Mubadalah.id – Sebagai seorang perempuan yang saat ini masih menghadapi lingkungan yang didominasi oleh norma-norma patriarki saya mengalami berbagai hambatan. Kontruksi budaya patriarki ini membatasi hak perempuan. Termasuk dalam mencapai potensi penuh saya sebagai perempuan yang memilih untuk melanjutkan pendidikan dan sekaligus bekerja.
Perempuan karir yang memiliki hambatan tidak terlihat akibat bias gender umumnya masuk dalam istilah glass ceiling. Glass Ceiling yaitu suatu fenomena yang secara sistematis menghalangi perempuan untuk meraih promosi atau mendapatkan kompensasi sebanding dengan rekan laki-laki mereka, meskipun keduanya bekerja di bidang yang setara. Dampaknya merugikan kelompok perempuan pekerja karena mereka kehilangan peluang untuk menduduki posisi atau jabatan yang lebih tinggi.
Kondisi ini bukan hanya saya yang alami secara langsung melainkan juga banyak perempuan pekerja lain di luar sana yang menghadapi situasi serupa. Peluang perempuan untuk mendapatkan kesempatan atau naik jabatan semakin kecil meskipun kompetensinya tidak kalah dengan laki-laki.
Menurut pandangan saya, potensi terjadinya glass ceiling di Indonesia masih signifikan karena budaya patriarki masih mendominasi di berbagai lapisan masyarakat. Meskipun partisipasi perempuan di dunia kerja meningkat setiap tahun, namun jumlah perempuan yang menduduki posisi manajerial dalam perusahaan masih terbatas.
Konsep dan Sejarah Glass Ceiling
Konsep “glass ceiling” sendiri merujuk pada hambatan dan batasan tak terlihat yang menghalangi kemajuan seseorang, khususnya perempuan dan kelompok minoritas, dalam mencapai posisi tertinggi dalam hierarki karier atau organisasi.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Marilyn Loden pada tahun 1978 dalam sebuah panel diskusi aspirasi perempuan. Loden mengakui bahwa perempuan terlihat tidak dapat mencapai tangga karir yang lebih tinggi dalam posisi manajemen karena adanya penghalang tidak terlihat. Sejak saat itu istilah “glass ceiling” secara luas mayarakat pakai untuk menggambarkan kesenjangan gender dalam dunia kerja.
Loden meyakini bahwa keresahan ini bukanlah sesuatu yang bersifat personal. Melainkan hal ini merupakan pengaruh oleh faktor budaya yang menghambat kemajuan perempuan dalam berkarir dan mengungkapkan aspirasi mereka.
Ternyata kekhawatiran yang Loden rasakan tidak hanya terkait dengan peluang terbatas. Namun juga bagi perempuan dalam mencapai puncak karir. Hal ini merupakan suatau akibat dari pandangan bahwa laki-laki secara alami takdirnya yakni sebagai pemimpin dan penopang utama keluarga.
Loden juga merasa prihatin terhadap kasus-kasus pelecehan dan kekerasan yang seringkali menimpa perempuan di lingkungan kerja. Pada periode 1970-1980an di Amerika Serikat tidak ada perhatian khusus terhadap isu ini bahkan belum ada regulasi mengenai pelecehan dan kekerasan di tempat kerja.
Perempuan Layak Mendapatkan Akses Setara
Merujuk pada sejarah penciptaan konsep glass ceiling oleh Marilyn Loden, sebagai perempuan yang lahir dan mendapatkan pendidikan saya merasa memiliki tanggung jawab untuk memberikan yang terbaik dan maksimal. Saya ingin menunjukkan pada lingkungan yang patriarki bahwa saya memiliki kemampuan dan layak mendapatkan kesempatan yang setara, bahkan lebih tinggi.
Saya berharap mendapatkan kesempatan untuk mewujudkan hak-hak saya. Fenomena glass ceiling membantu saya memahami seberapa sehatnya lingkungan kerja dan apakah terjadi diskriminasi halus terhadap perempuan.
Selanjutnya penting bagi tempat kerja untuk menyadari adanya bias yang telah lama tertanam. Mendukung dominasi laki-laki dalam posisi-strategis dan mengabaikan perempuan yang memiliki kemampuan setara atau bahkan lebih baik dari laki-laki. Meskipun dalam lebih dari 40 tahun sejak istilah glass ceiling diciptakan oleh Marilyn Loden banyak perempuan yang telah mendapatkan pendidikan tinggi.
Hal ini juga memasuki bidang kerja yang sebelumnya dianggap hanya untuk laki-laki namun perempuan justru berhasil mengelola kehidupan keluarga dan karier dengan baik. Meskipun demikian perjuangan belum selesai di situ. Masih ada perempuan yang karena situasi dan kondisi tertentu tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan hak-hak mereka. Bahkan perempuan yang menjadi pekerja formal masih menghadapi ancaman kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. []