Mubadalah.id – Dalam beberapa tahun terakhir ini, jilbab dan hijab sebagai busana muslimah menjadi isu politik paling hangat dan telah memasuki ruang kebijakan negara. Komnas Perempuan mencatat perkembangan ini dari tahun ke tahun, sejak 2008.
Dalam catatan tahunan pemantauannya atas kebijakan publik di daerah-daerah, Komnas Perempuan menemukan puluhan kebijakan yang mengatur busana masyarakat Indonesia, khususnya perempuan.
Dalam analisisnya, keberadaan aturan busana muslimah ini didorong oleh hasrat memenangkan pertarungan merebut kekuasaan politik. Jilbab atau hijab ditangkap sebagai isu yang menarik para politisi dari semua partai politik.
Mereka menggunakan indentitas busana muslimah di atas untuk politik pencitraan diri. Mereka berargumen bahwa pengaturan pakaian tersebut merupakan tuntutan publik mayoritas.
Masuknya isu ini ke dalam kebijakan publik atau negara tentu menjadi problem sosial yang serius, karena mengandung unsur diskriminatif terhadap perempuan dan warga Negara dan berpotensi terjadinya kriminalisasi terhadapnya.
Terlebih, dalam perjalanan sejarahnya terminologi tersebut mengalami proses perubahan pemaknaan dan persepsi.
Dewasa ini keduanya sebagai orang persepsi sebagai sebuah pakaian seorang perempuan. Bahkan lebih khas lagi ia adalah busana muslimah yang memberi kesan kesalehan dan ketaatan dalam beragama.
Persepsi ini secara sosial akan membawa dampak kebalikannya. Yakni bahwa perempuan yang tidak mengenakan jilbab atau hijab cenderung dipandang bukan perempuan muslimah dan bukan perempuan yang taat.
Dalam bahasa yang lain dan mungkin emosional, ia adalah perempuan yang kurang atau tidak berakhlak baik.
Betapa tingkat kesalehan, kebaikan budi dan ketaatan beragama seseorang seakan-akan hanya terlihat dan terukur dari aspek busana yang ia pakai. Pandangan ini telah menyederhanakan persoalan. []