Mubadalah.id – Seperti biasa direct message instagram Mubadalah.Id dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh para followers kami. Kali ini pertanyaan datang dari akun U**** K******a tentang izin suami terkait berpuasa dan menghafal Al-Qur’an. Dalam pertanyaannya ia menyampaikan:
Apakah benar saat seorang istri ingin ibadah sunnah seperti puasa Senin-Kamis salah satunya itu harus seizin suaminya, ya? Berarti menghafal al-Qur’an, shalat tahajud, puasa Daud, sedekah, puasa sunnah dan lainya itu harus banget izin ke suami, Kak?
Tentu pertanyaan dan pernyataan ini juga sering saya dengar di beberapa forum kajian dan pengajian keagamaan. Sebenarnya konteks meminta izin kepada orang terdekat kita saat hendak melakukan aktivitas dan pekerjaan itu baik. Namun pertanyaannya adalah apakah izin itu mutlak harus dilakukan atau tidak? Apakah hanya istri yang harus izin kepada suami, bagaimana dengan suami apakah juga harus izin istri? Dan bagaimana jika tidak diizinkan apakah benar-benar tidak boleh dilakukan?
Tentu pertanyaan-pertanyaan inilah yang mungkin dimaksud. Jika merujuk pada teks hadist, mungkin persoalan ini hadir dari salah satu hadist di Kitab Shahih al-Bukhari, Kitab an-Nikah no. 5250, artinya:
Dari Abu Hurairah r.a, berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Tidak diperbolehkan seorang perempuan berpuasa (sunah) ketika suaminya berada di dalam rumah tanpa seizinnya, tidak boleh juga mempersilakan masuk (orang lain) ke dalam rumah suami tanpa seizinnya, tidak diperbolehkan juga menafkahkan (menyedekahkan) tanpa seizinnya, jika tetap melakukannya (tanpa seizinnya), maka (pahala) separuhnya kembali kepada suaminya.”
Jika sekilas memahami hadist tersebut, izin yang dimaksud adalah agar keduanya saling ridha dan tidak ada percekcokan karena berbeda pandangan. Namun ulama fikih pun juga berbeda pendapat dalam hal memahami puasa sunah seorang istri tanpa seizin suaminya.
Ulama Syafi’iyyah berpendapat jika puasa sunnah yang dimaksud adalah puasa sunnah yang terjadi sekali dalam setahun seperti puasa Syawal dan Arafah tentu tidak diperlukan izin suami. Namun berbeda dengan puasa sunnah yang terjadi berulang-ulang seperti Senin dan Kamis, maka izin suami ini berlaku.
Dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, perihal ini Ulama Hanafiyyah menganggapnya makruh (tidak baik). Dan hukum-hukum ini menurut pandangan ulama madzhab berlaku dengan syarat suaminya berada di rumah yang bisa saja memerlukan hubungan seks lalu istri menolak karena alasan sedang berpuasa.
Namun jika memahami lebih lanjut lagi hadist di atas, sesungguhnya substansi dari izin ini adalah membangun komunikasi yang baik antar keduanya. Sebagaimana fungsi dari izin adalah pemberitahuan yang bertujuan agar keduanya tidak salah paham. Maka alangkah baiknya izin juga bersifat kesalingan, bukan hanya istri yang dituntut izin suami, namun suami juga harus memberitahu istri tentang apa yang hendak dilakukan agar terhindar dari prasangka dan kesalahpahaman.
Maka memahami perihal izin ini harus ditujukan agar keduanya saling terbuka, bermusyawarah, dan saling ridha atas apapun yang hendak dilakukan. Bukan dijadikan alat bagi suami untuk mendominasi dan bertindak sewenang-wenang untuk kepentingan dirinya saja tanpa memperhatikan kebutuhan dan pendapat istrinya.
Dalam buku Perempuan Bukan Sumber Fitnah, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir juga menyampaikan sebuah hadist sahih yang mengindikasi bahwa dalam hal-hal wajib dan mengandung manfaat, izin tersebut bukan sesuatu yang mutlak. Hadist tersebut bermakna:
Dari Salim bin Abdillah, dari ayahnya, dari Nabi Muhammad Saw, bersabda: “Jika istri seseorang di antara kamu meminta izin, maka jangan lagi menghalanginya.” (Shahih al-Bukhari, Kitab al-Adzan, no 881).
Banyak ulama yang memberi prasyarat bahwa jika untuk hal-hal yang wajib atau bermanfaat itu tidak perlu izin suami. Dalam konteks pertanyaan di atas berarti suami tidak boleh melarang istrinya puasa Senin-Kamis, menghafal al-Qur’an, shalat tahajud, puasa Daud, sedekah, puasa sunnah, dan lainya.
Hal tersebut karena perkara yang dimaksud adalah hal yang baik dan bermanfaat yang apabila dilarang, larangannya tersebut tidak sah. Jika istri sudah meminta izin kepada pasangannya, maka suaminya sama sekali tidak boleh melarangnya.
Lagi-lagi konteks izin ini harus dipahami sebagai sebuah kebaikan dan keterbukaan bersama pasangan. Karena mengandung kebaikan, maka seharusnya bukan hanya berlaku salah satu saja, tetapi keduanya harus melakukan segala sesuatu atas sepengetahuan pasangannya. Ini merupakan upaya agar meminimalisir prasangka dan perselisihan antar keduanya. []