dalam konteks sosial hari ini, pelajaran ini menjadi sangat relevan. Terutama saat banyak perempuan masih dipaksa bertahan dalam rumah tangga yang membahayakan jiwa dan raga mereka. Termasuk dengan dalih agama atau budaya. []