• Login
  • Register
Minggu, 8 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Pernikahan yang Maslahat dan Keberlanjutan Lingkungan

Ketika keluarga menjadi lokus agama dalam mewarisi tanggung jawab keberlangsungan umat manusia ke depan, maka pernikahan tidak bisa lepas dari keberlanjutan lingkungan dan alam.

Alfiatul Khairiyah Alfiatul Khairiyah
20/09/2023
in Publik, Rekomendasi
0
Pernikahan yang Maslahat

Pernikahan yang Maslahat

942
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Menikah adalah ibadah, maka segala yang menyangkut proses pernikahan juga harus baik. Baik untuk diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, termasuk untuk keberlanjutan kehidupan ke depan atau bisa kita sebut dengan proses pernikahan yang maslahat.

Beberapa hari yang lalu, viral berita kebakaran di kawasan gunung Bromo. Berdasarkan Liputan 6, kebakaran kawasan Bromo disebabkan proses foto prewedding yang menggunakan flare dan satu di antara lima flare meletus sehingga menimbulkan kebakaran di taman Teletubis Bromo. Hingga beberapa hari berlalu, kawasan yang terbakar terus menjalar semakin luas  dan  berdampak pada pipa air beberapa desa.

Maka, pernikahan yang awalnya menyangkut dua orang dan dua keluarga, dalam prosesinya tidak hanya tentang dua orang tersebut (pasangan), tetapi juga menyangkut keberlanjutan banyak orang. Hal ini tidak hanya dalam kasus kebakarannya Kawasan Bromo, tetapi juga dalam prosesi lain yang seringkali juga tidak memikirkan keberlanjutan hidup banyak orang termasuk lingkungan.

Menikah dalam Islam

Islam menganjurkan setiap penganutnya untuk menikah dengan salah satu tujuan untuk menjaga agama dan keberlanjutan kehidupan manusia. Artinya, Islam menganjurkan menikah pada orang yang mampu sejak awal untuk kepentingan umat manusia dan kemaslahatan.

Dalam perspektif syari’ah, pernikahan sebagai sarana mencapai kemaslahatan. Sebagiamana substansi Maqasid As-syari’ah dengan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta yakni untuk kemaslahatan manusia itu sendiri dan kemakmuran di muka bumi. Setidaknya, pernikahan dapat memuat tiga hal dari Maqasid As-syari’ah diantaranya menjaga agama, keturunan, dan jiwa.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi dalam Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu, bahwa manusia diberi tanggung jawab melakukan pemakmuran di muka bumi, dan kemakmuran bumi menuntut keberadaan manusia dan bergantung pada keberadaan manusia, sedangkan keberadaan manusia bergantung kepada perkawinan.

Baca Juga:

Budaya Gosip dan Stigma atas Perempuan dalam Film Cocote Tonggo (2025)

Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

Luna Maya Menikah, Berbahagialah!

Peran Negara Dalam Pelestarian Lingkungan Hidup

“Jika kamu mengetahui ini, kamu akan mengatakan bahwa keberlanjutan bumi harus dimakmurkan yang menuntut keberadaan manusia sampai akhir umur dunia. Hal ini tentu saja mengharuskan berketurunan dan menjaga spesies manusia sehingga penciptaan bumi dan isinya tidak menjadi sia-sia. Simpulan dari ini, pemakmuran dunia bergantung pada keberadaan manusia. Sedangkan keberadaan manusia bergantung pada perkawinan,” (Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu, juz II, halaman 7).

Dengan ini, pernikahan yang maslahat memiliki visi untuk keberkelanjutan manusia khususnya umat muslim. Di mana, visi jangka panjang atas nama kemaslahatan akan terbentuk bersama melalui institusi keluarga yang bermula dari pernikahan. Tentu, kemaslahatan di sini dapat kita maknai secara lebih luas dan dampaknya terhadap tatanan sistem sosial dan ekologi.

Relasi Pernikahan dengan Alam

Ketika keluarga menjadi lokus agama dalam mewarisi tanggung jawab keberlangsungan umat manusia ke depan, maka pernikahan tidak bisa lepas dari keberlanjutan lingkungan dan alam. Kita perlu memaknai pernikahan lebih luas.

Selama ini, kita gagal memaknai pernikahan sebagai sesuatu yang sebenarnya juga berhubungan dengan entitas lain di muka bumi. Kita menganggap pernikahan hanyalah persoalan dua orang atau sepasang manusia tanpa melibatkan lingkungan sekitar untuk menjadi keluarga yang sakinah mawadah dan warahmah.

Kealphaan kita memasukkan unsur lain dalam sebuah pernikahan, menyebabkan pernikahan seringkali melupakan hal-hal lain di luar itu termasuk relasinya dengan alam. Tentu, relasi ini berlangsung mulai dari proses pra menikah, pernikahan, dan dalam keluarga.

Seperti dalam proses prewedding yang terjadi di Bromo, misalnya, alam cenderung hanya menjadi latar yang dapat meromantisasi suatu hubungan pasangan. Alam tidak menjadi subjek utuh sebagai alam itu sendiri. Termasuk saat prosesi pernikahan, ada banyak sekali praktik-praktik yang tidak berkelanjutan atau merusak lingkungan.

Seperti bebera hari yang lalu, saya mengunjungi salah satu gedung expo di kota domisili saya, ternyata pada hari itu ada pesta pernikahan yang berlangsung. Tampak dari luar, pesta pernikahan ini cukup mewah, saat melihat banyaknya karangan bunga yang berjejer di depan gedung, mulai dari ucapan rektor, CEO, PT, dan dari kolega-kolega lainnya.

Lalu kemana larinya karangan bunga yang begitu banyak ini kalau tidak menjadi sampah? belum lagi botol-botol mineral, kotak nasi, souvenir, dan lainnya. Proses pernikahan nyaris menjadi ajang produksi sampah besar-besaran bahkan sampai menyebabkan kebakaran.

Islam dan Sustainable Wedding

Pesta pernikahan yang menjadi salah satu penyumbang sampah dan kerusakan lingkungan menjadi mengurangi esensi dan tujuannya menurut Islam. Kita seringkali melupakan prinsip kemaslahatan untuk lingkungan dalam proses pernikahan.

Kemakmuran bumi yang bergantung pada umat manusia dan kehidupan umat manusia bergantung pada pernikahan. Maka, pernikahan harus mencerminkan bagaimana keberlanjutan umat manusia ke depan dengan hal-hal kecil seperti meminimalisir produksi sampah dan dampak terhadap lingkungan.

Dalam Islam relasi antar suami istri harus berlangsung dengan cara-cara yang ma’ruf. Suami harus memperlakukan istri dengan ma’ruf, begitupun sebaliknya, yang kita kenal dengan mua’syarah bi al-ma’ruf.

Tetapi, alam juga dapat menjadi subjek lain yang harus diperlakukan dengan ma’ruf. Saya ingin menambah subjek alam dalam mu’asyarah bi alma’ruf dalam suatu relasi keluarga. Dimana, alam juga memiliki hak dan kewajiban untuk diperlakukan secara ma’ruf.

Ma’ruf berarti segala hal yang dapat bermakna baik menurut agama, manusia, dan dapat kita terima berdasarkan akal sehat dan naluriah. Hal ini ikatakan oleh Muhammad Baduh dan Ibnu Abi Jamrah yang saya kutip dari buku Fiqh Perempuan KH. Husein Muhammad.

Maka, tindakan ma’ruf tidak hanya terbatas pada kedua pasangan, tetapi juga terhadap lingkungan, sehingga menciptakan suatu pernikahan yang ramah lingkungan atau sustainable wedding.

Islam menganjurkan umat muslim menikah, Islam juga memerintahkan umat muslim untuk menjaga bumi. Maka kita tidak bisa memisahkan keduanya dalam praktiknya. Menikah adalah salah satu cara membangun kemaslahatan antar dua individu, orang sekitar, dan lingkungan. []

Tags: LingkunganMu'asyarah Bi Al-Ma'rufpernikahanrelasi pernikahasustainable wedding
Alfiatul Khairiyah

Alfiatul Khairiyah

Founder Pesantren Perempuan dan Mahasiswa Sosiologi Universitas Gadjah Mada

Terkait Posts

Jam Masuk Sekolah

Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

7 Juni 2025
Iduladha

Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

7 Juni 2025
Masyarakat Adat

Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

7 Juni 2025
Toleransi di Bali

Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

7 Juni 2025
Siti Hajar

Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

7 Juni 2025
Relasi Kuasa

Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

7 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jam Masuk Sekolah

    Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • 7 Langkah yang Dapat Dilakukan Ketika Anda Menjadi Korban KDRT
  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID