Mubadalah.id – Saudara-saudara hadirin yang berbahagia. Kondisi kehidupan bersama dalam negara-bangsa belakangan ini sedang mengalami krisis multidimensi yang cukup akut. Berbagai problem sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan agama terus mendera bangsa ini.
Reformasi tahun 1998 yang semula diidealkan sebagai pintu masuk untuk membuka jalan baru bagi masa depan Indonesia yang lebih baik, damai dan sejahtera sampai hari ini belum memperlihatkan tanda-tanda yang menggembirakan sebagaimana yang diharapkan.
Tidak sedikit orang, para intelektual terkemuka dan pemimpin lembaga-lembaga sosial, politik, kebudayaan dan keagamaan menyampaikan kegelisahan atas masa depan bangsa ini.
Sejumlah perubahan fundamental dalam struktur kenegaraan dan tata kelola pemerintahan, dalam rangka demokratisasi yang lebih luas dan substansial, belum mampu melahirkan kondisi kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Reformasi birokrasi yang dicanangkan sejak awal periode reformasi terhenti.
Kasus-kasus paling massif dan memasuki ruang birokrasi dari atas sampai ke bawah adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kenikmatan diri.
Situasi paling fenomenal yang amat mencemaskan adalah kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, terutama kekerasan seksual baik pada domain ruang domestik maupun publik. Komnas Perempuan dalam pernyataannya menyebutkan :
“Kekerasan Seksual yang dialami perempuan sudah dalam kondisi darurat untuk segera ditangani secara tepat dan adil, komprehensif dan holistik. Keadaan darurat ini tercermin dari kejadian kekerasan seksual di semua ranah: personal, publik dan Negara, yang menimpa korban dari rentang usia balita-lansia, berbagai tingkat pendidikan dan profesi. Korban juga meliputi perempuan penyandang disabilitas, migrant, dan PRT. Tempat kejadian ada di segala ruang: di rumah, di angkutan umum, di sekolah, universitas, di tempat kerja maupun di tahanan”. (Komnas Perempuan, Catahu, 2013).
Kasus Kekerasan Seksual
Dan sungguh sangat memprihatinkan bahwa belakangan ramai dibicarakan publik kekerasan seksual itu bahkan terjadi di lembaga-lembaga pendidikan umum dan keagamaan, termasuk pesantren.
Sejumlah problem kebangsaan di atas adalah sebagian saja dari tumpukan realitas yang memprihatinkan bangsa muslim terbesar di dunia itu.
Berbagai pihak melalui perspektifnya masing-masing kemudian mengkaji dan menganalisis keadaan yang karut-marut ini untuk mencari akar masalahnya. Pengamatan, pengkajian dan analisis pada umumnya menyimpulkan bahwa akar dari berbagai problem sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik kebangsaan tersebut adalah krisis moral atau rapuhnya karakter bangsa.
Karakter atau jiwa bangsa Indonesia, yang sering disebut sebagai bangsa yang religius, ramah, toleran, suka gotong royong, dan sejenisnya, kini terkikis dan tereduksi secara besar-besaran, makin redup dan seakan-akan hampir hilang lenyap.
Fenomena ini memperlihatkan kepada kita bahwa bangsa ini tengah ditelikung oleh rendahnya moralitas kemanusiaan atau dalam terminologi Islam disebut “Al-Akhlaq al-Karimah”. Budi Pekerti yang luhur dan mulia.
Al-Akhlaq al-Karimah adalah sebuah terma yang di dalamnya mengandung nilai-nilai keluhuran budi pekerti dan kebeningan hati nurani, seperti ketulusan, kebersahajaan, kejujuran, pengabdian, ketekunan, kedisplinan (al-Istiqamah), kesalingan memberi dan membagi kebahagiaan.
Dalam tingkat yang lebih tinggi, al-Akhlâq al-Karîmah akan menekankan pada kesatuan eksistensi, persaudaraan umat manusia sebagai makhluk Allah atas dasar cinta dan kasih sayang.
Gagasan ini sepenuhnya ide-ide kemanusiaan universal. Gagasan al-akhlâq al-karîmah seperti ini bersumber dari prinsip fundamental Islam, yaitu Tauhid Allah. Artinya “tidak ada tuhan kecuali Tuhan Yang Satu”. Kalimat ini tidaklah merupakan pernyataan verbal belaka, melainkan membawa tanggungjawab sosial, kemanusiaan dan kebudayaan yang lebih jauh dan lebih mendalam.
Membangun Pendidikan Berbasis Dialektika dan Keadilan
Hadirin yang terhormat.
Sejarah dunia menginformasikan kepada kita basis peradaban negara-negara maju dan sejahtera adalah sistem pendidikan dengan metode dialektika intelektual rasional dan beretika, atau dalam bahasa yang populer: “dialektika socratik”.
Metode ini bersifat dialog interaktif dengan orang lain untuk berpikir kritis, santun, mengajak, membimbing dan tidak memaksakan kehendak guna menemukan kebenaran esensial yang disadari dan diperlukan untuk kemaslahatan bersama. Metode ini dalam pengalaman sejarah bangsa-bangsa di dunia telah menghasilkan generasi manusia yang cerdas, kreatif dan inovatif.
Di negeri kita sistem dan metode dialektika ini tidak berkembang. Kecenderungan umum akhir-akhir ini justeru adalah metode ceramah dan indoktrinasi, sebuah metode atau cara yang menyampaikan kebenaran menurut pengetahuan dirinya sendiri, kadang disertai dengan mengutip secara tekstualistik kata-kata Tuhan.
Cara ini bukan hanya menghasilkan generasi yang berpengetahuan dangkal dan tidak kritis bahkan berpotensi menciptakan kekerasan dan konflik sosial.
Metode pendidikan dialektik sokratik pada sisi lain dimaksudkan sebagai cara menghasilkan keadilan sebagai tujuan kehidupan bersama. Inilah sistem pendidikan yang baik dan berkualitas. Dan inilah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw.
Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, dalam karyanya: “Al Rasul al Mu’allim“, mengatakan :
وكان من ابرز اساليبه صلى الله عليه وسلم فى التعليم الحوار و المساءلة لاثارة انتباه السامعين وتشويق نفوسهم الى الجواب وخضهم على اعمال الفكر للجواب. ليكون جواب النبي صلى الله عليه وسلم اذا لم يسنطيعوا الاجابة اقرب الى الفهم واوقع فى النفس. (ص. ٩٢).
“Dan di antara metode beliau ﷺ yang paling menonjol dalam pengajaran adalah dialog dan tanya jawab, untuk membangkitkan perhatian para pendengar, menarik minat mereka terhadap jawaban, dan mendorong mereka menggunakan pikiran untuk menemukan jawaban. Sehingga ketika para sahabat tidak mampu menjawab, jawaban Nabi ﷺ menjadi lebih mudah mereka pahami dan lebih membekas dalam jiwa.” (hlm. 92).
Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan yang baik akan menciptakan SDM yang unggul dan membuat suatu negara menjadi maju. Semakin tinggi kualitas pendidikan suatu negara maka negara tersebut semakin maju. Sebaliknya semakin rendah kualitas sistem pendidikan suatu negara maka negara tersebut akan terbelakang.
Saya kira menarik untuk disampaikan pandangan filsuf terkenal Abu Bakar al-Razi atau yang dikenal di barat sebagai Razes, saat ditanya untuk apa kita diciptakan dan kemana kita diarahkan? Ia menjawab :
اَنَّ اْلاَمْرَ اْلاَفْضَل الَّذِى له خُلِقْنَا واليه اُجْرِى بِنَا لَيْسَ هُو اِصَابَةُ اللَّذَّاتِ الْجَسَدِيَّة. بَلْ اِقْتِنَاءُ العِلْمِ واسْتِعْمَالُ العَدْلِ الَّذىَنِ بِهِمَا يكون خَلَاصُنَا مِنْ عَالَمِنَا هَذَا الى العَالَم الذى لَا مَوْتَ فِيه ولا اَلَمَ.
“Tujuan tertinggi untuk apa Tuhan ciptakan kita dan ke mana arah kita, bukanlah memeroleh kesenangan fisik, melainkan pencapaian ilmu pengetahuan dan mempraktikkan keadilan. Dua tugas ini adalah satu-satunya cara kita melepaskan diri dari keadaan dunia kini (sekarang) menuju suatu dunia yang di dalamnya tidak ada kematian atau penderitaan”. (Abu Bakar al-Razi, “Rasail Falsafiyyah, bab Al-Sirah al- Falsafiyyah, hlm. 3).
Ini merupakan tafsir al Razi atas ayat al-Qur’an :
الر ۚ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيد ِ
“Kitab ini Aku turunkan kepadamu (Muhammad saw), agar kamu mengeluarkan/membebaskan manusia dari situasi dunia gelap, menuju situasi dunia yang bercahaya”. (Q.S. Ibrahim, 1).
Dunia gelap adalah dunia yang diliputi kebodohan yang berpotensi mengantarkan manusia ke dalam perilaku “al-Zhulm” (kezaliman), dan dunia bercahaya adalah dunia yang diliputi oleh ilmu pengetahuan dan akhlak yang akan mengantarkan manusia pada keadilan dan kedamaian.
Dua terma ini: Keadilan dan Kedamaian, adalah misi sekali visi Islan dan agama-agama samawi.
Ibn al-Qayyim, murid Ibn Taymiyah menulis :
اذا ظهرت امارات العدل واسفر وجهه باي طريق كان فثم شرع الله ودينه
Jika telah tampak nyata indikator keadilan dengan cara/jalan apapun, maka itulah syariat dan agama Allah. (Ibnu Qayyim).
Penutup
Badi’ al-Zaman Sa’id Nursi, sufi dan aktivis politik Turki menyampaikan pandangan yang menarik :
ضِيَاءُ الْقَلْبِ هُو العُلُومُ الدِّينِيَّة وَنُورُ الْعَقْلِ هُوَ الْعُلُومُ الْحَدِيثَةِ فَبِامْتِزَاجِهِمَا تَتَجَلَّى الْحَقِيقَةُ . فَتَتَرَبَّى هِمَّةُ الطّالِبِ وَتَعْلُو بِكِلَا الْجَنَاحَيْنِ وَبِافْتِرَاقِهِمَا يَتَوَلَّدُ التَّعَصُّبُ فِي الأولَى والْحِيَلُ وَالشُّبُهَاتُ في الثانيةِ
Cahaya hati adalah ilmu-ilmu keagamaan (spiritual, esoterik) , dan cahaya akal adalah ilmu-ilmu modern.
Dengan perpaduan keduanya, kebenaran akan tampak jelas. Maka semangat pelajar akan tumbuh dan terbang tinggi dengan kedua sayap itu. Namun bila keduanya terpisah, timbullah fanatisme dalam yang pertama, dan tipu daya serta keraguan dalam yang kedua.
Akhirnya saya ingin selalu menyampaikan kata-kata seorang sufi besar, guru besar Maulana Jalaluddin al-Rumi, Syamsi Tabrizi. Ia memberikan saran penting kepada kita semua:
ليس من المتأخر مطلقًا أن تسأل نفسك، هل أنا مستعد لتغيير الحياة التي أحياها؟ هل أنا مستعد لتغيير نفسي من الداخل؟ وحتى ولو كان قد تبقى من حياتك يوم واحد يشبه اليوم الذي سبقه، ففي كل لحظة ومع كل نفس جديد، يجب على المرء أن يتجدد وي تجدد ثانية. ولا توجد إلا وسيلة واحدة حتى يولد المرء في حياة جديدة وهي أن يموت قبل الموت
“Sama sekali, tak ada kata terlambat untuk bertanya pada diri, “Apakah aku siap untuk mengubah hidup yang aku jalani saat ini? Apakah aku siap untuk mengubah hidupku?”. Bahkan meski hidupmu hanya tinggal satu hari. Pada setiap detik dan setiap embusan nafas, seseorang hendaknya memperbarui dan memperbarui lagi. Hanya ada satu cara untuk lahir ke sebuah kehidupan baru: mati sebelum kematian”.
Lepaskan ego keserakahan dan kemelekatan duniawi (kini dan di sini) untuk mencapai kesadaran intelektual dan spiritual yang mendalam.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.












































