Mubadalah.id – Menilik data perkawinan anak di Indonesia dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) perkawinan anak di Indonesia cukup tinggi mencapai 1,2 juta kasus. Hal ini menunjukan perkawinan anak masih menjadi fenomena yang hidup di kalangan masyarakat Indonesia. Baik yang dimintakan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama atau yang berlangsung secara diam-diam (sirri).
Ada beberapa faktor pendorong yang melatar belakangi tingginya angka perkawinan anak di Indonesia. Di antaranya norma sosial dan budaya. Di mana anak perempuan orangtua dan lingkungan sekitar arahkan agar segera menikah ketika sudah mengalami menstruasi atau mimpi basah bagi laki-laki. Karena terdapat stereotip negatif di masyarakat terhadap laki-laki atau perempuan yang belum menikah di usia 17 tahun.
Kemiskinan juga menjadi faktor pendorong perkawinan anak. Menurut data UNICEF anak perempuan dari rumah tangga dengan tingkat pengeluaran terendah dan anak perempuan di daerah pedesaan hampir 3 kali lebih besar kemungkinan untuk menikah sebelum usia 18 tahun. (UNICEF : 2020).
Doktrin Keagaman Menjadi Dasar Pembenar
Selain faktor-faktor di atas doktrin/norma keagamaan menjadi salah satu pendorong yang melatarbelakangi maraknya pernikahan anak. Terkait hal tersebut kiranya masih relevan apa yang Gus Dur sampaikan pada Seminar Internasional tentang Islam dan Hak Perempuan di Indonesia yang diadakan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) pada 25-26 November 1997.
Tulisan tersebut terdokumentasikan dalam buku “Menakar Harga Diri Perempuan” yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan pada tahun 1999. Menurut Gusdur dalam kasus perkawinan anak, doktrin keagaman menjadi dasar pembenaran.
Hal itu karena dalam doktrin keagaman (baca : fikih) tidak mengenal batas usia perkawinan, bagi mereka yang sudah cukup umur. Dengan bahasa lain mereka yang sudah baligh agama memperbolehkan untuk melangsungkan pernikahan.
Maka dari itu bagi masyarakat yang cenderung berpikiran legalistik. Hal yang demikian menjadi pembenar terhadap perkawinan anak dan mengakibatkan pengorbanan salah satu kelompok rentan khususnya terhadap perempuan.
Penerapan agama yang condong legal-formalistik tersebut akan menimbulkan dampak kondisi yang bisa merangsang sikap hidup permisif. Gus Dur menyarankan, dalam konteks perkawinan anak bukan fikihnya yang harus kita ubah, namun pengertian dan penerapannya yang harus kita pertimbangkan.
Selain itu, Gus Dur mengajak kita untuk melihat fikih dengan cara pandangan yang utuh. Yakni tidak parsial dan memandang fikih sebagai hukum yang bermaksud mengatur, bukan lantas kita atur untuk kepentingan tertentu.
Perkawinan Anak Juga Tanggung Jawab Pimpinan Agama
Fikih itu adalah hukum dan hukum itu bergantung pada bagaimana melaksanankannya. Hukum merupakan perangkat yang akan menjamin tercapainya suatu sasaran. Dalam pengertian agama sasaran itu adalah kemaslahatan rakyat (maslahah al-ra’iyyah). Maka dari itu tanggung jawab terhadap perkawinan anak menurut Gus Dur bukan lagi tanggung jawab individu masyarakat, namun menjadi tanggung jawab kelompok.
Berarti juga tanggung jawab pemimpin, termasuk dalam hal ini para pimpinanan keagamaan (baca : ulama). Karena ulama atau pimpinan keagamaan mempunyai peran strategis sebagai rujukan umat dan masyarakat dalam ikhtiar pendewasaan usia perkawinan. Yakni guna mewujudkan keluarga yang berkualitas serta mencegah kemudaratan akibat perkawinan anak;
Dua Dimensi Pernikahan yang Tidak Akan Terwujud
Selain itu, Gusdur juga mengingatkan bahwa tujuan pernikahan dalam agama bukan hanya sekadar akad nikah, melainkan memiliki dimensi-dimensi yang jauh ke belakang. Ada dua dimensi menurut Gusdur yang tidak boleh hilang dari pernikahan.
Pertama adalah dimensi cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah). Dimensi kedua yang tidak boleh hilang adalah dimensi fisis atau berhubungan dengan badan atau jasmani termasuk menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan reproduksi.
Dua dimensi tesebut sulit terwujud karena anak yang menikah cenderung belum mampu mengelola emosi serta mengambil keputusan dengan baik. Akibatnya, berpotensi melahirkan pertengkaran, percekcokan, dan bentrokan antara suami dan istri yang berujung pada gagalnya pernikahan.
Selain itu, perkawinan anak rentan terhadap risiko kesehatan dan kualitas anak yang terlahirkan. dr. Fransisca Handy, Sp.A. dalam (Ringkasan Hasil Penelitian Perkawinan Anak di Indonesia), menjelaskan bahwa perkawinan anak sangat beresiko tinggi bagi si ibu.
Alasannya adalah karena si ibu sedang dalam masa pertumbuhan yang masih memerlukan gizi sementara janin dalam kandungan juga memerlukan gizi sehingga ada persaingan. Di mana perebutan nutrisi dan gizi antara si ibu dengan janinnya tersebut akan berdampak terhadap kesehatan jasmani dan kesehatan reproduksi ibu, serta anak yang dikandungnya. []