Mubadalah.id – Belakangan, banyak orang mempermasalahkan video Prilly Latuconsina yang menyinggung tentang perempuan independen dan lelaki mapan. Dalam potongan video berdurasi 32 detik yang beredar, Prilly menyebut, “sekarang banyak cewek independen, tapi cowok mapan dikit.” Agak sulit menyingkap maksud sebenarnya dari Prilly tanpa melihat konteks dan durasi pembicaraan yang utuh. Yang jelas, di akhir video dia mengkritik banyak laki-laki yang meninggalkan perempuan karena insecure.
Wacana laki-laki insecure karena ‘kalah’ persoalan ekonomi dari perempuan bukan hal yang baru. Di media sosial, perbincangan ini muncul dengan beragam sentimen.
Ada yang menyebut perempuan memang perlu mencukupi dirinya sendiri sehingga meminimalisir risiko kekerasan atau penelantaran yang kerap perempuan alami akibat ketergantungannya pada finansial laki-laki. Namun tidak jarang yang menggugatnya karena menganggap nafkah adalah domain laki-laki. Semakin tinggi penghasilan perempuan, semakin sulit menemukan pasangan yang ‘mampu’ menafkahinya.
Saya coba masuk pada istilah ‘independen’ dan ‘mapan’ yang banyak dipersoalkan. Secara sederhana, independen kita lekatkan pada perempuan sebagai sebuah kondisi kemampuan diri perempuan untuk mencukupi kebutuhan dirinya. Sementara ‘mapan’ merujuk pada laki-laki yang memiliki kestabilan dalam hal ekonomi dan lainnya, sehingga bertanggung jawab sebagai suami dengan berbagai tuntutannya.
Konsep Relasi
Dalam konsep relasi yang Stephen R. Covey rumuskan, independen merupakan fase kedua dari tiga fase utama. Fase pertama kita sebut dependen, kondisi di mana seseorang sangat bergantung pada lainnya. Pada fase ini seseorang rawan mengalami berbagai bentuk kekerasan.
Toxic relationship salah satunya terjadi karena adanya salah satu pihak yang sangat bergantung pada lainnya. Ketergantungan ini dimanfaatkan untuk melakukan tindakan-tindakan manipulatif.
Independen menandai minim atau bahkan hilangnya ketergantungan pada orang lain sehingga dirinya mampu untuk melakukan atau menjadi siapa saja sesuai kehendaknya. Di posisi ini, seseorang tidak lagi punya ketakutan terhadap hadirnya orang lain dalam hidupnya.
Toh, ada atau tidaknya orang lain, dia mampu mencukupi berbagai kebutuhannya secara mandiri. Independensi merupakan prasyarat manusia untuk bisa mendapat kemenangan pribadi.
Namun sebagai makhluk sosial, independensi tidak cukup. Fase ketiga mendorong terciptanya kemenangan publik di mana seseorang memiliki kesalingtergantungan atau interdependensi dengan orang lainnya. Untuk mencapainya, seseorang perlu menerapkan tiga kebiasaan, yaitu berpikir menang-menang (think win-win), berusaha mengerti lebih dulu baru dimengerti (seek first to understand then to be understood), dan wujudkan sinergi (synergize).
Relasi Rumah Tangga
Dalam relasi rumah tangga, hal ini tidak bisa kita lihat dalam perspektif yang tunggal. Interdependensi bukan berarti suami dan istri harus sama-sama bekerja dan memiliki penghasilan yang setara. Di fase interdependensi, keluarga justru kita ibaratkan sebagai organisme terpadu yang saling mendukung satu sama lain.
Seperti sebuah tubuh yang memiliki peran dan fungsi beragam, namun saling terkait satu sama lain. Artinya, aspek ekonomi tidak bisa kita sederhanakan dengan nominal gaji.
Menjadi ibu atau bapak rumah tangga juga perlu kita hitung sebagai profesi meski sistem di Indonesia belum memberikan apresiasi dalam bentuk gaji. Seseorang yang memilih berperan di arena domestik memiliki segudang pekerjaan, mulai dari memasak, mencuci, merawat, mendidik anak, dan lain sebagainya.
Pekerjaan domestik bahkan tidak memiliki jam kerja. Perempuan yang kerap mengambil peran ini bisa bekerja lebih dari 100 jam dalam seminggu. Artinya, ini super overworked! Dari sini saja, pekerjaan domestik perlu kita bantu, terutama oleh pasangan yang ‘hanya’ bekerja 40 jam dalam seminggu.
Pekerjaan Rumah Tangga
Pekerjaan yang sedemikian kompleks jika kita nominalkan tentu bernilai jauh di atas upah minimum regional. Oleh karenanya, jika sistem negara belum mampu memberikan apresiasi, setidaknya kita mulai bisa menempatkan pasangan yang memilih mengerjakan pekerjaan rumah tangga dalam posisi yang setara. Dengan kata lain, kita perlu mengubah cara pandang relasional yang dikotomis (subjek dan objek) menjadi kolaboratif (subjek yang setara).
Sederhananya, seorang laki-laki atau perempuan perlu melewati fase independen dengan membekali diri dengan instrumen kemandirian. Setelah itu, jika berpikir untuk membangun keluarga, kedua pihak perlu membicarakan kesepakatan-kesepakatan demi kebaikan bersama (ma’ruf), dengan cara yang sebenar-benarnya adil (keadilan hakiki), agar tercipta ketersalingan (mubadalah).
Yang banyak terabaikan dari gugatan netizen justru sekian detik akhir dalam video Prilly yang menyebut saat ini banyak laki-laki yang meninggalkan perempuan karena insecure. Padahal ia menyampaikan kondisi yang real dan banyak pihak alami. Seorang perempuan berpendidikan tinggi atau memiliki penghasilan yang jauh di atas laki-laki kita anggap sebagai momok yang membuatnya tidak bisa kita atur atau kita tundukkan jika menikah kelak.
Akhirnya, perempuan berpendidikan dan berpenghasilan tinggi kita hindari. Intensi untuk mengatur atau menundukkan sendiri sudah salah sejak dalam pikiran karena sejatinya pernikahan adalah upaya untuk menggapai kemenangan-kemenangan bersama, dunia dan akhirat.
Menundukkan Ego Laki-laki
Tentu saja hal ini tidak sederhana. Seorang teman laki-laki yang kerap mendapat materi tentang gender mengakui bahwa menundukkan ego laki-laki yang dibesarkan dengan cara patriarkis tidaklah mudah, khususnya dalam relasi rumah tangga. Di pikirannya, letupan-letupan ajaran bahwa laki-laki harus dihormati, dilayani, dan diperlakukan spesial masih ada.
“Kita yang sudah kenyang dengan materi-materi (gender) seperti ini saja masih punya pikiran seperti itu, bagaimana dengan yang tidak pernah tersentuh?” ujar teman tersebut.
Saya kemudian berpendapat bahwa hal ini sangat wajar mengingat sepanjang hidup kita terdidik dengan cara pandang demikian. Untuk mengubahnya, perlu upaya ekstra dan komitmen yang kuat. Semua itu perlu kita mulai dari diri sendiri. Di titik ini, kemapanan emosional dan mental seorang laki-laki teruji.
Prilly memang tidak merinci standar kemapanan versinya. Namun secara umum ada tiga bentuk kemapanan, yaitu finansial, mental, dan emosional. Finansial adalah satu-satunya strandar kemapanan yang masih bisa kita negosiasikan.
Sementara kemapanan mental dan emosional adalah standar dasar yang harus setiap manusia miliki ketika menjalani sebuah relasi, terutama rumah tangga. Tanpa kemapanan itu, seseorang berpotensi melakukan kekerasan, baik fisik atau simbolik, secara sadar atau pun tidak.
Di sisi ini, saya mendukung statement Prilly. []