Seperti tak ada habisnya membicarakan poligami di abad ke-20 ini. Kemarin saya menemukan di Twitter, Ligwina Hananto sedang membagikan gambar dari sebuah akun yang sedang ramai dibicarakan di grup Ibu-ibu.
Dalam gambar tersebut dikatakan, “Kau larang suami POLIGAMI, datanglah PELAKOR… Kau lawan pelakor, suamimu malah ‘jajan’ sama JABLAY… Kau larang suamimu ‘jajan’ sama cewek, eh akhirnya dia ‘jajan’ sama COWOK. Karena cowok itu makin dilarang makin tertantang. So…lebih baik mana Ibu-ibu?”.
Menurut saya hal ini tentu saja menunjukkan kesalahan pemahaman yang sebenarnya untuk memprovokasi Ibu-ibu agar mendukung poligami, sekaligus melecehkan laki-laki. Berikut adalah sebagian dari komentar netizen :
“Gue ngerasa ‘meme’ ini melecehkan Islam dan laki-laki…”,
“Kesan dari meme itu kok laki-laki jadi budak napsu, kayak lemah banget…”,
“Lebih baik nggak usah menikahi laki-laki yang tidak bisa menghargai perasaan dan keputusan istrinya…”,
“Kalau aku pribadi sih, setuju aja suamiku mau poligami… Aku jamin gaka kan cemburu, malah bangga karena saling membantu wanita lain. Iya, wanita tua atau janda tua usia 80 tahunan yang hanya boleh dinikahi suamiku…”.
“poligami kenapa jadi komoditi baru yak…”, dan seterusnya.
“Dalam konteks poligami, pembunuhan karakter terjadi ketika praktik poligami itu telah membinasakan kemanusiaan korban. Mereka benar-benar dibuat kehilangan daya, kehilangan harga diri, kehilangan logika dan mengalami dehumanisasi”, kata Ibu Lies Marcoes dalam buku Sunnah Monogami karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir.
Poligami menjadikan istri pertama, kedua dan seterusnya menjadi terobsesi untuk memperebutkan perhatian dan waktu suami. Beliau mencontohkan kasus yaitu seorang istri yang mendapati suaminya mengawini temannya sendiri ketika masa kuliah.
Perempuan tersebut dikenal sebagai aktivis yang tegar, punya harga diri yang tinggi, pintar dan berani, namun setelah mengalami poligami, perempuan tersebut mengubah penampilan dan sikapnya yang jauh dari jati diri yang sebelumnya.
Ibu Lies Marcoes juga menambahkan bahwa sikap lain yang dilakukan perempuan korban poligami adalah marah-marah, mengamuk, merajuk, kabur dan lain-lain. Dengan risiko menerima tindakan kekerasan fisik, kekerasan non fisik seperti ditinggalkan tanpa ada kejelasan hukum atau diceraikan tanpa dipenuhi hak-haknya.
Ibu Am sebagai korban poligami mengatakan, “Dia bilang poligami ini sebagai kesempatan buat saya mencapai surga. Surga yang mana?. Kalau itu sunnah kan seharusnya keduanya merasakan kebahagiaan . Dia yang enak saya yang sakit begini.”
Berdasarkan pengalaman Ibu Am, poligami tidak membawa pada kebaikan, justru membawa pada kemudharatan karena jauh dari keadilan. Sebagian orang secara serampangan menyimpulkan bahwa mereka yang tidak menerima poligami berarti menolak syari’at Allah dan tidak patuh pada tuntunan al-Qur’an.
Padahal hanya satu potongan ayat dalam al-Qur’an yang membahas tentang poligami yaitu surah an-Nisa ayat 3. “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja., atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. an-Nisa : 3)
Menurut Dr. Faqih, fokus ayat tersebut adalah anjuran pada dua hal yaitu berbuat adil kepada anak yatim dan ketika berpoligami juga harus berdasarkan moralitas keadilan. Jika khawatir tidak mampu adil, seharusnya mencukupkan diri dengan satu istri agar terhindar dari kezaliman dan kenistaan. Sebagian orang menjadi potongan ayat tersebut sebagai perintah untuk poligami, sedangkan ayat tersebut turun dengan sebab khusus.
Urwah bin Zubair pernah bertanya kepada Aisyah RA mengenai kaitan pemeliharaan anak yatim dan kebolehan poligami. Aisyah RA berkata, “Wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang dalam penjagaan walinya, dan telah bercampur harta anak itu dengan harta walinya. Si wali tertarik pada harta dan kecantikan anak itu, lalu dia bermaksud menikahinya dengan tidak membayar mahar secara adil, sebagaimana pembayaran mahar dengan perempuan lain. Oleh karena niat yang tidak jujur ini, maka dia dilarang menikah dengan anak yatim itu kecuali ia membayar secara adil dan layak seperti kepada perempuan lain. Daripada melangsungkan niat yang tidak jujur itu, dia dianjurkan lebih baik menikah dengan wanita lain”. (Ibn Hajar al-Asqallani, fath al-Bari, ed. Tsana Allah az-Zahidiy, Dar al-Fikr, Beirut Libanon, tt, juz V, hal. 430, Kitab Syirkah, bab VII, no. hadits:2494).
Dan jangan lupa pada surah an-Nisa ayat 129, “Kamu tidak akan bisa bertindak adil di antara perempuan-perempuan (yang akan kamu nikahi), meskipun kamu sangat menginginkannya.”
Dalam narasi yang disampaikan pemuka agama yang melakukan dan mendukung poligami, mereka hanya menyampaikan keutamaan-keutamaan poligami dan tidak banyak menjelaskan kemudharatannya jika dilakukan tanpa keadilan.
Dalam riwayat Abu Dawud, “Barangsiapa yang memiliki dua istri, kemudian ia cenderung kepada salah satu dari keduanya, maka ia datang di hari kiamat kelak dan separo tubuhnya terlepas”. (Ibn al-Atsir, juz XII, hal 168, no. hadits: 9049).
Melihat ke belakang pada sejarahnya, poligami bukan merupakan budaya Islam. Poligami adalah budaya di semua wilayah di bumi sebelum Islam datang. Masyarakat Arab pada masa itu memperbolehkan laki-laki menikah dengan berapapun wanita secara tak terbatas. Islam datang justru untuk melindungi perempuan saat itu dengan membatasi laki-laki menikah sampai empat istri.
Poligami pada pra Islam dilakukan tanpa pertimbangan apa pun terhadap perempuan, apalagi perlindungan dan perhatian pada perempuan. Masyarakat Arab pada masa itu adalah masyarakat kabilah yang menggantungkan pada jumlah anak dan keluarga sehingga anak-anak dianggap sebagai penopang hidup dan perhiasan. Hal ini dilakukan berdasarkan pengaruh sosial dan budaya pada masa itu.
Jika poligami adalah sunnah karena dipraktikkan Raasulullah, harusnya mereka memahami bahwa masa monogami Rasulullah jauh lebih lama yaitu selama 28 tahun sedangkan poligami selama 8 tahun. Rasulullah memilih setia pada Khadijah ra sampai usia 53 tahun dan baru melakukan poligami pada usia 55 tahun.
Rasulullah monogami justru pada saat kondisi kesehatan, sosial dan politik yang sangat memungkinkan melakukan poligami, tapi Rasulullah tidak melakukan itu. Wanita-wanita yang dinikahi Rasulullah adalah janda-janda tua yang suaminya meninggal karena perang dan memiliki banyak anak. Rasulullah juga memperlakukan istri-istrinya dengan adil dan merata dalam nafkah dan mengunjungi semua istrinya setiap hari hingga berakhir menginap di rumah salah satu istrinya.
Namun pada praktiknya saat ini, poligami dilakukan tidak dengan mencontoh sunnah yang lain yaitu keadilan. Suami akan lebih memilih istri-istri yang lebih muda dan lebih cantik dan cenderung untuk lebih lama tinggal dengan istri yang paling disukainya. Jika ingin meneladani Rasulullah, harusnya para suami melakukan monogami selama 28 tahun baru boleh menikahi janda-janda atau yatim piatu. Bukan begitu?
Poligami dikatakan ibadah karena disebutkan dalam al-Qur’an, asumsi bahwa poligami akan membantu dan menafkahi mereka, dan dianggap jalan keluar agar tidak melakukan zina bagi laki-laki yang memiliki libido yang tinggi.
Imam asy-Syafi’i memandang bahwa perkawinan adalah urusan syahwat manusia sehingga tidak layak dikaitkan dengan perintah dan anjuran agama. Perkawinan tidak termasuk yang diwajibkan atau disunnahkan, ia hanya masuk dalam kategori yang diperkenankan (mubah) untuk dilakukan sebagaimana melakukan jual beli dan jalan kaki.
Menikah tidak dianggap ibadah, karena ia juga sah dan dilakukan juga oleh orang-orang non-muslim. Jika dianggap ibadah, seharusnya hanya sah dilakukan oleh orang muslim saja seperti salat dan puasa.Menurut Dr. Faqih, perkawinan poligami seringkali hanya menjadikan perempuan sebagai objek kebutuhan dan keinginan laki-laki. Sebagai objek perkawinan, perempuan, jika disukai laki-laki maka akan dipilih namun jika tidak, mereka akan dicampakkan.
Jika perempuan menjadi subjek, maka mereka bisa mendefinisikan keadilan, keinginan, persetujuan dan kerelaan dalam perkawinan. Sehingga saya heran pada semakin banyaknya kelas dan seminar untuk melakukan poligami. Yang menggelikan, setiap pembicara disebut sebagai “praktisi poligami dengan sekian istri”.
Benar juga jika dikatakan praktisi yang sejajar dengan gelar dan profesi, karena setiap kelas atau seminarnya harus membayar jutaan rupiah. Disebutkan oleh Imam az-Zamakhsyari –w. 538H, dalam buku Sunnah Monogami, “Ayat al-Qur’an memerintahkan untuk menikahi seorang perempuan saja, dan meninggalkan kebiasaan berpoligami secepatnya. Karena pokok persoalan ayat adalah keadilan. Di mana kamu menemukan keadilan, di situlah kamu harus mengikuti dan memilihnya”.
Jadi, yang sunnah itu sebenarnya monogami, bukan poligami. Tak perlu mengagungkan poligami seolah itu adalah perintah al-Qur’an.