Mubadalah.id – “Ini heels-ku”. Ucap Dewandra sambil mengulurkan heels berwarna silver pada adik sepupunya, Ambara.
Dewandra berangsur pergi. Batinnya bergolak atas peristiwa barusan. Matanya berkaca-kaca dan pandangannya kabur. Ambara mengejar dengan berlari.
“It’s Oke, fine. Aku selalu di sisimu.” Ucap Ambara sambil menatap wajah Dewa dari samping. Ada yang mengalir di pipi lelaki itu, air mata kesedihan. Ia tak pernah melihat Dewa menangis, bahkan ketika dulu, Indra, saudara kembar Dewa meninggal. Dia tetap tabah. Namun gara-gara heels, tembok pertahanannya runtuh. Ambara tahu, kali ini Dewa benar-benar terpukul.
Laki-laki Boleh Menangis
Ambara menemani Dewa menyepi di taman belakang fakultas. Membiarkan lelaki usia 22 tahun itu menangis sesenggukan. Laki-laki boleh menangis. Batin Ambara. Ia yang selama ini belajar kesetaraan gender dan membaca banyak buku keadilan relasi membuat empatinya kian terasah.
Kakaknya, yang sejak kecil melindunginya dari semua gangguan, kini menangis seperti anak kecil, namun ia hanya bisa mematung tanpa banyak berbuat.
“Gerak kakimu lebih sexy dari Bella Hadid. Kau tau?” Ucap Ambara mencoba membuka obrolan saat Dewa sudah lebih tenang. Dewa tersenyum.
“Kau tidak berpikir aku menjijikkan? Semua mata memandang padaku dengan tatapan menghina.”
Betul. Setengah jam yang lalu semua mata tertuju pada Dewa, menjadikannya objek tontonan layaknya topeng monyet. Dengan penuh percaya diri, Dewa berjalan di tengah karpet merah menggunakan heels berwarna silver milik Ambara. Tentu saja semua orang kaget dan berbondong menatap padanya.
Kejadiannya begitu cepat: reaksi ketakjuban bercampur tawa, tepukan, siulan, sekaligus kesinisan. Bagaimana tidak? Tubuh laki-laki macho dengan dada six pack yang sangat atletis, bercampur kecerdasan dan citra yang sangat maskulin, tiba-tiba berjalan di tengah lautan manusia dengan heels 12cm dan berlenggak-lenggok layaknya model Victoria’s Secret. Dunia gempar.
Pertarungan Tatapan Mata
“Sartre bilang, hidup adalah pertarungan tatapan mata. Jangan biarkan tatapan mata orang lain mendominasi dan membuatmu tak berdaya. Kau terlalu hebat untuk dijajah tatapan mata sepele mereka.” Ucap Ambara dengan mantap sambil menatap mata Dewa.
“Kau selalu pandai berkata-kata, Ambara!” Dewa menatap mata adiknya yang berkaca-kaca namun penuh binar percaya diri. Mata itulah yang konon membuat banyak laki-laki jatuh cinta sekaligus merasa segan. Kini ia merasakan sendiri kekuatannya. Mata yang mampu membuat lawan bicaranya luluh karena ketulusan.
Dewa menyadari betul bahwa tidak akan semudah itu praktiknya. Dia sudah pernah mengalaminya dulu saat masih di SMP. Dulu ia pernah mencoba memakai jilbab di SMP Islam tempat ia sekolah. Ia tidak sedang mempermainkan jilbab. Ia hanya penasaran rasanya memakai kain penutup kepala itu. Ia ingin sekali merasakannya.
Gejolak itu sudah lama muncul dan tak terbendung. Di rumah, ia sudah berulang kali mencobanya. Bercermin, dan ia merasakan sensasi yang aneh, seolah menjadi manusia baru. Itu di rumah. Saat di sekolah, ia ingin sekali mencoba jilbab dalam bentuk seragam.
Akhirnya rasa penasarannya ia wujudkan dengan memakai jilbab seragam milik adiknya di sekolah. Ia merasa sangat bahagia sebelum akhirnya disoraki semua teman sekelasnya setelah ia diseret secara paksa dari kamar ganti menuju lapangan, saat mata pelajaran olah raga dimulai.
Melawan “Tatapan” Mata Orang
Sejak saat itu ia menjadi bahan bullian. Semua mata menatap padanya dengan geli, sinis, dan menjadikannya objek yang ditertawakan. Mereka memanggil Dewa dengan sebutan bencong.
Awalnya, Dewa sedih. Namun karena setiap hari dibully, akhirnya bullian itu justru menjadi normal, ia terbiasa. Karena nasi sudah menjadi bubur, baju sudah terlanjur basah, ia terjun sekalian ke dalam danau. Dewa mencoba melawan “tatapan” orang dengan semakin menggila. Ia justru menuruti keinginan teman-temannya menjadi badut di sekolahan.
Di kelas, ia sering membuat suasana riuh penuh gelak tawa dengan memakai jilbab dan berjalan berlenggak-lenggok layaknya model yang sedang melakukan peragaan busana. Sepulang sekolah, ia sering dikejar-kejar anak-anak SD.
Anak-anak SD itu mengikutinya sampai ke pangkalan angkot. Dan kemudian berita menjadi menyebar. Dewa menjadi terkenal di kota kecamatan karena sikapnya yang lemah gemulai menyerupai perempuan. Di komplek tempat tinggalnya, setiap keluar rumah, dari anak kecil sampai orang tua banyak yang mengatainya banci.
Semua orang menatap padanya dengan tatapan mempermalukan namun di sisi lain membuat mereka tertawa. Dia tak punya teman main, semua orang menjauh. Hanya Ambara yang mau menjadi temannya.
Di saat saudaranya yang lain juga menjauhinya, Ambara tetap mengikutinya seperti itik kecil yang mengikuti induknya. Sejak saat itu Dewa dan Ambara menjadi sangat akrab. Dewa sangat menyayangi Ambara dan menganggap Amabara sebagai adik kandungnya sendiri—sekaligus kelinci percobaan.
Karena Dewa menyukai desain baju dan make-up. Dia sering menjadikan adiknya sebagai model untuk berlatih merias wajah, dan dibuatkannya adiknya itu baju-baju princess yang cantik.
Ambara sering ia dandani dengan karakter Disney dan Anime kesukaan Dewa. Dewa mengidolakan karakter Cinderella, Aurora, Ariel, Sailor Moon dan Wedding Peach. Ambara akhirnya punya kesukaan yang sama dalam selera fashion dan tontonan karena pengaruh Dewa.
Mengubur Masa Lalu
Namun, Dewa kemudian menyudahi kegilaannya saat menjelang kelulusan SMP. Setelah mendapat kemarahan besar dari ayahnya yang seorang tokoh masyarakat. Juga karena ia merasa capek menjadi badut dan topeng monyet kekonyolan dan kegilaannya yang tidak biasa.
Dengan tekad yang kuat akhirnya Dewa memutuskan untuk mengakhiri sisi lain dari dirinya yang dianggap gelap oleh semesta. Ia merubah semua penampilannya, selera bacaan, musik, hingga film. Ia buang semua koleksi film Disney dan pernak-pernik Anime yang feminin.
Boneka, baju princess; ia bungkus dan masukkan ke dalam peti, ia buang ke gudang. Ia juga melarang Ambara datang ke rumahnya dan menjauhi gadis kecil itu. Dewa ingin mengubur semua hal yang ada hubungannya dengan masa lalunya.
“Kau membuangku juga?” Ucap Ambara saat kakaknya memutuskan untuk sekolah SMA di luar kota, sebuah tempat yang jauh, agar bisa menghindari lingkungan yang mencederai perasaan dan jiwanya. Ia juga meninggalkan Ambara.
“Ya. Aku membuangmu, maka pergilah.” Ucapan Dewa tentu melukai Ambara saat itu.
Ambara hanya menjerit menangis saat mengantar Dewa ke stasiun untuk melepasnya pergi ke Surabaya untuk bersekolah di sana. Ambara akhirnya berdamai setelah satu tahun. Ia menjalani kehidupannya di SMP hingga SMA. Dan akhirnya ia dipertemukan kembali dengan Dewa di kampus Jogja.
Menjadi Manusia Baru
Dewa adalah mahasiswa semester tujuh Fakultas Kedokteran sementara Ambara adalah mahasiswa semester satu Tata Busana. Akhirnya mereka terkoneksi kembali meski dengan tampilan yang sangat berbeda. Dewa sangat tampan, gagah, dan tinggi. Dia sangat “cowok”. Tidak ada bekas masa lalu sama sekali dalam kehidupannya saat ini.
Ia menjadi presiden BEM, ia aktif di berbagai kegiatan aktivis. Meski ia mahasiswa kedokteran, ia juga membaca banyak buku teori sosial dan politik, ia menjadi singa podium dengan pikiran dan semangat yang menyala-nyala saat berpidato mengobarkan semangat mahasiswa pergerakan. Ambara terpesona dengan kakaknya itu.
Kehancuran
Namun semua itu hancur saat acara pagelaran fashion show di fakultas Ambara. Sebagai mahasiswa semester awal, Ambara menjadi volunteer di acara nasional tahunan tersebut. Ia bertugas menjaga pakaian dan aksesoris para model. Dewa hanya bermaksud membantu Ambara karena Ambara menjaga baju-baju dan aksesoris yang merupakan barang branded mahal.
Ternyata hasrat Dewa tak bisa dihentikan saat melihat benda-benda itu, terlebih melihat heels silver LV yang coba dipakai adiknya, ia seperti kesurupan. Dewa meminjam heels itu dan berjalan kesana-kemari. Ambara terpana dengan gerak tubuh Dewa yang (masih) sangat lentur seperti Pia Wurtzbach di panggung Miss Universe.
Dewa tersenyum sumringah, Ambara kaget sekaligus senang melihat tawa itu. Sebelum akhirnya Dewa berjalan keluar menuju runway di panggung utama. Entah kecerobohan, entah kegilaan, Ambara dan Dewa tak begitu ingat, tiba-tiba Dewa meluncur keluar dari panggung belakang. Jadilah ia Bintang tak diundang yang meloncat mengejutkan. Bisa dibayangkan kekagetan setiap orang seperti apa (?)
Luka Baru yang Lebih Dahsyat
Hancur sudah citranya. Semua mata menatap padanya dan ia dipelototi ratusan mata dan kamera. Dokumentasinya ada, video mungkin sudah viral. Dewa terduduk lemas di bangku taman belakang fakultas. Luka masa lalunya kini terungkit kembali, menimbulkan luka baru yang lebih dahsyat.
“Aku memang tidak waras, Ambara. Sudah lama aku merasa terperangkap dalam tubuh laki-laki yang salah. Aku hanya takut mengakuinya. Aku adalah jiwa lain yang bersemayam di tubuh lain yang berbeda dari naluriku.”
Terjebak dalam Tubuh Lain
Dewa memang sudah merasakannya. Dia merasa terlalu feminin untuk terjebak dalam tubuh atletis laki-laki. Sudah ia konfirmasi ke psikolog, namun psikolog hanya memberi jawaban ambigu kendati hasil tes di atas kertas menyatakan dia seorang laki-laki normal baik jiwa maupun raga.
“Kamu laki-laki sejati. Kamu jatuh cinta pada Ewa. Ewa membuatmu berdebar, menangis, rindu, dan membuatmu ingin menikahinya. Aku ingat. Aku bersaksi untukmu.”
“Itu kamuflase. Itu obsesi sesaat. Ewa sama sepertimu, aku anggap adikku.”
Air mata menetes dari pipi Dewa, menetes pula air mata yang sama dari pipi Ambara. Mereka saling menatap untuk saling menguatkan, sekaligus saling cemas bagaimana caranya menghadapi dunia kejam di hari kemudian. []