Mubadalah.id – Fahmina telah mengajarkanku banyak hal, melalui pertemuan tanpa sengaja dengan founder Mubadalah.id Dr Faqihuddin Abdul Kodir di laman Facebook sekitar tahun 2017. Sejak itu, saya intens mengikuti kegiatan yang tergelar oleh Fahmina. Bahkan saya ikut terlibat menjadi peserta Dawrah Kader Ulama Perempuan (DKUP) Fahmina tahun 2018. Selang satu tahun kemudian, saya diminta kembali untuk turun lapang monitoring dan evaluasi program DKUP di empat kota, antara lain Banjarmasin Kalimantan Selatan, Bekasi Jawa Barat, Malang dan Jombang Jawa Timur.
Lalu apa perubahan besar yang saya alami selama bergiat di Fahmina, terutama sebelum dan setelah mengenal mubadalah sebagai sebuah nilai? Saya akan berbagi pengalaman melalui tulisan ini, di mana saya membaginya dalam tiga fase kehidupan. Yakni sebagai seorang perempuan, istri dan ibu dari dua anak, serta perempuan bekerja yang masih suka nongkrong, keluyuran, dan berkumpul bersama sahabat.
Ada suatu waktu saya merasa tak percaya dengan diri sendiri. Malu untuk tampil di ruang publik, apalagi di arena terbuka seperti media sosial. Bisa terlihat, postinganku sebelum dan setelah aktif bergabung bersama Fahmina. Hampir tidak ada postinganku yang menampilkan foto diri sendiri, atau tampil percaya diri dengan senyum selfie. Mengapa? Karena saya terlalu takut dengan ancaman dosa jariyah bagi perempuan yang suka mengumbar “aurat” di muka umum. Tetapi akhirnya saya punya jawaban atas keresahan ini.
Perempuan dan Media Sosial
Mengapa perempuan harus hadir di media sosial? Dan ini jawaban saya atas pertanyaan tersebut. Pertama, representasi perempuan harus hadir di media sosial, selain sebagai aktualisasi dan ruang berekspresi, juga karena menghadirkan wajah perempuan yang bahagia itu penting. Agar, apapun peran kehidupan yang perempuan mainkan, memastikan sistem kehidupan telah memberinya ruang aman serta nyaman bagi perempuan untuk berproses sebagai apa atau siapa.
Kedua, banyak narasi yang melemahkan perempuan, muncul di media sosial dalam bentuk konten, meme, atau tulisan. Meski kadang menimbulkan rasa kesal, tetapi tidak harus kita lawan dengan kontra narasi, atau kita sikapi dengan marah-marah. Namun bagaimana menghadirkan narasi alternatif yang memberi kesan positif dan baik bagi perempuan, tanpa harus memusuhi mereka yang berbeda.
Misal jika ada narasi yang mengatakan bahwa perempuan salihah itu di rumah, dan tidak boleh bekerja karena surga perempuan ada di dalam rumah. Maka, kita hadirkan perempuan bekerja juga merupakan istri salihah, di mana ia bisa membagi waktu, membangun relasi dan komunikasi yang baik dengan pasangan, serta tetap dicintai oleh keluarga. Surga perempuan berada di manapun ia bisa memberi manfaat bagi sekitarnya.
Ketiga, lima pengalaman biologis (menstruasi, hamil, melahirkan, nifas dan menyusui) dan sosiologis perempuan (subordinasi/penomerduaan, streotype/pelabelan, marjinalisasi/peminggiran, beban ganda dan kekerasan berbasis gender) penting untuk kita hadirkan dalam setiap kebijakan apapun di negara ini, dari level desa hingga ke nasional.
Maka, melalui suara perempuanlah, yang kadang kita anggap bising, berisik, tetapi lebih sering pula kita temui sunyi dan diam perempuan para penyintas, adalah potret suatu negeri. Ibu yang bahagia, istri yang sejahtera, anak-anak perempuan yang diperlakukan secara adil dan setara. Yakni dengan cucuran banyak cinta serta kasih sayang, adalah cermin bagaimana peradaban manusia berkembang. Sebab, pembatasan peran perempuan adalah langkah mundur peradaban.
Bangga Menjadi Perempuan
Doktrin bahwa perempuan adalah makhluk lemah, manusia kelas kedua, kurang akal, dan tak pantas menjadi pemimpin, begitu menggema sejak saya mengenal dunia. Semesta sepertinya tak memberi kesempatan bagi perempuan untuk menjadi diri sendiri. Ia berada di bawah bayang-bayang seorang ayah, di mana nasab nama ayah yang selalu mengiringi nama anak perempuan, saat dipanggil dalam acara kenaikan kelas atau wisuda kuliah. Bukan nama ibu yang disebut.
Ketika menikah, nama perempuan menghilang, berganti rupa menjadi Nyonya A dan B, bahkan tersemat nama suami di belakang namanya sendiri. Begitu mempunyai anak, namanya kian samar tak terdengar. Berubah menjadi Bunda si A, Ibu si B, Mamah si C dan Umi si D. Nama asli perempuan yang tersematkan sejak lahir, disebut kembali ketika ia telah tiada, dalam secarik pengumuman kabar duka, “telah meninggal dunia si fulanah.”
Namun setelah bergiat di Fahmina, mengenal mubadalah, membaca, dan merenunginya menjadi buah kesadaran, lalu pelan-pelan mencoba mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, saya menyadari satu hal. Semua butuh proses, dan waktu yang terus berjalan, memberi ruang terang bahwa perempuan adalah entitas utuh yang begitu berharga. Jika bukan diri kita sendiri yang membuatnya bangga, lantas siapa?
Penerimaan yang utuh atas fisik yang teranugerahkan Tuhan, dengan sekian keistimewaan dan peran reproduksi perempuan, menjadi langkah awal, bahwa saya adalah seorang perempuan, dan bangga memiliki tubuh ini.
Menerima akal serta nurani yang telah terberi, dengan terus belajar membaca realitas, melalui pengetahuan yang tersebar di banyak buku, ruang diskusi, dan dialektika yang menggairahkan melalui pertautannya dengan pengalaman khas perempuan. Meng-ada-lah perempuan, maka ia ada dan hadir secara utuh sebagai perempuan, dengan sekian pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang ia miliki.
Keluarga sebagai Pendukung Utama
Support sistem pertama dan utama bagi perempuan setelah diri sendiri adalah keluarga. Jika belum menikah, maka orang tua dan saudara menjadi tumpuan segala harap dan cita. Sementara bila sudah menikah, maka cinta suami dan anak-anak menjadi pelengkap kebahagiaan bagi perempuan.
Meski upaya ini juga membutuhkan proses yang tak mudah. Harus selalu ada komunikasi dan kompromi untuk membangun komitmen perkawinan yang tak tergoyahkan. Kesalingan tak mungkin mewujud tanpa komunikasi yang intens dan terus menerus. Orang lain takkan mungkin tahu apa yang kita inginkan jika tak pernah bicara.
Dalam relasi perkawinanku sendiri, kesepakatan-kesepakatan dengan pasangan itu terbangun bahkan sebelum menikah. Ada proses kurang lebih satu tahun yang kami jalani untuk lebih saling mengenal satu sama lain. Hal-hal yang terbicarakan tak sesederhana apa yang saya dan kamu sukai atau benci. Tetapi lebih bagaimana kami memandang visi misi masa depan.
Secara tegas saya mengajukan syarat ketika sudah menikah agar tetap boleh bekerja, melanjutkan kuliah serta berorganisasi. Dan mubadalah telah membantu mewujudkannya menjadi mungkin dan semakin yakin.
Perempuan tak Kehilangan Jati Diri
Perkawinan tidak hanya meleburkan dua orang antara lelaki dan perempuan, tetapi juga dua keluarga besar dari masing-masing pasangan. Keduanya akan terus saling memengaruhi, bukan untuk saling mendominasi, tetapi saling mengisi dan melengkapi. Karena tradisi masyarakat Indonesia yang tak bisa lepas dari nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan bebarengan.
Di sisi lain, perempuan juga tetap membutuhkan ruang aman dalam hidupnya agar kesehatan mentalnya tetap terjaga, dan ia tetap tak kehilangan jati diri. Sebelum dan setelah menikah, perempuan tetaplah jiwa yang merdeka. Bebas menentukan langkah hidupnya, dan menikmati setiap detik waktu yang berjalan, tanpa kehilangan cinta dari orang-orang di sekitarnya.
Keluarga di mana perempuan lahir dan dibesarkan, sahabat-sahabat dalam satu komunitas, tetap menjadi bagian dari kehidupan perempuan. Mungkin orang akan datang dan pergi, pernah saling mengisi atau kemudian saling memunggungi, namun perempuan tetap tak kehilangan kendali atas apa yang terjadi dalam hidupnya.
Sebagaimana yang pernah saya sampaikan ketika dalam satu kesempatan interview dengan salah satu lembaga mitra Media Mubadalah, apa tanggapanku terhadap keputusan perempuan menjadi ibu rumah tangga atau ibu bekerja.
Bagiku, apapun pilihan hidup perempuan, selama keputusan itu berangkat dari kesadaran kritis perempuan, dan ia bahagia menjalani pilihan hidupnya itu, tanpa intervensi dari pihak manapun, maka kita harus mendukung sepenuhnya tanpa tapi dan kecuali.
Nilai-nilai yang telah saya dapatkan melalui ragam kegiatan di Fahmina, maupun pergulatan wacana dengan narasi mubadalah, semoga tak hanya berhenti di saya. Fahmina melalui Media Mubadalah.id di mana selama ini saya berproses, akan terus menjadi media publikasi dan kanal informasi yang menyebarluaskan gagasan para pendiri Fahmina. Pemikiran dari KH Husein Muhammad, KH Marzuki Wahid dan KH Faqihuddin Abdul Kodir, agar menjangkau lebih banyak orang, dan lebih banyak ruang. Semoga! []









































