Rahmi menumpahkan kopi panas untuk kedua kalinya pagi ini. Pada kali ke dua ini bahkan bukan segelas yang ditumpahkannya, tapi dua. Punya bapaknya dan punya Mas Tata, tetangga sebelah yang sedang ngopi di teras rumah setelah meminta tolong bapak menyembelih dua belas ekor ayam sekaligus.
Lelaki hampir setengah abad yang bersikukuh meminta dipanggil Mas–katanya–agar tetap memiliki jiwa muda ini hendak merayakan ulang tahun anak semata wayangnya yang berusia 12 tahun. Menjelang masuk SMP katanya harus lebih istimewa karena dia dan teman-temannya yang kini beranjak remaja sudah semakin bisa memberi nilai pada sebuah perayaan.
“Tanganmu itu sakit atau bagaimana sih, Nak? Kok lagi-lagi kamu tumpahkan kopinya,” tanya Ibu pada Rahmi yang kini tengah mengelap meja basah di hadapannya. Tangannya yang terasa panas tidak menjadi prioritas utamanya kali ini, yang ada di kepalanya kini hanyalah perkataan Pak Haji Nana kemarin sore.
“Bu, apa aku ini memang cocok jadi pelayan?” tanya gadis lima belas tahun yang minggu depan baru akan membayar daftar ulang untuk memasuki sebuah sekolah menengah negeri favorit di kotanya itu.
Ibu yang sedang mengiris tempe untuk digoreng seketika terhenti dari pekerjaannya. “Bukannya cita-cita kamu itu jadi dokter hewan?”
Rahmi terdiam sebentar sambil kembali menuangkan bubuk kopi dan gula pada gelas baru. “Tapi Pak Haji Nana kemarin bilang aku sudah cocok untuk melayani suami saat aku menyuguhkan kopi buat beliau dan bapak.”
Mendengarnya, seketika ibu tertawa. “Oalah Nak.. kalau itu ya beda lagi. Bukan cocok jadi pelayan maksudnya, tapi melayani suami. Mengabdi kepada suami. Berarti kamu dianggap sudah dewasa dan tumbuh menjadi perempuan baik. Itu pujian,” sahut ibu. “Harusnya kamu seneng dibilang gitu.. bukannya bingung. Apalagi Pak Haji Nana punya anak lelaki yang nggak jauh beda usianya sama kamu. Jangan-jangan kamu mau dijadikan mantu.” Suara tawa ibu membesar mengakhiri kalimatnya.
“Apa bedanya? Bukannya dua-duanya tetap saja pelayan?” Rahmi masih mempertanyakan. “Bedanya cuma soal majikan saja. Gina, misalnya, anak Pak RT itu, bekerja sebagai pelayan di toko baju. Majikannya katanya seorang Tionghoa ramah yang dermawan. Lalu anak perempuan lainnya, termasuk aku, yang kata ibu sudah dewasa dan tumbuh menjadi perempuan yang baik majikannya adalah suami.”
“Suami itu bukan majikan, Nak…” nada suara ibu melembut.
“Itu maksudku, Bu. Lalu kenapa aku dibilang sudah pantas melayani suami oleh Pak Haji Nana? Maksudku, Bu… kalau istri memberikan kebahagiaan untuk suaminya, misalnya dengan menyeduhkan kopi atau memasak, itu bukan soal istri harus melayani suami, melainkan bentuk kasih sayangnya. Suami pun tentu boleh menunjukkan bentuk kasih sayangnya kepada istrinya dengan cara lain, misalnya memijit badan istri atau mencuci baju di rumah. Atau memasak dan mencuci piring.”
Ibu mengerutkan dahi. “Suami kan kepala keluarga, Nak.”
“Maksudnya kepala keluarga itu majikan?”
“Maksudnya, kepala keluarga itu bekerja.”
“Setiap hari aku melihat ibu tak henti-henti bekerja dari mulai segala hal di dapur sampai pintu depan rumah. Apa itu tidak dihitung bekerja? Aku juga akan bekerja. Ibu sendiri yang bilang tadi kalau cita-citaku ingin menjadi dokter hewan. Berarti nanti aku adalah kepala keluarga?”
“Bukan begitu, Nak… Suami itu kan pemimpin keluarga. Dalam sebuah perkumpulan harus ada seorang pemimpin agar tidak terjadi kekacauan,” ibu mulai terdengar seperti biasanya ia mengajar di kelas.
“Pemimpin berarti majikan?” tanya Rahmi kembali.
“Bukan begitu,” kali ini nada suara ibu tiba-tiba terdengar agak sedikit naik.
“Lalu bagaimana? Kok bukan terus?”
Kali ini ibu menarik napas panjang. Ia seolah mengulang kembali memori masa kecil Rahmi. Kini ibu menyadari ternyata Rahmi kini masihlah Rahmi yang dulu, Rahmi kecil sang lautan pertanyaan. Tidak pernah berubah. Hanya dirinya saja yang berubah perhatiannya sehingga Rahmi dianggap sudah berubah. Padahal yang terjadi hanyalah gaya penyampaian Rahmi kini yang jauh lebih tenang dibandingkan Rahmi yang kanak-kanak. Sedangkan lautan pertanyaannya tidak pernah surut bahkan setetes pun. “Pemimpin di keluarga itu wajib dihormati,” ucap ibu akhirnya.
Rahmi yang mendengar jawaban ibu malah ikut menarik napas panjang sambil mengucek-ngucek dua cangkir kopi di hadapannya. “Membuat kepala keluarga mencuci, memasak, dan menyediakan kopi itu artinya tidak menghormati, Bu? Sebuah penghinaan? Lalu aku tidak apa-apa melakukan pekerjaan yang menghinakan itu?” Rahmi terdiam sebentar. “Karena aku pelayan? Aku, ibu, dan perempuan lainnya yang telah dan akan menjadi istri adalah pelayan? Ibu hanya berputar-putar namun ujungnya tetap kembali menegaskan kalau perempuan itu pelayan.”
Kali ini Ibu bangkit berdiri menghadap Rahmi. “Lalu bagaimana menurutmu, Nak? Apa kamu tidak akan memiliki suami hingga tua nanti? Begitu?”
Rahmi meletakkan sendok bekas mengucek kopi di sebuah gelas kosong bekasnya meminum susu bubuk rasa alpukat. “Lho kok jadi suami? Dari tadi kan kita sepakat kalau suami itu bukan majikan.” Rahmi menyeduh kembali segelas kopi, kali ini untuk dirinya. “Aku tidak mau punya majikan, Bu. Kalau suami… Boleh deh. Lihat saja nanti, apa aku akan jatuh cinta pada seseorang atau ada seseorang mengasihiku sehingga aku membalas cintanya dan kami saling menyeduhkan kopi di pagi hari?”
Rahmi kini menyeruput kopi miliknya kemudian mengantar kopi untuk bapak dan Mas Tata. Dalam hatinya ia berkata: Dua gelas kopi pada nampan di tangannya ini adalah bentuk kasih sayangnya sebagai anak kepada bapaknya serta bentuk rasa hormat tuan rumah kepada tamunya. Jika ada yang mengatakan kembali bahwa Rahmi sudah siap melayani, Rahmi akan bilang bahwa dia selamanya tidak akan pernah mau punya majikan. []