Mubadalah.id – Bulan Rajab sudah berlalu, namun semangat memperingati makna-makna dalam setiap detail kisah perjalanan Isra’ Mi’raj tentunya akan senantiasa membersamai semua umat Muslim di setiap harinya. Terlebih sebelum peristiwa ini terjadi, Kanjeng Nabi Muhammad Saw. kehilangan sosok perempuan yang sangat ia kasihi, yupz, perempuan yang menjadi belahan jiwanya meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Alih-alih mempertemukan Kanjeng Nabi dengan ruhani sang istri yang sudah berbeda alam, Gusti Allah Swt. justru mengajaknya healing dengan melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj yang syarat akan kisah bermakna. Termasuk salah satu kisah yang masyhur di dalamnya, yakni kisah tentang Siti Masyithah yang gigih mempertahankan akidahnya.
Hampir setiap anak telah diceritakan kisah ini oleh orang tua maupun guru di sekolahnya. Kisah ini begitu melekat dan menjadi bagian dari peristiwa Isra’ Mi’raj yang paling membekas bagi mereka, selain kisah-kisah horor tentang penampakkan penduduk neraka yang melakukan kezaliman semasa hidup terhadap sesama. Di antara banyak literatur yang menceritakan kisah Isra’ Mi’raj, kami akan menuqil kisah dari karya Syekh Imam Najmuddin Al-Ghoithy (wafat 984 H) yang berjudul Qishshah al-Mi’raj.
Dalam kitab tersebut diriwayatkan, saat menaiki Buraq dan ditemani oleh Jibril, Kanjeng Nabi Muhammad Saw. mencium bau wangi yang begitu semerbak, saat mempertanyakan hal tersebut, Jibril as. menjawab bahwasanya bau wangi tersebut berasal dari makam Siti Masyithah beserta suami dan juga anak-anaknya. Konon, Siti Masyithah adalah peladen putri Fir’aun yang bertugas menyisir rambutnya. Pada suatu ketika, sisir yang digunakan untuk menyisir rambut sang putri terjatuh, dan Siti Masyithah mengatakan, Bismillah.
Hal ini sontak membuat sang putri kaget, karena sang peladen ini menyebutkan nama yang dipuja selain nama Ayahnya. Hal ini dibenarkan oleh Siti Masyithah yang telah beriman kepada ajaran Taurat. Tentu sang putri tidak tinggal diam dan menyampaikan hal ini kepada sang Ayah.
Kemudian sang Ayah menanggapinya dengan meminta orang yang ia percaya untuk membujuk Siti Masyithah beserta suaminya untuk tidak mempercayai ajaran Taurat. Walaupun ada momen dimana Siti Masyithah sedikit ragu karena ancaman-ancaman yang diberikan Fir’aun, akan tetapi sang anak yang masih menyusui meyakinkannya dengan ucapan yang sangat fasih.
Ucapan ini begitu meneguhkan keyakinannya, sehingga ia tetap pada prinsip akidah yang ia pegang, dan rela bersama anak juga suaminya untuk mendapatkan hukuman atas sikap yang dilakukannya kepada Fir’aun.
Saat Siti Masyithah dan keluarga dimasukkan ke dalam kuali dengan minyak mendidih, seketika itu juga harum semerbak menebar ke suluruh permukaan. Tentunya kejadian ini akan menjadi tanda tanya besar bagi orang-orang yang tidak mempercayainya, namun bagi orang-orang yang beriman, hal ini adalah hal yang bisa saja dilakukan, karena semuanya adalah atas kehendak-Nya.
Jika kita menginginkannya, kisah ini juga dapat kita maknai dengan makna yang berbeda, yakni makna positif yang dapat kita adaptasi dalam kehidupan keseharian kita semua:
Pertama, perjuangan bukan hanya milik laki-laki, namun juga perempuan. Sebenarnya banyak dari literatur-literatur klasik Islam yang mencatat sosok perempuan-perempuan hebat di masanya. Namun, tidak sedikit juga kisah-kisah tersebut ditenggelamkan dan tidak digaungkan ke permukaan.
Seperti kisah Siti Masyithah, ini adalah kisah besar yang dapat menghibur kesedihan Kanjeng Nabi. Kisah seorang perempuan yang menjadi tokoh utama dalam perlawanan melawan keegoisan, dan kesombongan Fir’aun.
Walaupun sang suami juga memiliki keyakinan yang sama dengan Siti Masyithah, namun Jibril as. menonjolkan sosok Siti Masyithah sebagai lakon utama. Hal ini menunjukkan, dalam pandangan roh-roh suci, baik laki-laki maupun perempuan tidaklah berbeda, lagi-lagi yang membedakannya adalah ketakwaannya (QS. Al-Hujurat: 13)
Kedua, perempuan dapat bekerja pada urusan publik. Sebagaimana Siti Masyithah yang menjadi juru rias sang Putri Fir’aun, hendaknya juga menjadi I’tibar, bahwa perempuan tidak harus melulu mengurusi keperluan rumah sendiri (kasur, dapur, sumur). Perempuan dapat melakukan kerja-kerja produktif yang dapat menunjang kehidupannya, baik dari aspek ekonomi, pendidikan, budaya, maupun sosial.
Tentu, peran perempuan dalam ranah publik dapat memberi ruang agar perempuan dapat berdaya dan memaksimalkan potensi yang Tuhan berikan kepadanya, sekecil apapun itu. Terlebih lagi jika hal tersebut merupakan sebuah kebaikan, kebaikan yang minimal dapat ia rasakan sendiri maslahatnya (QS. Al-Nahl: 97).
Ketiga, perempuan harus berani speak up. Iya, perempuan harus berani bersuara. Kisah Siti Masyithah menunjukkan, bahwa perempuan bukan subjek kedua, melainkan tokoh utama. Tokoh utama yang berani, gigih, tegas, tidak takut akan intimidasi-intimidasi yang berlandaskan relasi kuasa.
Mengapa demikian? karena bagi tokoh utama, apa yang dianggap benar haruslah disuarakan dan diperjuangkan. Perempuan kerap bungkam dan enggan bersuara, karena suara mereka acap dianggap sebagai bentuk pembangkangan yang harus dihentikan. Lagi-lagi Siti Masyithah menunjukkan, bahwa perintah amar makruf dan nahi munkar itu bersifat global, bukan bersifat diperuntukkan hanya untuk laki-laki saja (QS. Ali Imran: 104).
Keempat, tidak ada perjuangan yang sia-sia. Dari akhir kisah Siti Masyithoh yang happy ending harusnya kita juga optimis, bahwa tidak ada perjuangan yang sia-sia, termasuk perjuangan terhadap keadilan gender. Bau wangi semerbak, yang berasal dari makam serta kuali rebusan jasad Siti Masyithoh beserta keluarga, merupakan simbol bahwa kebenaran yang terpatri dalam hati dan diperjuangkan sekecil apapun itu akan membawa hasil yang baik pula.
Hasil tersebut berupa buah yang dapat dipetik oleh orang-orang yang hidup sezaman dengan kita, maupun anak-cucu kita kelak. Oleh karena itu, jangan takut dan ragu untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan. Siapapun itu, baik laki-laki maupun perempuan, karena sudah menjadi hukum alam, apa yang kita tanam, itupula yang akan kita tuai (QS. Al-Zalzalah:7-8).
Sejauh ini jelas, perempuan bukanlah makhluk yang lemah dari segi manapun, pemikiran-pemikiran yang lemah sajalah yang menganggap perempuan itu lemah dan tidak berdaya. Sebagaimana Nyai Desti Murdijana sampaikan, pada pemaparan materi tentang Analisis Sosial Feminis dalam kelas Dawrah Kader Ulama Perempuan 2022 yang dilaksanakan secara daring, ia mengatakan bahwa realitasnya perempuan itu kuat, mereka mampu menanggung beban kandungan dan juga mengurus urusan domestik, bahkan publik, hanya saja masyarakat kurang mengapresiasi terhadap kekuatan-kekuatan perempuan tersebut.
Bahkan secara intelektual dan spiritual, kemampuan perempuan juga tidak boleh diremehkan, kisah di atas adalah buktinya. So, masih adakah yang beranggapan perempuan itu lemah?
Sebagai penutup tulisan ini, ingin sekali kami mengutip ulang pernyataan Kiai Faqih dan Nyai Nur Rofi’ah. Suara perempuan itu bukan untuk melemahkan atau mengalahkan kaum laki-laki, akan tetapi untuk memperjuangkan hak-haknya yang selama ini dikubur untuknya.
Dan juga, perjuangan perempuan itu bukan untuk menyaingi kaum laki-laki, melainkan untuk bekerjasama dan saling membahagiakan antara keduanya, karena baik laki-laki maupun perempuan adalah sama-sama makhluk Tuhan yang memiliki tugas bersama untuk menghamba hanya kepada-Nya, bukan menghamba kepada sesama. []