Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan madzhab Syafi’i tentang ijbar dan wali mujbir, maka ada beberapa persyaratan yang harus dipahami, antara lain :
Pertama, tidak ada permusuhan (kebencian/penolakan) perempuan itu terhadap laki-laki calon suaminya. Kedua, tidak ada permusuhan (kebencian/penolakan) perempuan itu terhadap ayahnya.
Ketiga, calon suami haruslah orang yang kufu’ (setara/ sebanding). Keempat, mas kawin (mahar) harus tidak kurang dari mahar mitsil, yakni mas kawin perempuan lain yang setara.
Kelima, calon suami diduga tidak akan melakuka:i perbuatan atau tindakan yang akan menyakiti hati perempuan itu.
Boleh jadi dalam tradisi masyarakat yang berkembang pada masa Imam Syafi’i, beberapa persyaratan di atas menjadi ukuran minimal bagi indikasi kerelaan perempuan untuk menikah dengan seorang laki-laki, calon suaminya itu.
Jadi sekali lagi perlu kita katakan bahwa ijbar bukanlah suatu tindakan pemaksaan kehendak sang wali dalam menentukan calon suami.
Dengan demikian, maka kalimat “tanpa izinnya”, hendaknya kita artikan sebagai tanpa harus ada pernyataan secara eksplisit darinya (perempuan).
Pemaknaan Ijbar sebagai pemaksaan kehendak dari ayah untuk menentukan pilihannya, jelas menafikan unsur kerelaan yang menjadi asas /dasar dalam setiap akad (transaksi). Termasuk akad nikah anak.
Pemaksaan kehendak dalam menentukan pilihan dapat kita katakan sebagai ikrah. Dalam pandangan para ahli fiqh Islam, pemaksaan secara ikrah mengakibatkan ketidakabasahan suatu pernikahan.
Dr. Wahbah al Zuhaili, mengutip pendapat para ulama madzhab fiqh, mengatakan:
“Adalah tidak sah perkawinan dua orang calon mempelai tanpa kerelaan mereka berdua. Jika salah satunya dipaksa secara ikrah dengan suatu ancaman misalnya membunuh atau memukul atau memenjarakan, maka akad perkawinan tersebut menjadi fasad (rusak).”
Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Saw: “Tuhan membebaskan dosa umatku, karena keliru, lupa dan mendapat paksaan.” (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi).