• Login
  • Register
Minggu, 8 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Perempuan Haid Disayang Allah, Jadi Tak Perlu Berpuasa

Haid tidak melulu urusan agama, tetapi juga tentang praktik budaya, konstruksi sosial, dan pandangan dunia.

Ainun Nadzifah Ainun Nadzifah
28/02/2025
in Publik, Rekomendasi
0
Perempuan Haid

Perempuan Haid

1.7k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Tiap kali hendak memasuki moment bulan Ramadan, atau awal awal ibadah tahunan ini kita jalani, masih saja mengemuka isu yang beberapa tahun lalu sempat membuat ramai jagad medsos. Hingga akhirnya memantik ruang ruang diskusi dengan segmen beragam. Yaitu isu yang taglinenya “bolehkah perempuan haid berpuasa”.

Respon masyarakat kita jumpai di mana mana, mulai yang “ngecap” jika yang melempar isu ini “kurang kerjaan”, “ingkar dengan hukum islam”, atau lebih ganas lagi dari macam macam stempel itu. Ada juga yang meresponnya dengan obyektif adu mekanik berupa dalil yang runtut dan akhirnya jelas bisa mematahkan isu tersebut.

Respon dan tanggapan cukup berimbang datang dari kalangan akademisi yang melihat isu ini dengan cermat, menelusuri alur berfikir dan paradigma yang sampai kesimpulan ke sana. Lalu memahaminya sebagai dinamika perkembangan hukum Islam. Lalu isu tersebut dicounter dengan elegan tanpa harus menjatuhkan.

Puasa dan haid tidak bisa kita pisahkan dalam membincang fikih. Keduanya tidak hanya bernilai ibadah jika kita jalani dengan tuntunan agama yang benar. Kesamaan keduanya yang sangat jelas adalah terkait keadaan fisik dan psikologis pelakunya, perempuan.

Kewajiban Puasa

Puasa diwajibkan pada  setiap Muslim mukallaf yang mampu, termasuk perempuan. Sedang haid  sebagai fitrah biologis, tanda perempuan dewasa siap menjadi “ibu” menjadi penghalang melaksanakan puasa. Ketetapan fikih dalam masalah puasa dan haid sudah sekian lama mapan, tapi belakangan “kemapanan” ini seperti terguncang.

Sebabnya ialah isu kontroversial, bahwa sebenarnya selama ini dilarangnya perempuan haid berpuasa, tidak cukup mempunyai dasar nash yang kuat, bahkan tidak ada sama sekali. Satu satunya dasar kuat adalah Ijma’ para fuqaha’, itupun “cantholan” yang dijadikan kesepakatan ijma’ diduga juga bermasalah.

Salah satu pencetus isu ini, bahkan menjadikannya dalam salah satu tema karyanya  yaitu Abdul Aziz Bayindir; seorang pemikir kontemporer muslim Turki. Penasaran bagaimana Bayindir membangun argumennya, lalu bagaimana kita seharusnya merefleksikan temuan dan pemikiran Bayindir. Mari kita kunyah pelan pelan, supaya tidak faham salah, setingkat lebih parah dari salah faham.

Baca Juga:

Islam Berikan Apresiasi Kepada Perempuan yang Bekerja di Publik

Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

Ibadah Kurban dan Hakikat Ketaatan dalam Islam

Mitos Israel di Atas Penderitaan Warga Palestina

Haid Dan Puasa

Haid tidak melulu urusan agama, tetapi juga tentang praktik budaya, konstruksi sosial, dan pandangan dunia. Sejak awal peradaban manusia, pandangan provokatif tentang haid sudah mengemuka. Mulai dari peristiwa Hawa, menganggap haid sebagai hukuman bagi Hawa yang  melanggar aturan surga.

Hukuman berlaku pada semua perempuan sepanjang sejarah manusia. Peradaban Yahudi memperlakukan perempuan haid dengan cara terisolasi, mereka pisahkan makan, minum, dan tidurnya. Tradisi Nasrani, memperlakukan perempuan haid tetap sebagai obyek seksual. Serta praktik menstrual taboo lainnya di berbagai tradisi belahan dunia.

Dalam Islam, peristiwa haid terapresiasi dengan sangat bijak, perempuan haid harus kita perlakukan semanusiawi umumnya. Ia hanya terlarang “digauli” pada “area” darah keluar (QS. Al-Baqarah: 222). Ekspresi seksual di tempat lain tetap dibolehkan.  Sedang QS. Al-Talaq: 4 mengatensi supaya psikologi perempuan kita jaga, jangan sampai terjatuhi talak saat haid. Karena jika kita lakukan, sudahlah ia menjalani siklus yang “sakit” maka akan semakin sakit dengan pemutusan pernikahan.

Dalam al-Qurán hanya membincang dua topik itu, tiba tiba Ijma’ fuqaha mengatakan haid menjadi pencegah ibadah, termasuk puasa. Semua pembesar madzhab sepakat terkait hukum ini.

Ulama kontemporer Wahbah Zuhayli juga menyepakatinya. Hanya kita temukan “kegelisahan” Imam al-Juwaini yang menyatakan “hukum tidak sahnya puasa perempuan haid sulit dipahami, belum ditemukan logika hukum yang mumpuni, karena suci bukan syarat ibadah puasa”. Meski begitu, Imam al-Juwaini tetap mengikuti pendapat kibarul ulama.

Pendapat Heboh Bayindir: Perempuan Haid Boleh Puasa

Bayindir mengkritik pendapat fuqaha sekaligus sebagai ijtihad pribadinya dalam tiga topik utama: Pertama, Allah menjelaskan tuntunan puasa dengan sangat terperinci bahwa yang dilarang adalah makan, minum dan jima di siang hari (QS. Al-Baqarah: 187), haid tidak tersebutkan. Suci dari hadats besar / kecil juga bukan syarat ibadah puasa. Kedua, jika tidak boleh berpuasa, kenapa harus wajib mengqadha’.

Apa dalil rasional tekstualnya? Padahal, kalimat “qadha’ dalam al-Qurán justru memberitahukan pekerjaan (ibadah) yang kita laksanakan sesuai waktunya, sama dengan  ada’. QS al-Baqarah: 200 “Apabila kamu telah menyelesaikan manasik (rangkaian ibadah) haji, berzikirlah kepada Allah …” dan QS. An-Nisa: 103 “apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri…”.

Tetapi versi fuqaha, qadha’ berubah menjadi perbuatan pengganti yang kita kerjakan di luar waktunya, kebalikan ada’. Fakta Ini menunjukkan adanya ikhtilaf penggunaan kalimat. Pada konteks hadits Aisyah dalam percakapan dengan muádzah tentu bukan makna ikhtilaf yang dimaksud, karena konsep seperti itu belum terkenal.

Jika begitu, hadits tersebut merupakan gambaran historis yang telah berlaku sejak masa sebelumnya, bahwa perempuan haid “mungkin” tidak melakukan puasa, bukan “dilarang” berpuasa. Ketiga, Al-Qur’an menyatakan haid adalah bagian dari rasa sakit atau adzaa (QS. Al-Baqarah:222).

Karenanya, perempuan haid diperbolehkan tidak berpuasa, bukan haram berpuasa. Statusnya serupa orang sakit atau bepergian. Haid menjadi rukhshah yang bisa kita ambil atau tidak, tergantung kondisi fisik yang menjalani. Jika pada akhirnya tidak berpuasa, ia wajib menggantinya di luar Ramadan.

Perintah Nabi SAW adalah untuk mengqadha puasa yang kita tinggalkan, bukan untuk meninggalkan puasa. Maka, perempuan haid masa kini jika merasa kuat dan ingin berpuasa, maka hukumnya kembali ke asal bahwa puasa wajib bagi setiap Muslim mukallaf yang mampu menjalani. Bayindir menekankan bahwa ijma’ fuqaha harus kita pahami sebagai ijtihad historis, bukan sebagai hukum Allah dan Rasul-Nya yang final dan mengikat.

Refleksi: Sebaiknya Bagaimana?

Pertama, sekalipun tiada dalil tekstual dilarangnya perempuan haid berpuasa. Namun bagi Syafiíyah, ijma’ ulama cukup sebagai patokan, khusus dalam persoalan ini. Imam Syafie sendiri berstatemen yang terkutip dalam al-Iqna: “mengapa puasa tidak sah dilakukan oleh wanita haid tidak terjangkau ‘illatnya”.

Pengakuan sekaliber pendiri madzhab sungguh sangat elok dan patut kita contoh. Kedua, sebagai pengalaman biologis, meski di zaman secanggih apapun, peristiwa haid tentu membawa dampak fisik psikis pada perempuan. Jikapun tidak melakukan puasa kita anggap rukhsah, ia adalah sejenis rukhsah wajibah sebagai instrumen penghargaan dan penjagaan syariat Islam pada perempuan ketika haid.

Bisa juga kita maknai sebagai kasih sayang Allah. Ketiga, sebagai produk pemikiran, argumen Bayindir kita akui cukup progresif dan layak kita apresiasi. Tetapi jika membuat isykal, memilih ihtiyath dan mengambil jalan mu’tabarah juga jalan kebaikan, tanpa harus merasa  nalar logika kita terkerangkeng oleh ijma’fuqaha.

Saya akhiri tulisan ini dengan hadis riwayat Mu’adzah binti Abdurrahman, di mana ia bertanya kepada Aisyah ra. mengenai perempuan yang mengalami haid dan tidak berpuasa selama bulan Ramadan. Aisyah ra menjawab:”Kami dulu, ketika sedang haid, diperintahkan untuk mengganti puasa yang ditinggalkan, tetapi tidak diperintahkan untuk mengganti salat.” (HR. Bukhari dan Muslim). []

 

Tags: ibadahislamPerempuan HaidpuasaRamadan 1446 Hsejarah
Ainun Nadzifah

Ainun Nadzifah

Ainun Nadzifah, Ibu Rumah Tangga tiga putri yang sedang ikhtiyar menambah value dalam dirinya dengan mengikuti program doktoral PKUMI. Tiada obsesi dalam dirinya selain berharap semoga keberadaannya membawa kemanfaatan bagi semua yang ada di sekitarnya.

Terkait Posts

Jam Masuk Sekolah

Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

7 Juni 2025
Iduladha

Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

7 Juni 2025
Masyarakat Adat

Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

7 Juni 2025
Toleransi di Bali

Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

7 Juni 2025
Siti Hajar

Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

7 Juni 2025
Relasi Kuasa

Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

7 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jam Masuk Sekolah

    Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kursi Lipat dan Martabat Disabilitas
  • Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah
  • 7 Langkah yang Dapat Dilakukan Ketika Anda Menjadi Korban KDRT
  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID