Mubadalah.id – Jika merujuk al-Qur’an tentang perkawinan yang kokoh, maka ia adalah perkawinan yang mampu memenuhi kebutuhan pasangan suami dan istri untuk saling melengkapi, saling berbagi, dan saling memperlakukan dengan baik.
Hal tersebut, guna terciptanya kasih sayang, ketenteraman, dan kebahagiaan, baik antara suami dan istri. Maupun antara suami-istri dengan anak-anak dan anggota keluarga yang lain.
Jika relasi yang adil ini terbangun dalam kehidupan rumah tangga, maka kekerasan dalam rumah tangga akan dapat dihindari. Karena kekerasan, baik dalam bentuk fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi pada dasarnya adalah cermin ketidak rukunan keluarga akibat relasi yang timpang. Termasuk relasi yang tidak adil, di antara mereka, dan itu dilarang oleh ajaran Islam.
Ketika perempuan terus-menerus mengalami diskriminasi dan kezaliman, Islam datang untuk menolong dan mengangkat posisi mereka. Islam menyeru tak seorangpun boleh memperlakukan secara tidak adil terhadap perempuan.
Hanya orang yang lalim saja yang memperlakukan perempuan secara tidak adil. Setiap orang mempunyai hak untuk bebas dari ancaman, pemaksaan, dan kekerasan.
Dengan perkataan lain, setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh rasa aman, baik secara fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi. Oleh karena itu, meskipun bekerja, tapi jika mereka lakukan dengan cara paksa, maka hal itu tidak boleh (haram) dalam Islam.
Pertanyaan yang muncul adalah: apakah seorang suami diperbolehkan melakukan kekerasan (misalnya membentak dan memukul) isterinya dengan alasan untuk mendidik? Memang, banyak orang berkata bahwa seorang suami boleh (memiliki hak) untuk memukul istri untuk kepentingan mendidik.
Pandangan ini konon berdasarkan pada sejumlah ayat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam konteks ayat pemukulan suami terhadap istri, Syaikh Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur menyatakan bahwa wewenang “memukul istri” demi kebaikan kehidupan rumah tangga.
Ketika pemukulan tidak lagi bisa efektif untuk memulihkan kehidupan rumah tangga yang baik, maka wewenang itu bisa kita cabut. Bahkan, pemerintah bisa melarang tindakan pemukulan itu dan menghukum mereka yang tetap menggunakan pemukulan sebagai media pemulihan hubungan suami-istri.
Tidak Boleh Memukul
Ada banyak cara yang lebih manusiawi untuk memulihkan hubungan suami-istri, yang tidak menistakan perempuan.
Ibn Arabi, seorang ulama besar dari Mazhab Maliki, menyitir pendapat seorang tabi’in, ‘Atha’ (w. 126 H / 744 M), bahwa seorang suami haram (tidak boleh) memukul istrinya.
“Ini pandangan fiqh Imam ‘Atha’ (W. 126 H/744 M), dengan pemahamannya yang dalam terhadap syari’ah dan ketekunannya menggeluti soal-soal ijtihad, dia meyakini bahwa perintah memukul pada ayat ini adalah adalah menunjukan kebolehan saja.
Tetapi dia sendiri memilih menyatakan (bahwa memukul itu hukumnya) makruh, dengan argumentasi lain. Yaitu hadits Nabi Saw yang diriwayatkan Abdullah bin Zam’ah, bahwa Nabi Saw bersabda:
“Sesungguhnya aku tidak senang (benci) terhadap lelaki yang memukul istrinya ketika dia marah, padahal bisa saja setelah itu menggaulinya pada hari yang sama”. []