Mubadalah.id – Dunia akademik fikih menyambut terbitnya karya terbaru Dr. KH. Faqihuddin Abdul Kodir yang berjudul “Fikih Zakat Progresif” pada Juli 2025. Buku ini merupakan jelmaan tesisnya dua puluh lima tahun berselang. Saya membaca buku ini pagi tadi dan menemukan pandangan mendalam yang mengajak kita meninjau ulang kewajiban zakat sebagai pilar solidaritas.
Telaah Awal: Fikih Zakat Progresif K.H. Faqihuddin Abdul Kodir
Zakat bukan sekadar milik teks yang tertulis dalam kitab-kitab. Ia milik kehidupan itu sendiri: milik umat manusia, milik perempuan yang terpinggirkan, milik orang miskin yang terabaikan, milik korban kekerasan yang terbungkam, milik para difabel yang dilupakan, dan milik siapa pun yang selama ini tidak dihitung dalam sistem yang mengatasnamakan keadilan.
-Dr. KH. Faqihuddin Abdul Kodir
Kiai Faqih membangun struktur buku ini menyerupai sebuah rumah tinggal. Beliau membagi isinya menjadi pintu pembuka dan ruang tengah, disusul lima kamar utama (kamar pertama hingga kelima). Pembaca harus melalui kamar-kamar ini secara berurutan. Setelah seluruh kamar terlewati, beliau menghadirkan pintu penutup yang memberi ruang renung. Struktur unik ini memandu pembaca secara bertahap menuju kesimpulan fikih progresif yang mendalam.
Kritik Fikih Klasik dan Urgensi Prioritas
Zakat berperan penting dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan bagi individu penyandang disabilitas. Di berbagai lapisan masyarakat, kelompok ini kerap mengalami hambatan lebih besar dalam memperoleh akses terhadap pendidikan, lapangan kerja, maupun layanan kesehatan. Melalui penyaluran zakat kepada mereka, kesenjangan tersebut dapat diminimalkan sekaligus membuka peluang yang lebih luas untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
Fikih zakat klasik selama ini memandang penyandang disabilitas (difabel) secara simplistis, dan menggolongkan mereka hanya sebagai bagian dari asnaf fakir atau miskin biasa. Akibatnya, pandangan ini gagal menangkap urgensi keadilan. Maka dari itu, Kiai Faqihuddin membahas kegagalan ini secara mendalam dalam Kamar Keempat, yang mengulas reinterpretasi alokasi zakat dan asnaf.
Bukankah prinsip keadilan dalam Islam tidak mengenal diskriminasi atas dasar kondisi tubuh? Sebaliknya, al-Qur’an berulang kali menegaskan keberpihakan kepada mereka yang lemah. Sebagai contoh, QS. al-Nisa’ ayat 75 mengajak kita untuk membela “orang-orang yang tertindas di muka bumi,” menegaskan bahwa keberpihakan kepada kelompok rentan adalah bagian dari misi teologis umat Islam.
Kiai Faqih menegaskan bahwa kelompok difabel harus mendapat Prioritas Disabilitas dalam Zakat. Menariknya, prioritas ini muncul, bukan karena alasan keterbatasan fisik yang mereka miliki. Justru, beliau menjelaskan bahwa mereka kerap kali berada di posisi yang terabaikan secara struktural dan sistemik oleh masyarakat. Oleh karena itu, zakat, sebagai dana publik, memiliki kewajiban etis untuk mengangkat kelompok terpinggirkan.
Zakat untuk Keadilan Struktural: Prioritas Alokasi Dana Difabel
مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ
“Apa saja (harta yang diperoleh tanpa peperangan) yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. (Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa pun yang Rasul berikan kepadamu, terimalah! Apa pun yang Rasul larang bagimu, tinggalkanlah! Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. { Q.S. al-Hasyr [59]:7}”
Ayat di atas menunjukan bahwa Islam menekankan distribusi kekayaan yang adil agar kekayaan tidak hanya berputar di kalangan tertentu. Dalam hal ini, zakat hadir untuk memastikan bahwa harta tidak hanya terkonsentrasi di tangan segelintir orang, tetapi juga tersebar bagi mereka yang membutuhkan.
Seperti halnya kelompok fakir dan miskin, penyandang disabilitas juga menghadapi keterbatasan akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, serta ruang sosial yang layak. Dalam banyak kasus, mereka mengalami kemiskinan berlapis, bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga secara relasional dan simbolik. Padahal, kehadiran mereka dalam masyarakat bukanlah aib, ia adalah bagian dari keberagaman ciptaan Tuhan.
Zakat sebagai Instrumen Keadilan Sosial
Penyandang disabilitas harus menerima dukungan zakat, bukan hanya karena tergolong asnaf miskin, tetapi karena mereka membutuhkan intervensi struktural yang mendasar. Jika dimaknai melalui kerangka Maqashid Syariah, Prioritas Disabilitas dalam Zakat berfungsi melindungi jiwa, martabat, dan partisipasi sosial mereka.
Oleh karena itu, Amil zakat wajib merancang dana zakat sebagai instrumen transformatif, menghindari praktik karitatif sesaat yang gagal memutus rantai kemiskinan.
Prioritas disabilitas dalam zakat harus diinvestasikan pada program yang membawa perubahan jangka panjang, seperti bantuan alat bantu, pelatihan kerja, penguatan modal usaha, hingga pengadaan fasilitas umum yang inklusif. Pendekatan ini menegakkan prinsip penentuan prioritas (konsep al-ahwaj tsumma al-ahwaj), dan memastikan laku distribusi berfokus pada kelompok yang paling rentan.
Dengan demikian, Kiai Faqihuddin menegaskan bahwa penyandang disabilitas adalah mitra (mubadalah) dalam membangun masyarakat yang adil, bukan sekadar penerima pasif. Zakat, dalam konteks ini, menjadi bentuk solidaritas spiritual dan tanggung jawab kolektif untuk menciptakan dunia yang dapat diakses oleh semua. []








































