Mubaadalahnews.com,- Buku Qira’ah Mubadalah perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab agar dibaca warga dunia. Demikian dikatakan Lien Iffah Naf’atu Fina, Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam Majelis Mubadalah #2 di Kafe Basabasi, Yogyakarta, Minggu (20 Januari 2019) malam.
Menurutnya, Qira’ah Mubadalah adalah sumbangan pemikiran otentik dari salah seorang pemikir Islam di Indonesia. Selama ini, karya para pemikir Indonesia jarang dibaca masyarakat dunia karena tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris maupun Arab.
“Buku ini adalah sebuah sumbangan pemikiran otentik pemikir Indonesia yang juga harus dibaca dunia” ucap Lien Iffah.
Menurutnya, buku Qira’ah Mubadalah sangat aplikatif. Meski buku tersebut berdasar Qur’an dan hadist tapi pembahasannya sangat kontemporer dan sangat dekat dengan realitas. Lien melihat, hal itu terjadi karena salah satu dasar penulisan buku itu adalah kegelisahan sosial penulisnya.
Lien Iffah menjadi pembedah buku bersama Mustaghfiroh Rahayu, dosen sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM). Penulis buku, KH Faqihuddin Abdul Kodir hadir juga dalam acara tersebut sebagai narasumber.
Sementara itu, menurut Mustaghfiroh Rahayu, buku Qira’ah Mubadalah bukan hanya penting untuk dibaca akademisi, agamawan, peneliti, tapi juga para aktivis, bahkan masyarakat umum.
Secara bobot keilmuan, Rahayu menyebut Kang Faqih, penulis buku Qira’ah Mubadalah layak disejajarkan dengan Aminah Wadud, Asma Barlas, dan tokoh feminis muslim kenamaan lainnya.
“Buku ini sangat komplet. Landasan filosofis serta aplikasinya begitu banyak dan lengkap,” kata Rahayu.
Penulis buku, Faqihuddin Abdul Kodir sendiri mengatakan, Qira’ah Mubadalah adalah buku dari hasil pergulatan intelektual selama dua puluh tahun. Ada banyak tokoh yang menjadi inspirasi dan gurunya dalam mendalami isu-isu perempuan dalam Islam.
“Ini adalah sebuah refleksi hasil bertemu dengan banyak ulama perempuan, seperti Aminah Wadud, Ibu Sinta Nuriyah, Nur Rofi’ah, dan yang paling mempengaruhi adalah KH.Husein Muhammad,” katanya.
Kang Faqih sendiri melihat pemikirannya berbeda dari para koleganya. Seperti Aminah Wadud, katanya, tidak pernah menggunakan hadits dalam setiap tulisannya. Sementara Kang Faqih menggunakan hadits dalam pemikirannya. Karena semua teks, dalam perspektif Mubadalah, bisa digunakan. Bahkan teks-teks yang sebelumnya dianggap misoginis sekalipun.
“Seperti kata Imam Syafi’i, yang salah itu bukan teksnya melainkan cara berpikir kita. Mubadalah menawarkan cara pandang terhadap teks dan realitas yang lebih adil bagi laki-laki maupun perempuan,” pungkasnya.[]