Mubadalah.id – Pernikahan adalah ibadah yang panjang. Pernikahan bertahan karena kedua pasangan yang saling memahami. Ia sama seperti ibadah lainnya yang pertanggung jawabannya langsung kepada Tuhan. Hanya saja bedanya, ibadah dalam pernikahan melibatkan orang lain, yaitu pasangan. Meskipun pada dasarnya pertanggungjawaban pernikahan itu langsung kepada Tuhan, sukses dan tidaknya pernikahan itu berhubungan erat dengan interaksi kita kepada pasangan.
Setiap pasangan yang menikah selalu menginginkan sakinah, mawaddah dan rahmah dalam pernikahannya. Mewujudkan tiga kondisi itu, bukan suatu hal yang mudah. Tidak taken for granted, melainkan harus diupayakan oleh kedua belah pihak. Dalam ajaran agama Islam, pernikahan bukanlah sebuah ikatan yang sifatnya harga mati. Meskipun pernikahan disebut sebagai mitsaqan ghalidzan, hubungan pernikahan bisa diputus melalui perceraian dan itu diizinkan dalam hukum agama kita.
Lalu bagaimana sih sebenarnya konsep pernikahan dalam Islam itu? Pernikahan dalam Islam dikonsepsikan sebagai hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami dan istri yang memiliki hak dan kewajiban tertentu. Masing-masing pihak memiliki kewajiban kepada yang lain sekaligus memiliki hak atas masing-masing. Pihak-pihak yang melanggar ikatan perjanjian itu bisa mendapatkan teguran maupun somasi dari pihak yang lain. Jika sudah tidak bisa dilanjutkan ikatan perjanjian tersebut, maka pihak yang merasa dirugikan boleh memutuskan ikatan pernikahan itu.
Sebagai sebuah perjanjian, hubungan pernikahan adalah hubungan yang setara antara laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri. Meski keduanya memiliki hak dan kewajiban yang berbeda, hak untuk memutuskan hubungan atau menjalin hubungan kembali dimiliki oleh keduanya. Karena itu, pernikahan dalam hukum Islam adalah hukum pernikahan yang sangat relevan dengan era sekarang dimana kesetaraan dan kemanusiaan sangat dijunjung tinggi.
Pernikahan mengharuskan masing-masing pihak untuk bersikap ma’ruf dalam memperlakukan pasangannya. Kenapa menggunakan istilah ma’ruf? Karena masing-masing individu memiliki kapabilitas yang berbeda dalam memperlakukan pasangan secara baik sesuai kemampuannya.
Misalnya seorang suami dengan penghasilan 4 juta perbulan, maka menafkahi istrinya sebesar 2-2,5 juta perbulan adalah perbuatan yang ma’ruf dalam hal nafkah dan begitu seterusnya sesuai kemampuan masing-masing. Begitu juga dengan seorang istri yang bertugas memberikan pelayanan kepada suaminya, maka ia harus bersikap baik kepada suaminya dan senantiasa memberikan sikap terbaiknya agar suami ridha terhadapnya.
Jika terjadi perselisihan dalam pernikahan yang mana perselisihan tersebut telah sampai pada level merendahkan martabat kemanusiaan masing-masing, misalnya suami melakukan KDRT, manipulasi, tidak menafkahi, berbuat kasar dan mengajak si istri untuk bersama-sama melakukan kemaksiatan, maka kondisi ini adalah kondisi yang mengharuskan adanya perceraian.
Mengapa demikian? karena sudah keluar dari role kemaslahatan pernikahan. Apalagi jika kedua belah pihak sudah saling dzalim satu sama lain. Maka mempertahankan pernikahan tidak lebih baik. Oleh karenanya, Islam memberikan solusi kepada pernikahan yang dalam kondisi tertentu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi berupa perceraian.
Melalui sebuah akad, hubungan pernikahan bisa terikat dan menjadi terputus karena perceraian. Pada dasarnya spirit ajaran Islam memberikan hak cerai secara setara kepada laki-laki maupun perempuan. Suami memiliki hak talak untuk memutuskan ikatan pernikahan dan istri memiliki hak khulu’ dengan cara mengembalikan iwadh’ senilai mahar sebagai tebusan.
Namun jika suami tidak juga mau menjatuhkan talaknya padahal si istri sudah mengajukan khulu’ maka bisa menggunakan cara fasakh dengan syarat-syarat tertentu yang dibolehkan pengajuan fasakh. Melalui fasakh ini, hubungan pernikahan bisa dianggap putus oleh hakim dengan pertimbangan hukum tertentu.
Dengan demikian, sebagai sebuah ikatan perjanjian, pernikahan harus memenuhi unsur mu’asyarah bil ma’ruf ini untuk menjaga keberlangsungannya. Laki-laki atau suami tidak diizinkan mengikat perempuan atau istri dalam sebuah ikatan pernikahan tanpa mempergaulinya secara ma’ruf.
Karena hal demikian itu sama dengan mempermainkan nasib orang lain atau dalam istilah al-Qur’an disebut “wa tadzaruuhaa kal mu’allaqah”. Padahal, perempuan juga memiliki hak kemerdekaan yang sama dengan laki-laki dalam memperjuangkan hidup.
Jika seorang suami sudah tidak bisa lagi bersikap ma’ruf kepada istrinya karena satu atau lain hal, maka menceraikannya adalah cara yang lebih baik. Tentu menceraikan istri ini harus dengan cara yang baik / tasrih bi ihsan. Tidak dengan cara mencampakkannya. Menceraikan istri tidak selalu bermakna menganiayanya. Boleh jadi ini adalah cara yang lebih baik daripada menahannya namun memperlakukannya dengan buruk. Wallahu a’lam. []