Mubadalah.id – Tulisan ini tidak atas nama siapapun. Pure opini pribadi yang gerah dengan konstelasi politik paska pemilu 2024 yang masih saling sindir dan nyinyir. Terutama di media sosial dan Whatshaap Grup keluarga. Yang menang merasa jumawa, yang kalah mengkritik adanya kecurangan sistematis dalam proses Pemilu 2024. Lalu apakah mungkin ada rekonsiliasi paska Pemilu ini?
Saya sendiri masuk dalam barisan Perempuan Ganjar-Mahfudz (GAMA) Jawa Barat, dengan banyak alasan serta pertimbangan. Kami bergerak tak berbayar, istilah lainnya probono. Meski secara jujur saya tak berani declare di ruang terbuka, karena pertimbangan moral menghargai status suami sebagai pegawai negeri sipil yang harus netral.
Sejak pemutaran Film Dirty Vote, tiga hari jelang pemungutan suara, tentu ada perasaan marah dan kecewa dengan pemerintahan hari ini. Terlebih saya dan teman-teman yang selama ini berada dalam lingkaran aktivis gerakan perempuan. Perasaannya seperti patah hati berkali-kali, karena setiap kebijakan yang terkait perempuan mau tidak mau harus berhubungan dengan pemegang kebijakan. Baik itu di Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif.
Logika sederhana begini. Jika aturan main bernegara disalahgunakan, dan hukum dipermainkan, lantas bagaimana kita yang wong cilik, jauh dari panggung kekuasaan. Hanya diam dan menonton, ketika sumber kekayaan alam negeri ini digunakan untuk bancakan berbagi keuntungan segelintir orang. Pakem yang saya gunakan adalah konsep makruf Ibu Nyai Badriyah Fayumi.
Jika dalam proses pencalonan tidak makruf, maka proses selanjutnya bisa kita analisa sendiri. Anehnya, justru teman-teman yang paham konsep makruf malah ikut dalam barisan itu. Tapi ya sudahlah. Inilah realitas dan dinamika politik.
Saya masih ingat sambutan Ibu Nyai Badriyah Fayumi sebagai Ketua Majelis Musyawarah KUPI II pada saat Maklumat Ulama Perempuan di Kampus UIN Jakarta November 2023 silam. Bahwa, “Menjelang Pemilu 2024, kita dihadapkan pada realitas terkoyaknya rasa keadilan masyarakat akibat hukum dan aparatur negara yang dijadikan alat pelanggengan kekuasaan.” Berani, Tegas, dan Bernas.
Menerima Kekalahan
Meski sulit untuk menerima kekalahan, yang berdampak pada perasaan marah dan kecewa, tetapi saya pikir kita harus tetap optimis menatap masa depan. Masih ada proses penghitungan Pemilu Legislatif, DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten yang harus kita kawal bersama. Terutama Caleg dari perempuan dan jaringan KUPI.
Rekonsiliasi paska Pemilu 2024 menjadi kian penting, karena di tahun ini juga akan ada Pilkada Gubernur dan Bupati atau Walikota di daerah. Energi negatif harus kita buang segera, dan menggantinya dengan energi positif. Proses mengawal demokrasi harus tetap berjalan hingga ke daerah masing-masing. Sebagaimana yang saya dan teman-teman lakukan di Indramayu yang tahun ini juga mengikuti Pemilu Kepala Daerah pemilihan Bupati dan Wakil Bupati.
Ya saya pikir menerima kekalahan dengan legawa dan berlapang dada itu penting, untuk menyiapkan diri kembali, mengatur strategi menghadapi Pilkada Gubernur dan Kepala Daerah. Karena demokrasi harus tetap kita jaga hingga ke daerah masing-masing. Bagaimana agar isu perempuan, dan keberpihakan terhadap kelompok rentan, serta kepedulian pada isu lingkungan tetap menjadi program prioritas pemerintah.
Seruan Rekonsiliasi Paska Pemilu
Rekonsiliasi paska Pemilu harapannya dapat memotong siklus atau serangkaian pemicu konflik antar entitas masyarakat pasca-pemilu. Karenanya, di masa-masa mendatang konflik serupa pasca pemilu tidak terjadi lagi. Di antara pasangan calon sebaiknya agar bisa bekerja sama, melupakan persaingan begitu pemilu usai tergelar, dan bersama-sama berekonsiliasi.
Rekonsiliasi paska pemilu ini dapat kita lakukan melalui pendidikan politik, pendidikan kewarganegaraan, resolusi konflik, dan juga kontrol sosial.
Kita tentu menyadari bahwa hanya dengan kerjasama semua elemen bangsa dalam mewujudkan pemilu damai baik sebelum, saat, maupun setelahnya, proses demokrasi ini dikatakan sukses. Secara hasilnya akan menjaring pemimpin yang terbaik.
Hal tersebut bisa terwujud manakala adanya niat, komitmen, dan usaha keras dari segenap elemen masyarakat untuk menciptakan rekonsiliasi, menjaga situasi pemilu tetap aman dan damai. Dan pada akhirnya cita-cita menuju Indonesia Emas 2045 yang kita harapkan dapat terwujud.
Beberapa elemen telah menyerukan rekonsiliasi paska pemilu. Di antaranya adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dharmapala, PB PMII, HIPMI, PP Muhammadiyah, dan PB Nahdlatul Ulama. Tentu seruan ini harapannya juga bisa diikuti oleh semua pihak, untuk bersama-sama menjaga Pemilu damai, dan mengawal proses demokrasi hingga nanti pengumuman resmi dari KPU RI. []