Mubadalah.id – Jika kita menengok realitas sosial hari ini, anggapan bahwa perempuan kurang akal sudah sangat tidak relevan. Pasalnya di berbagai bidang kehidupan baik pendidikan, ekonomi dan kepemimpinan, justru banyak perempuan yang menunjukkan prestasi luar biasa, bahkan melebihi laki-laki.
Dalam pendidikan, misalnya, di banyak sekolah dan perguruan tinggi, perempuan justru banyak yang menjadi lulusan terbaik.
Di ranah kerja sekalipun, perempuan tampil sebagai ilmuwan, pemimpin lembaga, bahkan pemimpin negara. Fakta-fakta ini menjadi tantangan serius bagi yang menilai kemampuan intelektual perempuan lebih rendah.
Nyai Hj. Badriyah Fayumi dalam tulisannya di Kupipedia.id mempertanyakan: “Jika memang Tuhan menetapkan akal perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Lalu mengapa Tuhan justru menganugerahi banyak perempuan dengan kecerdasan, kemampuan berpikir logis, dan prestasi luar biasa yang bahkan melebihi laki-laki?”
Pertanyaan ini mengajak kita untuk melihat kembali apakah pemahaman kita terhadap teks-teks keagamaan sudah benar-benar adil dan kontekstual belum?
Membaca Ulang Ayat tentang Kesaksian
Karena masalahnya, sebagaimana dijelaskan Nyai Badriyah, sebagian umat Islam seringkali hanya berpegang pada satu ayat yaitu al-Baqarah: 282 tentang kesaksian perempuan. Padahal, jika kita melihat asbabul nuzulnya ayat tersebut berbicara dalam konteks transaksi utang-piutang, bukan soal kesaksian perempuan.
Bahkan, dalam konteks sosial pada masa itu, urusan keuangan dan administrasi memang lebih banyak dijalankan oleh laki-laki. Sementara perempuan umumnya tidak terlibat secara langsung.
Karena itu, penyebutan dua perempuan sebagai saksi bukanlah ukuran nilai atau kecerdasan. Melainkan langkah antisipatif agar kesaksian tetap kuat dan akurat sesuai konteks sosial yang ada.
Lebih jauh, Nyai Badriyah menjelaskan bahwa al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang kesaksian dalam satu ayat itu saja. Terdapat banyak ayat lain yang juga membicarakan kesaksian dalam berbagai konteks seperti rujuk, nikah, hudud (pidana), qadzaf (tuduhan zina), dan radha’ (persusuan). Menariknya, tidak semua ayat dan hadis tersebut membedakan kesaksian perempuan dan laki-laki.
Sayangnya, ayat-ayat dan hadis lain yang tidak diskriminatif terhadap perempuan ini jarang dikutip atau diajarkan secara luas. Akibatnya, pemahaman masyarakat menjadi timpang dan tidak proporsional. []








































