Mubadalah.id – Dalam kebudayaan tertentu, masih ada stigma patriarki bahwa perempuan tidak bisa atau tidak boleh menjadi pemimpin. Hal yang mendasarinya adalah pemikiran bahwa pemimpin haruslah seorang laki-laki dan tidak boleh perempuan. perempuan itu lemah lembut, jadi tidak cocok untuk menjadi pemimpin yang memiliki ciri khas tegas.
Anggapan ini bukanlah sebuah omong kosong yang tanpa arti. Dalam kenyataannya, hal ini merupakan bagian dari struktur kuasa dan stigma patriarki yang telah lama mengakar dalam budaya tertentu. Hal semacam ini menjadi langgeng dalam budaya karena adanya normalisasi dan adanya pengajaran bahwa hal seperti ini adalah nilai luhur.
Budaya dan Stigma Kepemimpinan
Dalam ritual atau upacara beberapa budaya, kaum laki-laki akan menjadi tokoh utama yang memimpin ritual tersebut. Sedangkan perempuan hanya mendapat tugas sebagai pendukung dan bahkan hanya mendapat tugas untuk berurusan dengan konsumsi.
Ini adalah wujud nyata dari struktur budaya dan stigma patriarki yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang tidak layak tampil di ruang publik sebagai pemimpin. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa sudah kodratnya perempuan menjadi yang selalu dipimpin dan bukan yang memimpin. Secara tidak langsung atau langsung jelas bahwa ini sudah mengarah pada adanya relasi kuasa patriarki.
Laki-laki mempunyai kuasa dalam budaya, maka ia juga mempunyai hak untuk mengatur perempuan. Budaya dan stigma patriarki sepertinya sangat langgeng dalam kebudayaan tertentu dan menjadi sebuah sterotipe atau kebiasaan yang berkembang secara terus menerus. Tentu ini akan mempengaruhi relasi kuasa dalam budaya tertentu.
Tetapi, ini bukan berarti bahwa semua ritual yang ada di kebudayaan tertentu mendukung adanya sistem patriarki. Yang ingin saya katakan bahwa kadangkala budaya digunakan untuk menutupi struktur sosial yang telah ada.
Dengan mengatasnamakan nilai luhur budaya, mereka mencoba untuk melanggengkan sistem patriarki. Bagaimanapun budaya adalah nilai luhur selama hal itu sesuai dengan kebaikan bersama dan menjunjung keadilan.
Relasi Kuasa dalam Perspektif Michel Foucault
Relasi kuasa sendiri merupakan sebuah fenomena hubungan yang lebih bersifat struktur dan cenderung pada ketidaksetaraan. Singkatnya ada pihak yang menjadi penguasa atas pihak lain dan tentu sangat merugikan pihak lain. Seorang tokoh bernama Michel Foucault memberikan penjelasan bahwa relasi kuasa sangat mempengaruhi kehidupan.
Dalam perspektif Foucault, budaya patriarki menempatkan perempuan sebagai objek dengan sistem nilai dominan kekuasaan laki-laki. Relasi kuasa bekerja bukan dalam hal kekerasan fisik atau paksaan, tetapi bekerja dengan cara yang halus. Relasi kuasa hadir dalam simbol, bahasa, dan nilai dalam budaya.
Foucault menegaskan adanya konstruksi kepada perempuan agar merasa “tidak pantas” menjadi pemimpin. Hal ini secara perlahan akan membawa sebuah asumsi bahwa sudah selayaknya mereka menjadi yang dipimpin dan bukan yang dipimpin. Budaya patriarki tentu akan membawa dampak yang besar kepada perempuan sehingga mereka termaginalkan. Hal ini tentu menjadi sebuah pembatasan bagi mereka untuk mengambil peran seorang pemimpin.
Fakta: Perempuan Bisa dan Layak Memimpin
Sejarah berhasil membuktikan dan membantah bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Tokoh seperti R.A. Kartini dan Susi Pudjiastuti menjadi contoh keberanian perempuan menyuarakan hal mereka. Kedua tokoh ini sangat memperjuangkan hak perempuan dalam struktur kepemimpinan sekaligus membuktikan bahwa kaum hawa juga bisa menjadi pemimpin. Mereka secara tidak langsung membongkar stigma bahwa perempuan “haram” menjadi pemimpin.
Mereka membuktikan bahwa jenis kelamin tidak menentukan kemampuan memimpin, melainkan oleh keberanian, kompetensi, dan integritas. Selain kedua tokoh ini, ada beberapa tokoh perempuan lainnya yang berhasil untuk membuktikan bahwa mereka yang sering dipandang lemah juga bisa menjadi seorang pemimpin.
Rekonstruksi Budaya Menuju Kesetaraan
Budaya boleh saja dijadikan sebagai dasar dalam berbagai hal, tetapi yang perlu untuk dipahami adalah jangan sampai budaya tersebut merusak bahkan mengaburkan nilai keadilan untuk semua orang. Kekuasaan itu bukanlah milik mereka yang kuat, perkasa, atau tegas, tetapi kekuasaan adalah milik mereka yang mampu untuk bertindak adil bagi semua orang tanpa terkecuali.
Dalam hal ini yang perlu untuk dikonstruksi adalah cara pandang budaya dan menempatkan perempuan sebagai pribadi yang sederajat dengan laki-laki. Nilai luhur dalam budaya haruslah menjunjung martabat manusia, termasuk perempuan. Perempuan bukan hanya pelengkap, tetapi subjek penuh yang layak menjadi pemimpin baik dalam ruang publik, sosial, maupun spiritual.
Saya merefleksikan bahwa perempuan bukan hanya sebagai objek dari sebuah kepemimpinan, tetapi juga menjadi subjek untuk menjalankan kepemimpinan. Justru jika budaya masih dan terus menolak perempuan untuk menjadi pemimpin, apakah layak untuk memelihara budaya seperti itu? Saya rasa ini menjadi pertanyaan untuk kita semua, terlebih yang mengakui budaya sebagai sesuatu yang luhur.
Rekonstruksi budaya bukan berarti menghilangkan makna dasar keluhuran budaya. Tetapi memperbarui makna agar lebih adil dan relevan dengan semangat zaman. Ini bukan sekadar perjuangan , tetapi rasa kemanusiaan. Setiap langkah menuju kesetaraan adalah langkah menuju kebudayaan yang lebih manusiawi. []