Mubadalah.id – Di penghujung bulan September, jagat maya dihebohkan dengan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi di salah satu rumah tangga publik figur. Lahirnya kasus tersebut tak luput dari pro kontra penggemar berat dari publik figur tersebut. Terlebih saat korban mencabut laporannya, membuat pihak yang pro terhadap korban kecewa.
Mengenai KDRT, sebetulnya negara sudah menyediakan undang-undang (UU) sebagai payung hukum bagi korban-korban KDRT, yaitu UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)
Melalui undang-undang ini, negara menitik beratkan supaya dalam relasi rumah tangga saling menjaga satu sama lain, tidak melakukan kekerasan (mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga). Apabila terjadi KDRT dalam salah satu keluarga. Maka undang-undang ini sebagai payung hukum untuk melindungi korban dan pemberlakuan sanksi pidana bagi pelaku KDRT.
Dalam realitas masyarakat, KDRT yang masyarakat pahami hanyalah kekerasan berupa fisik saja. Padahal lebih jauh dari itu, dalam pasal 5 UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan Kekerasan dalam rumah tangga dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga.
Mencabut Laporan KDRT dalam Hukum
Menyikapi tindakan korban KDRT yang mencabut laporannya dengan alasan anaknya, secara hukum itu sah-sah saja. Karena memang semua jenis delik dalam KDRT adalah delik aduan.
Delik aduan adalah tindak pidana yang bisa diproses oleh aparat penegak hukum apabila ada laporan dari pihak yang merasa dirugikan atas tindak pidana tersebut. Artinya tanpa adanya laporan dari korban atau persetujuan dari korban, aparat penegak hukum tidak dapat memproses perkara tersebut, sekalipun banyak saksi yang menyaksikan kejadian tersebut.
Dalam delik aduan, korban dapat mencabut laporan apabila telah terjadi suatu perdamaian di antara korban dan pelaku. Sebagaimana dalam Pasal 75 KUHP menyebutkan bahwa orang yang mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduannya dalam waktu tiga bulan setelah mengajukan pengaduannya.
Lain halnya dengan delik biasa, delik biasa adalah tindak pidana yang dapat langsung memprosesnya oleh penyidik tanpa adanya persetujuan dari korban atau pihak yang merasa terugikan. Dengan kata lain, tanpa adanya pengaduan atau sekalipun korban telah mencabut laporannya, penyidik tetap memiliki kewajiban untuk melanjutkan proses perkara tersebut.
Dalam kasus KDRT kemarin yang perlu menggaris bawahinya adalah jenis kekerasan yang pelaku lakukan merupakan bentuk kekerasan berbasis fisik. Biasanya kalau seseorang sudah berani main fisik dalam menyikapi masalah, maka besar kemungkinan ia akan mengulangi tindakan kekerasannya.
Alih-alih setelah mencabut laporannya, membuat pelaku menjadi berhenti bertindak KDRT, yang ada justru semakin parah untuk melakukan tindak KDRT. Maka dari itu, sanksi bagi pelaku KDRT, terutama KDRT berupa fisik, jangan hanya sebatas shock terapy saja (melaporkannya ke polisi, lalu mencabut kembali laporannya). Melainkan hukuman yang benar-benar bisa membuat pelaku jera.
Sanksi Bagi Pelaku
Dalam pemberlakuan sanksi yang bisa membuat pelaku KDRT fisik jera. Apakah delik KDRT fisik harus masuk sebagai delik biasa supaya ketika korban berubah pikiran dan mencabut laporannya ?.
Apabila KDRT berupa fisik, maka ini masuk sebagai delik biasa. Tentunya akan banyak orang yang ikut campur terkait urusan rumah tangga orang lain. Karena urusan rumah tangga merupakan hal yang bersifat privat. Oleh karena itu, siapapun, bahkan orang tuanya sekalipun tidak berhak ikut campur dengan permasalahan rumah tangga orang lain tanpa persetujuannya.
Dalam pemberlakuan sanksi bagi pelaku KDRT, maka membutuhkan keberanian korban dalam melaporkan apa yang korban alami terhadap pihak yang berwajib. Karena terkadang korban-korban KDRT lebih memilih menutup rapat-rapat, bahkan menganggapnya aib yang akan mencoreng reputasi rumah tangganya.
Dengan sikap korban yang berani melaporkan, setidaknya akan membuat para pelaku menjadi jera. Hingga dia tidak akan mengulangi perbuatannya. Selain itu, bisa menjadi contoh, agar para korban lain untuk berani speak up. Dan menyadari bahwa perilaku KDRT bukanlah aib yang akan mencoreng reputasi keluarga. Melainkan pelanggaran yang wajib melaporkan kepada aparat penegak hukum. []