Mubadalah.id – Isu perkawinan anak, jika merujuk pada tulisan-tulisan tentang hukum Islam, masuk pada pembahasan hak perwalian bagi anak dan menjadi tanggungjawab orang tua.
Artinya, orang tua atau siapapun yang menjadi wali memiliki tanggungjawab untuk menikahkan anak-anak yang berada dalam perwalilan mereka.
Anak-anak, karena memiliki hak untuk diperwalikan, maka menurut Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Fikih Hak Anak, berhak menuntut untuk dinikahkan dengan orang yang tepat. Ini konsekuensi dari perwalian (al-wilayah) menjadi hak dasar anak sebagaimana al-Zuhaili (1989) dan al-Ghazali (1998) ungkapkan.
Al-Syahud sendiri menempatkan pernikahan sebagai hak dasar anak yang terakhir, atau ke-25, yang tentu saja menjadi tanggungjawab dan kewajiban kedua orang tua.
Sementara itu, Athiyah Shagr juga menegaskan bahwa menikahkan anak adalah bagian dari tanggungjawab kedua orang tua, dan karena itu, adalah hak anak atas mereka.
Istilah Anak Bermakna Dua
Istilah anak di sini bisa bermakna dua, anak di bawah umur atau anak dalam relasinya dengan kedua orang tuanya. Para penulis kontemporer tidak secara tegas memilih salah satu dari konsepsi ini.
Namun, mungkin lebih tepat jika yang dimaksud dari anak dalam isu ini adalah konsepsi yang kedua, yaitu posisi nasab dan relasi dengan kedua orang tuanya, sehingga tanggungjawab mereka adalah pada saat anak telah dewasa dan tepat untuk dinikahkan.
Jadi, pembahasan fikih kontemporer ini bukan tentang perkawinan usia anak di bawah umur. Namun, fikih telah membuka lebar kemungkinan anak belum dewasa untuk dinikahkan.
Dalam perdebatan ulama klasik, mayoritas ulama menyetujui perkawinan usia anak, baik laki-laki maupun perempuan.
Ibn Hazm hanya menyetujui untuk anak perempuan, tidak untuk laki-laki. Sementara tiga ulama besar, Utsman al-Batti (w. 43 H/663 M), Ibn Syubrumah (w. 144 H/761 M), dan Abu Bakr al-Ashamm (w. 279 H/892 M) menolak perkawinan anak baik laki-laki maupun perempuan.
Menurut ketiga ulama ini, perkawinan adalah tindakan berupa tanggungjawab kehidupan yang hanya bisa orang dewasa pikul.
Mereka yang masih di usia anak tidak sah menikah, maupun dinikahkan oleh wali maupun orang tua mereka. Pernikahan bukanlah sesuatu yang dibutuhkan mereka yang masih di usia anak. (Rul)