Mubadalah.id – Para perempuan bagi sebagian masyarakat kerap kali dianggap sebagai makhluk yang menganggu, dan menjauhkan seseorang dari Allah SWT.
Bahkan perempuan juga seringkali dianggap sebagai faktor yang menghambat seorang laki-laki untuk bisa dekat dengan Tuhannya.
Perempuan dianggap kotor, bagian dari setan, atau setidaknya pengganggu konsentrasi seorang laki-laki sehingga sulit beribada kepada-Nya.
Pada masa Nabi Muhammad Saw, seperti dikutip di dalam buku 60 Hadis Shahih karya Faqihuddin Abdul Kodir menyebutkan beberapa sahabat juga meyakini hal ini dan memilih tidak menikah demi mencapai kedekatan dengan Allah Swt.
Keyakinan inilah, menurut Kang Faqih, yang dikoreksi dan diluruskan oleh Nabi Muhammad Saw.
Nabi Saw justru menyatakan bahwa mereka yang meninggalkan menikah sebagai alasan untuk dekat dengan Allah adalah orang yang memunggungi Sunnahnya.
“Perilaku ini sama sekali bukan teladan Nabi Muhammad Saw,” tulis Kang Faqih.
Menurut Kang Faqih, sampai sekarang, keyakinan seperti ini masih banyak bercokol di pikiran banyak orang.
Keyakinan tersebut mendorong sebagian orang untuk menjauhkan perempuan dari segala tempat ibadah dan pusat-pusat pengetahuan.
“Mereka (perempuan) dianggap penyebab kerusakan spiritualitas dan mengganggu stabilitas moral. Dengan alasan serupa juga, mereka dijauhkan dari pusat-pusat kekuasaan dan kebijakan publik,” jelasnya.
Padahal dalam sebuah hadis menyebutkan bahwa pertama kali Nabi Muhammad menerima wahyu, justru beliau bersama istrinya, Aisyah Ra.
Artinya perempuan bukan penyebab dari kerusakan spiritualitas Nabi Muhammad Saw. Dengan kehadiran Aisyah Ra, justru perempuan menjadi pendorong, bahkan menjadi orang yang pertama meyakinkan Nabi Saw dengan kehadiran Islam.
Isi hadis tersebut sebagai berikut, Aisyah Ra. meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw, berkata kepada Ummu Salamah Ra., “Jangan sakiti aku pada diri Aisyah, karena tidak pernah wahyu turun kepadaku saat aku berada dalam selimut perempuan selain Aisyah.” (Shahih al-Bukhari).
Inspirasi teks hadis di atas, kata Kang Faqih, perempuan sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang inheren bisa menjauhkan laki-laki dari Allah Swt.
Begitu pun sebaliknya, laki-laki adalah bukan pengganggu bagi perempuan.
Tetapi tentu saja, lanjut kata Kang Faqih, seseorang bisa menjadi faktor yang buruk bagi orang lain, sebagaimana juga bisa menjadi faktor yang baik. Dan ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan secara sama.
“Laki-laki dan perempuan, sebagai manusia yang mulia dan bermartabat, sama sekali tidak boleh dijauhkan dari aktivitas spiritual, sosial, ekonomi, dan juga politik,” tegasnya. (Rul)