Mubadalah.id – “Dulu, saya cerai karena suami suka pergi ke dukun. Keuangan susah sampai harus sibuk jualan. Tapi begitu dapat suami paham agama, seorang ustadz yang cinta sunnah, saya tetap kerja juga kok. Dan itu terpaksa saya lakukan karena kebutuhan dapur nggak nyukup,” keluh Mak Arni suatu ketika kepada saya.
Perempuan yang hampir menginjak usia paruh baya itu bercerita panjang lebar tentang pengalaman menikahnya yang sudah gagal empat kali. Gambaran tentang sosok suami yang akan menafkahi dan memenuhi semua kebutuhan hidupnya, hilang lenyap.
Bukan tanpa usaha, tetangga saya ini ingin diperistri seorang suami idaman. Katanya, mendambakan sosok suami shalih yang mendalami syariat. Suami yang mengerti betul bahwa kewajibannya adalah menafkahi istrinya. Sehingga nantinya tak mungkin ia akan dibiarkan lagi bekerja untuk mencari tambahan uang. Maka begitu seorang ustadz melamar Mak Arni, kontan ia terima dengan sepenuh harapan.
Tapi malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Kendati bersuamikan seorang penceramah agama dan rajin mengisi berbagai kajian keislaman, nyatanya Mak Arni lagi-lagi tetap harus turun tangan mencari tambahan biaya dapur yang tak bisa ditutup. Kamus hidup hemat secara ketat sepertinya sudah tak mempan lagi dilakoni. Jatah bulanan yang ia terima selama ini pun rupanya tidak sepadan dengan ongkos kebutuhan hidupnya sekeluarga.
“Istri tuh kalau sudah punya suami, harusnya nggak boleh kerja. Suami aja yang cari nafkah,” ujar perempuan yang sudah dikaruniai dua anak dari hasil perkawinan pertamanya. Bagi Mak Arni, pantang seorang istri bekerja bilamana sudah memiliki suami. Dalam berbagai ta’lim yang ia ikuti, ia selalu disodori dalil-dalil agama yang menyatakan bahwa suami bertugas mencari nafkah.
Sehingga bilamana ia berprinsip bahwa ia tidak mau lagi bekerja jika sudah punya suami, tentu bukanlah keputusan yang salah. Oleh karena itu, saat ia mendapati suaminya masih membiarkannya bekerja membantu keuangan keluarga, rasanya tak ada alasan lagi baginya untuk bertahan.
Sosok Mak Arni yang tinggal di Timur Jakarta itu pastinya bukanlah realitas tunggal. Tidak sulit menemukan pasangan bercerai disebabkan alasan ekonomi. Kalaupun ada yang masih bertahan di tengah himpitan keuangan, niscaya butuh kerja sama yang kuat antar pasutri. Kerja sama menutupi kebutuhan dapur, mengurus rumah dan anak, serta banyak hal lainnya terkait urusan berumahtangga. Karena bila tidak demikian, ritme kehidupan rumah tangga tidak akan berjalan normal.
Secara nyata hal tersebut dibuktikan Mak Firli dan suami yang kompak berbagi peran domestik dan publik. Sejak suaminya kena PHK di usia yang tak lagi muda, sulit baginya mendapatkan pekerjaan. Keadaan memaksa Mak Firli memutar otak untuk mengais rejeki dengan cara membuka catering di sekolah anaknya.
Seiring waktu berjalan, usahanya lancar dan orderan terus merangkak naik. Kalau bukan suaminya yang sigap membantu, pastilah ia sudah kewalahan. Kerjasama keduanya malah membuahkan hasil sebuah Toko Sembako di samping rumah.
Fenomena Mak Arni dan Mak Firli ini menyiratkan pesan kuat bahwa realitas kehidupan seringkali tak seiring sejalan dengan teori. Sejumlah pandangan keagamaan yang menyatakan bahwa suami adalah kepala rumah tangga yang wajib menafkahi istri dan keluarganya, seringkali berhadap-hadapan dengan realitas yang kompleks.
Suami pengangguran, gaji kecil, sakit-sakitan, atau terpaksa harus juga menafkahi keluarga besarnya, memaksa pasutri berhadapan dengan opsi bertahan dalam kondisi pelik atau trengginas menyikapi realitas supaya tidak digilas persoalan.
Perempuan pencari nafkah bahkan menjadi kepala rumah tangga, bukanlah aib yang harus dipersoalkan. Sulit kita menampik fakta yang disodorkan data BPS Tahun 2018 yang dikutip dari Harian Kompas edisi 3 Agustus 2020, bahwa tercatat ada 10,3 juta rumah tangga dengan 15,7% perempuan sebagai kepala keluarga. Data di atas kertas itu pun sangat mungkin berubah seiring dengan realita kehidupan keluarga yang kompleks. Karena dalam tataran realitas, tak sedikit keluarga yang kehilangan peran suami sebagai pencari nafkah.
Pada zaman Nabi saw bahkan telah ada perempuan yang menjadi kepala keluarga. Sebagaimana dikutip dari hadits yang diriwayatkan Ibnu Sa’d, sahabat perempuan bernama Rithah, istri Abdullah bin Mas’ud pernah mendatangi Nabi dan menceritakan persoalan yang dihadapinya.
Rithah bercerita bahwa ia adalah perempuan pekerja, pencari nafkah untuk keluarganya. Ia menjual hasil pekerjaannya untuk menyambung kebutuhan hidup, untuk suami dan anak-anaknya, karena mereka benar-benar tak lagi memiliki harta. Atas upayanya menafkahi suami dan anak-anaknya, Nabi berujar, “Kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan pada mereka.”
Respon Nabi pada persoalan Rithah adalah cara beliau menyikapi realitas yang terjadi pada saat itu, yang tanpa dinyana selalu muncul persoalan-persoalan serupa Rithah di tengah-tengah kehidupan kita hingga hari ini. Karenanya sangat disayangkan bila ada orang yang menganggap aneh melihat perempuan mengambil peran sebagai pencari nafkah bahkan menjadi kepala keluarga.
Dan kalau saja Mak Arni tahu kisah tentang Rithah, mungkin kegusarannya tentang status suami adalah pencari nafkah dan istri hanya di rumah saja, akan bisa hilang. Atau mungkin bila Mak Arni mengabaikan apa yang dialami Mak Firli yang masih tetangganya itu, rasanya ia perlu juga mengingat bagaimana Fatimah, putri tercinta Nabi, harus bekerja keras untuk menyukupi kebutuhannya sehari-hari. Tak semata-mata mengandalkan jerih-payah suami. []