Mubadalah.id – Sepanjang hidupnya, Nabawiyyah Musa berjuang keras menuntut kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dalam segala dimensi kehidupan.
Perjuangannya dilakukan melalui berbagai cara: menulis artikel, menerbitkan majalah dan koran, mendirikan sekolah-sekolah bagi kaum perempuan dan organisasi-organisasi perempuan.
Di samping itu, ia juga aktif berjuang melalui jalur politik, advokasi kebijakan publik di parlemen terkait hak-hak perempuan, termasuk revisi dan amendemen konstitusi, serta melalui seni dan budaya, dan sebagainya.
Dalam sebuah artikelnya di surat kabar Al-Balagh, tanggal 19 Agustus 1927, di bawah judul Himayah al-Marah (Perlindungan terhadap Perempuan), Nabawiyyah Musa menulis:
“Sebagai rakyat Mesir, negara adalah hal paling aku cintai, lebih daripada cintaku kepada teman-teman perempuanku.”
“Aku tidak akan bergerak sedemikian aktifnya untuk membela kaum perempuan, andai kata aku tidak meyakini bahwa kemajuan negara hanya bisa dilakukan melalui upaya memajukan perempuan.”
“Maju mundurnya negara sangat tergantung kepada maju mundurnya kaum perempuan. Ini adalah fakta kehidupan sepanjang sejarahnya.”
Tidak Menikah
Nabawiyyah Musa tidak menikah sampai akhir hayat. Sebagian orang berpendapat bahwa ia tidak menikah karena hari-harinya sibuk untuk mendidik kaum perempuan dan memperjuangkan hak-hak asasi mereka yang setara dengan kaum laki-laki.
Ia bukan hanya tidak ingin menikah karena alasan tersebut, melainkan karena ia seperti membenci pernikahan. Suatu saat, ia pernah berkata:
“Aku tidak menyukainya (menikah). Aku bertekad untuk tidak mengotori diriku dengan menikah. Aku tidak mau menikah untuk selamanya. Alhamdulillah, dengan cara ini, pikiranku makin cerdas dan cemerlang.”
Sikap tersebut konon diambil karena pengalaman waktu kecil Nabawiyyah Musa yang tidak menggembirakan. Ia melihat banyak sekali perlakukan buruk terhadap perempuan. Bahkan, kaum perempuan orang-orang rendahkan dan lecehkan. Ia berkata:
“Suatu hari, di sebuah jalan, aku mendengar pertengkaran suami-istri. Suami mengatakan kepada istrinya, Perempuan hanyalah tempat bagi pelampiasan hasrat seksual.”
“Lalu, perempuan tersebut menjelaskan kepadaku maksud ucapan suami tersebut. Oleh karena itu, aku tidak ingin mendengar kata-kata ‘menikah’. Manakala aku telah dewasa, meski aku hanya mengatakan: ‘aku tidak ingin menikah’, banyak orang yang mengecamku. Tak ada kata-kata yang paling menyakitkan selain itu.” []