Mubadalah.id – Tidak semua ibu merasa bahwa anak perempuannya butuh perlindungan. Tidak seluruh ibu memikirkan keamanan anak perempuannya dari seorang lelaki asing yang ia sebut sebagai “pengganti ayah bagi anaknya”. Mereka merasa baik-baik saja untuk meninggalkan anaknya. Menurutnya, setidaknya ada “lelaki” yang bisa memberikan perlindungan di rumah.
Sayang, jeritan kian menggema dari hati seorang anak yang merasakan keanehan pada tubuhnya. Ia tidak tahu apa-apa. Pengetahuannya masih secuil dari sepedek usia nyawanya. Lantas luka itu nyata ia rasa.
“Ma, ini (sambil menunjuk bagian tubuh alat kelamin) kok sakit, ya?” Sebuah percakapan dari seorang anak perempuan dengan ibunya yang saya temukan dalam salah satu video reels di media sosial. Memperlihatkan kisah orang ibu yang mencoba merekam pengalaman buruk anaknya dengan lelaki baru di rumah mereka.
Pentingnya Kesadaran Ibu
Sosok yang anak tersebut anggap sebagai “ayah” telah meraba-raba tubuhnya tanpa consent. Memasukkan sesuatu yang asing baginya, dan telah menyakitinya. Berhari-hari rasa sakit tak kunjung sembuh, hingga sang ibu menyadari keadaan anak perempuannya.
Sebagai seorang ibu, seperti halnya kasus di atas, tentu tidak pernah mengharapkan keburukan akan terjadi pada keluarga kecilnya. Dan tentu di tengah kesibukannya di dunia luar, ia juga ingin memberikan anaknya hidup yang layak, penuh kasih sayang. Tak berkurang baik dari sosok ibu maupun ayah.
Naasnya ia telah salah memilih lelaki yang baik untuk memberikan perlindungan pada putrinya. Bukannya menemukan sosok ayah, sebaliknya menarik seorang predator yang melukai anaknya secara fisik dan psikis. Beruntungnya si anak masih memiliki ibu yang mau mendengarkannya, mengusut kasusnya, dan kemudian lebih berhati-hati untuk memberikan perlindungan di kemudian hari.
Kehamilan Tidak Direncanakan
Salah satu kisah lain yang miris untuk kita dengar saya dapatkan dari sebuah hasil pendampingan di sebuah desa. Yang mana ada seorang anak perempuan yang telah menjadi korban perkosaan dari “ayah baru” dan “kakak ipar lelaki”-nya . Malangnya anak tersebut tidak berani mengungkapkan derita yang ia rasakan, hingga kehamilan tak direncanakan mendahuluinya.
Setelah mengetahui bahwa orang yang telah memperkosa anak keduanya adalah dari lelaki-lelaki ini. Bukan malah melindungi si anak, memberikan pelayanan khusus, atau melaporkan kasus yang menimpa keluarganya ke aparat berwajib. Si ibu malah berencana untuk membawa kabur suami dan menantunya ke luar Jawa agar polisi tidak bisa menangkapnya.
Selain itu, si ibu juga membelikan anak perempuannya obat penggugur dari toko daring yang tidak bisa dipertanggungjawabankan kualitas serta keamanannya. Entah apa yang ibu tersebut pikirkan. Betapa egoisnya dia ketika melihat anak perempuannya harus menanggung beban di masa remaja. Bahkan si anak harus berkali-kali pingsan di sekolah karena tubuhnya yang tidak kuat menahan dosis tinggi obat penggugur tersebut. Sampai akhirnya ia tidak lagi sekolah lagi.
Mementingkan Kasmaran Atau Anak?
Ada apa dengan para ibu ini? Ketika memilih untuk menjalin hubungan dengan lelaki baru di tengah memiliki anak, terlebih jika anak tersebut perempuan, tidakkah mereka berpikir untuk kebaikan anaknya? Mengapa mereka hanya mementingkan rasa kasmarannya tanpa menimbang perlindungan anaknya bisa ia jamin dengan baik?
Seperti kasus kedua yang baru saya bagikan. Barangkali menurut pembaca ini sudah keterlaluan untuk seorang ibu lakukan kepada anak perempuannya sendiri, jabang bayi yang telah ia kandung, lahir, dan besarkan selama ini.
Ngerinya yang ia lakukan tidak cukup sampai di sini. Setelah suami dan menantunya pada akhirnya bisa polisi tangkap, dengan penuh kesadaran, si ibu mengajukan dispensasi ke kantor polisi agar suaminya bisa bebas dari rutan. Alasannya satu, agar ada yang bisa mencari nafkah di rumah.
Sungguh saya tidak habis pikir. Mengapa ia harus mempertaruhkan surga bagi neraka yang jelas-jelas ada di depannya. Sayangnya, si ibu tidak bisa ditolong siapapun. Bahkan keluarga besarnya pun turut menutupi kasus dan mendukung aksi si ibu ini.
Semua pihak saling bahu membahu untuk menuntun anak perempuan yang sedang hamil tersebut menuju neraka yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sedangkan tiap ada organisasi kemanusiaan, LBH, atau dinas yang datang ke sana, memberikan mediasi, dibalas dengan serangan kebohongan empati yang tidak ada bukti.
Pemikiran Miris
Si ibu memberikan pernyataan, seakan telah menaruh iba kepada anak perempuannya. Takkan membiarkan anak perempuannya terlantar, begitupun jabang bayi yang hidup dalam kandungannya. Sayangnya hal itu hanya bualan yang telah ia buat-buat agar terus mendapatkan bantuan materi dari berbagai pihak komunitas, organisasi, maupun dinas yang menaruh simpati.
Saya mencoba untuk menghela napas panjang. Betapa mirisnya pemikiran yang sesat itu. Membiarkan kezaliman datang dan memporak-porandakan kehidupan keluarga. Naasnya, seorang ibu begitu tega melakukan hal tersebut tanpa berpikir panjang konsekuensi ke depannya.
Jika Ingin Menikah Lagi
Lantas di tengah rasa miris akan kisah tersebut, saya sembari berpikir, peristiwa semacam ini tidak boleh dipukul rata. Barangkali beberapa di antara ibu yang lain telah mempertimbangkan perlindungan dan keamanan anaknya saat memutuskan untuk menikah lagi..
Seperti halnya cerita yang pertama, ia hanya ingin mencarikan sosok ayah bagi si anak. Tentu barangkali ia telah menimbang dengan matang hingga berpikir bahwa lelaki tersebut bisa dikatakan “baik”. Meski pada kenyataannya, luka itu tetap datang tanpa diundang. Dan proses panjang harus ia lakukan demi keberlangsungan hidup anaknya ke depan.
Lantas, tulisan ini merupakan pengingat bagi para ibu yang membawa status single parent dan ingin memutuskan untuk menjalin hubungan dengan lelaki baru. Baik jika anda belum atau sudah memiliki anak, alangkah baiknya menyeleksi dengan baik. Setidaknya lelaki tersebut tidak akan hanya jadi suami yang baik. Tapi juga bisa menjadi sosok ayah yang baik bagi anak.
Ketika lelaki sudah paham apa saja kewajibannya sebagai suami dan orang tua tiri, setidaknya ketika statusnya adalah suami baru lelaki tersebut akan tahu batasan apa saja yang harus ia jaga. Ia akan paham bagaimana cara bersikap dan turut memberikan perlindungan bagi anak si istri. Selain itu bagaimana komitmennya dalam menjalani rumah tangga bersama perempuan yang memiliki anak perempuan. []