• Login
  • Register
Jumat, 6 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

Banyak institusi tidak memiliki sense of crisis terhadap isu terkait pelanggaran moral dalam bentuk kekerasan seksual.

Atun Wardatun Atun Wardatun
05/06/2025
in Personal, Rekomendasi
0
Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pada dasarnya, siapapun bisa menjadi pelaku kekerasan seksual. Data menunjukkan, lokus terjadinya kekerasan seksual bisa di mana saja. Dari tempat terbuka sampai yang tertutup. Dari tempat kumuh juga tempat terhormat.

Pelaku dan korban kekerasan bisa siapapun dan terjadi di manapun

Jenisnya juga beragam dari yang ringan sekedar lontaran kata secara verbal, meraba, mencium, sampai berhubungan secara paksa dengan beragam modus pula. Juga korban yang tersasar bisa berasal dari berbagai kalangan dan profesi serta jenis kelamin.

Di banyak berita, kasus kekerasan seksual bahkan bisa terjadi di lembaga Pendidikan Agama dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi yang seharusnya memiliki standard moral yang maksimal.

Pelaku dan Korban dari Lembaga keagamaan

Ekspektasi masyarakat terhadap lembaga pendidikan terutama pendidikan agama  dan para pihak yang terlibat di dalamnya tentu saja sangat tinggi. Idealnya, mereka yang menjadi pimpinan, pengajar, pengurus adalah orang-orang yang mampu mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki.

Bahwa di dalam berhubungan dengan sesama, tidak boleh terjadi kekerasan dalam bentuk apapun. Kekerasan seksual bisa kita minimalisir dengan penghayatan terhadap dalil yang selalu mereka hafalkan dan lafalkan terkait menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan (kemaluan).

Baca Juga:

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)

Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

Pentingnya Membangun Kesadaran Inklusivitas di Tengah Masyarakat yang Beragam

Kafa’ah yang Mubadalah: Menemukan Kesepadanan dalam Moral Pasutri yang Islami

Namun pertanyaannya ,mengapa banyak tokoh pendidik berlatarbelakang pemahaman agama yang mumpuni tersebut justru melakukan tindakan kekerasan seksual?  Apakah, ilmu mereka tidak berpengaruh langsung terhadap akhlak, etika, dan moral? Lebih miris lagi, korban-korban juga adalah mereka yang sedang mengenyam pendidikan tinggi bahkan pada level pasca-sarjana.

Nah, pertanyaan yang sering muncul, segampang itukah mereka terbuai? Pertanyaan lain yang bernada seksis misalnya, mungkinkah para perempuan itu juga menikmati, kenapa setelah sekian lama baru terbongkar?

Bagaimana kemudian kita bisa menjelaskan fenomena ‘kebejatan’ yang justru dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi teladan sekaligus pelindung orang-orang yang berada di dalam jangkauannya. Bagaimana pula menjelaskan agensi perempuan sebagai korban dalam kasus-kasus ini?

Banyak analisis yang saya ajukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Analisis itu berawal dari identifikasi mereka terkait masalah yang ada. Jika dipetakan maka paling tidak ada tiga kelompok yang memiliki cara pandang yang berbeda.

Tiga Sebab Mengapa Kekerasan Seksual Terjadi

Pertama adalah kelompok yang melihat bahwa tindakan bejat ini berakar pada  moral personal.  Sebagian melihat bahwa pelaku itu adalah semata oknum yang imannya sedang tergoda sehingga khilaf atau memang standard moralnya sangat rendah. Tidak mengetahui apa yang dia lakukan itu adalah tindakan kejahatan.

Kesalahan personal ini oleh karenanya tidak ada hubungannya dengan konsep relasi yang dia anut atau atmosfer budaya yang cenderung permissive dan menormalisasi tindakan mereka. Apalagi dengan institusi tempat mereka bernaung yang nampaknya memiliki nama baik.

Kedua, adalah kelompok yang melihat bahwa tindakan kekerasan sosial adalah semata sebagai akibat dari relasi kuasa di mana sentralisasi otoritas di beberapa lembaga sangat kuat terpegang oleh figure tertentu. Sehingga orang-orang yang berada dibawahnya dalam hal ini tidak memiliki posisi tawar yang memadai untuk menolak,bersuara, bahkan mengungkap apa yang sudah terjadi kepada mereka.

Kekuatan yang tidak imbang inilah yang memberikan kesempatan kepada pihak yang dianggap lebih kuat untuk melakukan tindakan di satu sisi, dan membuat yang lebih lemah menyerahkan diri menjadi korban tanpa agensi (kapasitas bertindak) yang memadai untuk menolak.

Ketiga, ada masalah secara institusional. Bahwa lembaga-lembaga tertentu tersebut memang belum memiliki sistem pencegahan dan penanganan yang memadai bagi kasus-kasus kekerasan seksual. Secara kelembagaan, ada atmosfer yang melakukan normalisasi bahkan tidak menemukenali bentuk-bentuk kekerasan seksual.

Banyak institusi tidak memiliki sense of crisis terhadap isu terkait pelanggaran moral dalam bentuk kekerasan seksual ini.  Setelah terjadipun, penanganan tidak dilakukan dengan seksama karena kepentingan ‘melindungi nama baik’ jauh lebih merekautamakan daripada ‘memberikan efek jera’ terhadap para pelaku.

Dalam hal ini keperpihakan terhadap korban terkalahkan dengan keinginan untuk melindungi pelaku yang kita akui atau tidak memang memberikan efek negative terhadap nama baik institusi di mana mereka berada.

Perspektif Heterarki sebagai Analisis Alternatif

Lalu bagaimana kita menggunakan perspektif heterarki sebagai alat analisis di dalam melihat kasus-kasus kekerasan seksual, dan menjawab beberapa pertanyaan di atas?

Heterarki adalah sebuah konsep yang melihat relasi sosial itu berdasarkan pada hirarki yang beragam. Hirarki (pertingkatan sosial) tidak bisa kita hapus, hanya bisa kita pertukarkan atau kita letakkan pada subyek lain jika dimensi ruang dan waktu menjadi pertimbangan. Seorang pendidik di dalam ruang kelas dan mungkin memiliki otoritas yang lebih daripada murid-muridnya.

Tetapi di rumahnya, murid tersebut memiliki otoritas lain yang mengarahkan hidupnya misalnya orang tuanya. Di lain waktu, seorang murid tersebut memiliki otoritas yang lebih terhadap teman sebayanya dibandingkan dengan guru dan orang tuanya. Belum lagi ketika kita letakkan pada waktu yang berbeda.

Setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Oleh karenanya, perspektif heterarki (pertingkatan sosial yang beragam) melihat sebuah fenomena dan relasi dengan kacamata relativitas. Tidak ada kemutlakan, tidak ada sentralisasi, tidak ada pelaku tunggal. Mari kita meminjam perspektif heterarki untuk menilai ketiga analisis sebagaimana tersebut di atas.

Semua Orang Punya Identitas Beragam

Pertama, perspektif heterarki melihat bahwa tindakan kekerasan seksual terjadi karena jalin kelindan semua faktor, tidak tunggal. Ada individu yang memang memiliki hawa-nafsu dan hati nurani, tetapi hawa-nafsunya menjadi menang karena didukung oleh relasi kuasa dan ketidakberdayaan korban.

Lalu lembaga juga bisa jadi mendukung pelanggaran itu. Misalnya tidak adanya sistem deteksi dini dan pencegahan terhadap semua jenis kekerasan seksual yang terjadi.  Semua aspek tersebut memiliki kontirbusi masing-masing untuk menjadikan sebuah pelanggaran asusila terjadi.  Jadi tidak hanya masalah personal, relasional, atau institutional secara terpisah.

Kedua, perspektif heterarki melihat bawa relasi kuasa menuju relasi setara perlu terfasilitasi dengan relasi kesadaran. Sadar bahwa semua orang punya potensi untuk berada pada kelas yang lebih tinggi pada struktur sosial yang kompleks.

Bahwa semua orang punya identitas yang beragam (multiple identities) yang sama-sama perlu mendapatkan pengakuan. Dan ketika mereka berganti identitas, maka mereka juga bisa menempati kelas yang berbeda pada struktur sosial.

Misalnya seorang perempuan ketika dia menjadi anak, maka otoritas dia akan berbeda jika dia menjadi ibu, istri, pekerja, direktur, guru, tetangga, anggota arisan dan lain-lain.

Menilik Relasi Kesadaran

Relasi kesadaran yang saya maksud bahwa masing-masing individu harus memiliki kesadaran bahwa mereka tidak selalu punya otoritas dan berkuasa penuh pada orang lain juga dalam waktu bersamaan. Kelompok masyarakat yang mungkin menganggap dirinya rentan dan tidak memiliki posisi tawar, hal itu sebenarnya tidak nyata. Bahwa dia memiliki otoritas penuh  dan agnensi paling tidak terhadap tubuhnya sendiri.

Dengan kesadaran ini maka seseorang yang merasa lemah berani untuk bersikap assertif, berani jujur dengan pilihannya, mau menyuarakan kegelisahan dan kebutuhannya. Demikian juga, mereka yang merasa kuat, tidak arogan dan tidak semena-mena. Dalam konteks ini perspektif heterarki yang menggarisbawahi bahwa semua orang memiliki power, (no one powerless) harus menjadi dasar di dalam relasi sosial.

Ketiga, perspektif heterarki melihat bahwa seberapapun kuatnya sebuah lembaga, maka proses evaluasi harus kita lakukan terus menerus. Tidak boleh merasa final dan selesai dalam proses perbaikan. Masyarakat berubah, kebutuhan mereka berubah, aturan hukum berubah, maka lembaga pendidkanpun harus terus menyesuaikan diri dengan perubahan ini.

Ambil Bagian dalam Perubahan

Lembaga sebagus apapun seyogyanya bersedia menundukkan diri untuk belajar dan terkontrol oleh stakeholder yang lain. Misalnya orang tua murid, para pengawas pendidikan, aktivis, organisasi sosial kemasyarakatan bahkan individu lainnya untuk memberikan feedback demi kemajuan dan fleksibilitas kelembagaan. Salah satu wujud heterarki juga adalah membangun sistem kepemimpinan demokratis-kolegial.

Demokratis dalam arti ada kedaulatan yang dimiliki mereka yang dipimpin untuk mengambil keputusan berdasarkan musyawarah dan mufakat. Kolegial  berarti ada sikap saling mendukung yang menguntungkan dan bermakna bagi semua anggota termasuk  tidak selalu membenarkan apa yang sebenarnya tidak benar.

Demikian juga pihak yang kita beri masukan bisa dengan lapang dada menerima masukan. Sehingga kepemimpinan dalam lembaga pendidikan agama berdasarkan prinsip saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. Hal ini sebagaimana amanat yang jelas di dalam surat al Ashr ayat 3.

Apakah kita mau berubah menjadi lebih baik? Kalau iya, semestinya kita mulai membuka cakrawala berpikir dan mencoba terus merumuskan analisis dan strategi yang berdampak untuk itu semua dan mau mengambil bagian yang signifikan bagi perubahan ini. []

Tags: agamaKekerasan seksualkesadaranLembaga PendidikanPerspektif HeterarkiPerubahanRelasirelasi kuasa
Atun Wardatun

Atun Wardatun

Dosen UIN Mataram, Founder La Rimpu, Ulama KUPI NTB.

Terkait Posts

Narasi Hajar

Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

6 Juni 2025
Berkurban

Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

6 Juni 2025
Kesehatan Akal

Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal

4 Juni 2025
Pesan Mubadalah

Pesan Mubadalah dari Keluarga Ibrahim As

4 Juni 2025
Tubuh yang Terlupakan

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

3 Juni 2025
Akhlak Karimah

Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

2 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Berkurban

    Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Solusi Ramah Lingkungan untuk Pembagian Daging Kurban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tambang Nikel Ancam Kelestarian Alam Raja Ampat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • 3 Solusi Ramah Lingkungan untuk Pembagian Daging Kurban
  • Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha
  • Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang
  • Makna Wuquf di Arafah
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID