Mubadalah.id – Pada dasarnya, siapapun bisa menjadi pelaku kekerasan seksual. Data menunjukkan, lokus terjadinya kekerasan seksual bisa di mana saja. Dari tempat terbuka sampai yang tertutup. Dari tempat kumuh juga tempat terhormat.
Pelaku dan korban kekerasan bisa siapapun dan terjadi di manapun
Jenisnya juga beragam dari yang ringan sekedar lontaran kata secara verbal, meraba, mencium, sampai berhubungan secara paksa dengan beragam modus pula. Juga korban yang tersasar bisa berasal dari berbagai kalangan dan profesi serta jenis kelamin.
Di banyak berita, kasus kekerasan seksual bahkan bisa terjadi di lembaga Pendidikan Agama dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi yang seharusnya memiliki standard moral yang maksimal.
Pelaku dan Korban dari Lembaga keagamaan
Ekspektasi masyarakat terhadap lembaga pendidikan terutama pendidikan agama dan para pihak yang terlibat di dalamnya tentu saja sangat tinggi. Idealnya, mereka yang menjadi pimpinan, pengajar, pengurus adalah orang-orang yang mampu mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki.
Bahwa di dalam berhubungan dengan sesama, tidak boleh terjadi kekerasan dalam bentuk apapun. Kekerasan seksual bisa kita minimalisir dengan penghayatan terhadap dalil yang selalu mereka hafalkan dan lafalkan terkait menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan (kemaluan).
Namun pertanyaannya ,mengapa banyak tokoh pendidik berlatarbelakang pemahaman agama yang mumpuni tersebut justru melakukan tindakan kekerasan seksual? Apakah, ilmu mereka tidak berpengaruh langsung terhadap akhlak, etika, dan moral? Lebih miris lagi, korban-korban juga adalah mereka yang sedang mengenyam pendidikan tinggi bahkan pada level pasca-sarjana.
Nah, pertanyaan yang sering muncul, segampang itukah mereka terbuai? Pertanyaan lain yang bernada seksis misalnya, mungkinkah para perempuan itu juga menikmati, kenapa setelah sekian lama baru terbongkar?
Bagaimana kemudian kita bisa menjelaskan fenomena ‘kebejatan’ yang justru dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi teladan sekaligus pelindung orang-orang yang berada di dalam jangkauannya. Bagaimana pula menjelaskan agensi perempuan sebagai korban dalam kasus-kasus ini?
Banyak analisis yang saya ajukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Analisis itu berawal dari identifikasi mereka terkait masalah yang ada. Jika dipetakan maka paling tidak ada tiga kelompok yang memiliki cara pandang yang berbeda.
Tiga Sebab Mengapa Kekerasan Seksual Terjadi
Pertama adalah kelompok yang melihat bahwa tindakan bejat ini berakar pada moral personal. Sebagian melihat bahwa pelaku itu adalah semata oknum yang imannya sedang tergoda sehingga khilaf atau memang standard moralnya sangat rendah. Tidak mengetahui apa yang dia lakukan itu adalah tindakan kejahatan.
Kesalahan personal ini oleh karenanya tidak ada hubungannya dengan konsep relasi yang dia anut atau atmosfer budaya yang cenderung permissive dan menormalisasi tindakan mereka. Apalagi dengan institusi tempat mereka bernaung yang nampaknya memiliki nama baik.
Kedua, adalah kelompok yang melihat bahwa tindakan kekerasan sosial adalah semata sebagai akibat dari relasi kuasa di mana sentralisasi otoritas di beberapa lembaga sangat kuat terpegang oleh figure tertentu. Sehingga orang-orang yang berada dibawahnya dalam hal ini tidak memiliki posisi tawar yang memadai untuk menolak,bersuara, bahkan mengungkap apa yang sudah terjadi kepada mereka.
Kekuatan yang tidak imbang inilah yang memberikan kesempatan kepada pihak yang dianggap lebih kuat untuk melakukan tindakan di satu sisi, dan membuat yang lebih lemah menyerahkan diri menjadi korban tanpa agensi (kapasitas bertindak) yang memadai untuk menolak.
Ketiga, ada masalah secara institusional. Bahwa lembaga-lembaga tertentu tersebut memang belum memiliki sistem pencegahan dan penanganan yang memadai bagi kasus-kasus kekerasan seksual. Secara kelembagaan, ada atmosfer yang melakukan normalisasi bahkan tidak menemukenali bentuk-bentuk kekerasan seksual.
Banyak institusi tidak memiliki sense of crisis terhadap isu terkait pelanggaran moral dalam bentuk kekerasan seksual ini. Setelah terjadipun, penanganan tidak dilakukan dengan seksama karena kepentingan ‘melindungi nama baik’ jauh lebih merekautamakan daripada ‘memberikan efek jera’ terhadap para pelaku.
Dalam hal ini keperpihakan terhadap korban terkalahkan dengan keinginan untuk melindungi pelaku yang kita akui atau tidak memang memberikan efek negative terhadap nama baik institusi di mana mereka berada.
Perspektif Heterarki sebagai Analisis Alternatif
Lalu bagaimana kita menggunakan perspektif heterarki sebagai alat analisis di dalam melihat kasus-kasus kekerasan seksual, dan menjawab beberapa pertanyaan di atas?
Heterarki adalah sebuah konsep yang melihat relasi sosial itu berdasarkan pada hirarki yang beragam. Hirarki (pertingkatan sosial) tidak bisa kita hapus, hanya bisa kita pertukarkan atau kita letakkan pada subyek lain jika dimensi ruang dan waktu menjadi pertimbangan. Seorang pendidik di dalam ruang kelas dan mungkin memiliki otoritas yang lebih daripada murid-muridnya.
Tetapi di rumahnya, murid tersebut memiliki otoritas lain yang mengarahkan hidupnya misalnya orang tuanya. Di lain waktu, seorang murid tersebut memiliki otoritas yang lebih terhadap teman sebayanya dibandingkan dengan guru dan orang tuanya. Belum lagi ketika kita letakkan pada waktu yang berbeda.
Setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Oleh karenanya, perspektif heterarki (pertingkatan sosial yang beragam) melihat sebuah fenomena dan relasi dengan kacamata relativitas. Tidak ada kemutlakan, tidak ada sentralisasi, tidak ada pelaku tunggal. Mari kita meminjam perspektif heterarki untuk menilai ketiga analisis sebagaimana tersebut di atas.
Semua Orang Punya Identitas Beragam
Pertama, perspektif heterarki melihat bahwa tindakan kekerasan seksual terjadi karena jalin kelindan semua faktor, tidak tunggal. Ada individu yang memang memiliki hawa-nafsu dan hati nurani, tetapi hawa-nafsunya menjadi menang karena didukung oleh relasi kuasa dan ketidakberdayaan korban.
Lalu lembaga juga bisa jadi mendukung pelanggaran itu. Misalnya tidak adanya sistem deteksi dini dan pencegahan terhadap semua jenis kekerasan seksual yang terjadi. Semua aspek tersebut memiliki kontirbusi masing-masing untuk menjadikan sebuah pelanggaran asusila terjadi. Jadi tidak hanya masalah personal, relasional, atau institutional secara terpisah.
Kedua, perspektif heterarki melihat bawa relasi kuasa menuju relasi setara perlu terfasilitasi dengan relasi kesadaran. Sadar bahwa semua orang punya potensi untuk berada pada kelas yang lebih tinggi pada struktur sosial yang kompleks.
Bahwa semua orang punya identitas yang beragam (multiple identities) yang sama-sama perlu mendapatkan pengakuan. Dan ketika mereka berganti identitas, maka mereka juga bisa menempati kelas yang berbeda pada struktur sosial.
Misalnya seorang perempuan ketika dia menjadi anak, maka otoritas dia akan berbeda jika dia menjadi ibu, istri, pekerja, direktur, guru, tetangga, anggota arisan dan lain-lain.
Menilik Relasi Kesadaran
Relasi kesadaran yang saya maksud bahwa masing-masing individu harus memiliki kesadaran bahwa mereka tidak selalu punya otoritas dan berkuasa penuh pada orang lain juga dalam waktu bersamaan. Kelompok masyarakat yang mungkin menganggap dirinya rentan dan tidak memiliki posisi tawar, hal itu sebenarnya tidak nyata. Bahwa dia memiliki otoritas penuh dan agnensi paling tidak terhadap tubuhnya sendiri.
Dengan kesadaran ini maka seseorang yang merasa lemah berani untuk bersikap assertif, berani jujur dengan pilihannya, mau menyuarakan kegelisahan dan kebutuhannya. Demikian juga, mereka yang merasa kuat, tidak arogan dan tidak semena-mena. Dalam konteks ini perspektif heterarki yang menggarisbawahi bahwa semua orang memiliki power, (no one powerless) harus menjadi dasar di dalam relasi sosial.
Ketiga, perspektif heterarki melihat bahwa seberapapun kuatnya sebuah lembaga, maka proses evaluasi harus kita lakukan terus menerus. Tidak boleh merasa final dan selesai dalam proses perbaikan. Masyarakat berubah, kebutuhan mereka berubah, aturan hukum berubah, maka lembaga pendidkanpun harus terus menyesuaikan diri dengan perubahan ini.
Ambil Bagian dalam Perubahan
Lembaga sebagus apapun seyogyanya bersedia menundukkan diri untuk belajar dan terkontrol oleh stakeholder yang lain. Misalnya orang tua murid, para pengawas pendidikan, aktivis, organisasi sosial kemasyarakatan bahkan individu lainnya untuk memberikan feedback demi kemajuan dan fleksibilitas kelembagaan. Salah satu wujud heterarki juga adalah membangun sistem kepemimpinan demokratis-kolegial.
Demokratis dalam arti ada kedaulatan yang dimiliki mereka yang dipimpin untuk mengambil keputusan berdasarkan musyawarah dan mufakat. Kolegial berarti ada sikap saling mendukung yang menguntungkan dan bermakna bagi semua anggota termasuk tidak selalu membenarkan apa yang sebenarnya tidak benar.
Demikian juga pihak yang kita beri masukan bisa dengan lapang dada menerima masukan. Sehingga kepemimpinan dalam lembaga pendidikan agama berdasarkan prinsip saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. Hal ini sebagaimana amanat yang jelas di dalam surat al Ashr ayat 3.
Apakah kita mau berubah menjadi lebih baik? Kalau iya, semestinya kita mulai membuka cakrawala berpikir dan mencoba terus merumuskan analisis dan strategi yang berdampak untuk itu semua dan mau mengambil bagian yang signifikan bagi perubahan ini. []