Mubadalah.id – Memutuskan menikah berarti harus siap dengan segala peran yang akan dijalani setelahnya, seperti mendidik keturunan dan segala hal yang terkait dengannya. Setelah menikah, selain kerja-kerja produktif, perempuan sebagai istri akan mengalami fase reproduksi yang panjang, dimulai dari hamil, melahirkan, nifas, menyusui dan berulang.
Tak sedikit perempuan setelah menikah pun tetap menjalani profesi dan karirnya, tentu saja ini merupakan pilihan. Namun adakalanya mereka akan dihadapkan pada posisi dilematis, seperti yang dialami oleh salah satu temanku yang ingin menyusui secara penuh tetapi juga harus disibukkan dengan berbagai aktivitas yang harus dijalani.
Sebenarnya untuk saat ini, pumping ASI bisa menjadi salah satu alternatif tetap menyusui di tengah-tengah kesibukan seorang ibu. Namun kerap kali berbagai stigma pun tetap menimpa para perempuan saat masa menyusui ini. Seperti anggapan tidak sempurna dan tidak bertanggungjawab jika tidak bisa memberi ASI dengan penuh.
Lantas muncullah pertanyaan dalam benak temanku ini. Menyusui itu hak anak atau kewajiban ibu? Dan bagaimana peran suami? Apakah menyusui adalah kodrat perempuan?
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa ASI merupakan makanan dan minuman pokok bagi seorang bayi yang baru lahir. Hal ini sudah terbukti secara medis bahwa hanya ASI yang memiliki komposisi paling sempurna dibanding makanan pengganti lainnya. Bukan hanya sebagai kebutuhan pokok, ASI juga dapat meningkatkan perkembangan otak anak, menurunkan resiko infeksi, juga membangun kasih sayang antara anak dan ibu.
Bukan hanya bagi anak, proses menyusui juga memiliki banyak fungsi bagi sang ibu. Menyusui dapat menurunkan resiko pendarahan, kanker payudara, dan kanker ovarium. Dengan banyaknya manfaat dalam masa ini, bahkan pemerintahpun selalu mempromosikan pemberian ASI eklusif sampai enam bulan pertama.
Namun karena proses ini terjadi berabad-abad lamanya. Muncullah anggapan di tengah-tengah masyarakat bahwa menyusui adalah kewajiban seorang perempuan. Dalam pemahaman seperti ini, perempuan dinggap paling bertanggungjawab secara penuh dalam proses menyusui, tanpa mempertimbangkan kondisi fisik maupun sosial dari mereka.
Hal ini menjadi sebab mengapa perempuan selalu merasa bersalah dan diberi sanksi sosial oleh masyarakat saat tidak bisa menjalani prosesnya dengan sempurna. Khususnya menimpa para perempuan yang tidak bisa menyusui dengan sempurna karena kondisi fisik dan ASI tak lancar, juga menimpa perempuan yang harus bekerja di luar rumah karena situasi dan kondisi yang diperlukan.
Sebenarnya jika kita mengkaji hukum Islam, maka persoalan menyusui sudah dibahas dalam QS al-Baqarah ayat 233:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran yang patut. Bertakwalah kepada Allah swt dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Dalam ayat tersebut setidaknya ada empat poin yang harus diingat. Pertama, anjuran pada ibu untuk menyusui anaknya sampai usia dua tahun. Kedua, kewajiban ayah untuk memenuhi nafkah anak dan istri. Ketiga, pembolehan menyapih sebelum genap dua tahun sesuai kesepakatan bersama. Keempat, kebolehan menyusui anak melalui perempuan lain (ibu susuan).
Ayat tersebut dengan detail telah menjelaskan bahwa menyusui bukan hanya tanggung jawab ibu, akan tetapi juga ayahnya. Dan untuk perempuan single mom, juga menjadi tanggungjawab keluarga dan kerabatnya dalam membantu masa menyusui ini.
Untuk mengulik apakah menyusui merupakan hak anak atau kewajiban ibu? Sebenarnya telah banyak ahli fikih seperti Ahmad Musthafa al-Maraghy dalam kitab tafsir Al-Maraghi (Juz 1 hlm 185) mengatakan bahwa menyusui dalam pandangan agama hukumnya wajib bagi ibu kandung dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Sementara Wahbah Az-Zuhaily mengatakan bahwa kewajiban menyusui ini berlaku bagi ibu yang masih menjadi istri maupun yang tertalak dan menjalani masa iddah. Hal ini juga disampaikan oleh Ibnu Abi Hatim dan Sa’id ibn Jubair.
Adapun dalam pandangan Jumhur ulama, kewajiban menyusui anak bagi seorang ibu lebih merupakan kewajiabn moral kemanusiaan (diyanatun) ketimbang legal formal (qadha). Ini berarti jika memang seorang ibu memilih untuk tidak menyusui, maka suami atau pun pengadilan tidak bisa menuntut dan memaksanya untuk menyusui.
Dalam pandangan jumhur ini, QS al-Baqarah ayat 233 mengandung makna perintah anjuran (mandub), bukan wajib. Hal ini berarti bahwa menyusui merupakan hak ibu juga hak anak untuk memperoleh susuan yang memadai. Ini juga telah dijelaskan dalam QS at-Thalaq ayat 6:
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Dalam ayat ini dijelaskan bagaimana solusi jika memang menemui kesulitan dalam proses menyusui. Ayat tersebut juga menjelaskan tradisi Arab kala itu tentang jasa penyusuan, maka jika disesuaikan dengan kondisi tempat kita saat ini, bisa juga dimaknai dengan pemberian susu formula (sufor) sesuai dengan kesepakatan keduanya.
Dengan demikian, apapun kondisi perempuan saat menjalani masa menyusui juga menjadi tanggung jawab pasangan dan keluarga dekatnya. Hal terpentingnya adalah adanya musyawarah, kesepakatan, dan kerelaan antar pasangan dalam menjalaninya. []