Mubadalah.id – Hal pertama yang perlu disampaikan adalah bahwa Islam hadir tidak dalam ruang yang hampa, tetapi dalam konteks sosial budaya ekonomi Arabia abad 6 M yang sudah terbentuk yang dikenal sebagai patriarkhi, sebuah sistem sosial yang male oriented.
Kehadiran Islam diarahkan untuk melakukan misi perubahan terhadap realitas sosial tersebut menuju sebuah terwujudnya sistem sosial budaya ekonomi dan politik yang setara, bebas dan berkeadilan.
Ketiganya merupakan prinsip-prinsip universal yang harus selalu menyertai setiap keputusan. Sistem ini sejatinya merupakan perwujudan dari prinsip utama teologi Islam : Tauhid.
Kedua, hak milik ekonomi perempuan dalam Islam, terutama waris, merupakan sub sistem dari sistem keluarga. Islam melalui Nabi mengambil sistem keluarga yang mengarah pada sistem bilateral. Ia tidak murni patrinial, tetapi juga tidak sepenuhnya bilateral.
Dilihat dari sisi formal ia bersifat patrinial, tetapi di dalamnya menyimpan substansi pilateral. Tidaklah mengherankan jika akibat kondisi seperti ini para juris Islam berbeda pendapat. Mayoritas juris Islam menganggap sistem keluarga Islam bersifat patrinial, sementara sebagian juris, seperti Prof. Hazairin, menganggapnya bilateral.
Pandangan seperti itu dapat kita lihat dari sejumlah pernyataan al-Qur’an. Ayat yang paling dasar untuk hal ini adalah Surat an-Nisa, ayat 34. Ayat ini merefleksikan sebuah situasi sosio-kultural era Nabi di Madinah yang oleh banyak sarjana kita sebut sebagai era reformatif progresif tentang sruktur keluarga dalam masyarakat di sana. Bahkan ayat ini menggambarkan adanya nuansa kehendak untuk memasukkan gagasan kesetaraan dan keadilan.
Pandangan formalistik atas ayat ini, sebagaimana umat Islam mainstream ikuti, menyatakan kemutlakan laki-laki sebagai pemegang otoritas tunggal atas perempuan. Pandangan ini segera terbantahkan, karena ayat ini yang jelas sekali meniadakan kemutlakan tersebut.
Tidak Mutlak
Aspek “keunggulan” yang menjadi rasio legis atas otoritas kekuasaan dan kepemilikan tidaklah mutlak ada pada semua laki-laki. Al-Qur’an menyebut “sebagian laki-laki atas sebagian yang lain”. Ini menunjukkan pengakuan al-Qur’an atas keunggulan sebagian perempuan atas sebagian laki-laki, dan oleh karena itu, perempuan berhak atas tampuk kekuasaan atas keluarganya.
Selanjutnya, ayat ini juga menginformasikan sebuah realitas sosial Arabia masa itu bahwa laki-laki/suami mempunyai tanggungjawab atas kesejahteraan ekonomi isteri dan atau keluarganya.
Ayat ini, di samping menunjukkan bahwa tanggungjawab tersebut hanyalah bersifat fungsional belaka dan tidak bersifat normative. Juga mengandung isyarat bahwa tanggungjawab suami atas kesejahteraan keluarga tersebut hanyalah sebagian saja, meskipun sebagian besar.
Sebab secara faktual perempuan istri juga mempunyai peran dan andil dalam hal tersebut. Baik melalui antara lain peran reproduktif, penjagaan, pemeliharaan, pelayanan, pendidikan dan lain-lain. Peran-peran domestik ini tidaklah lebih kecil nilainya jika kita bandingkan dengan peran publiknya suami.
Bahkan fakta sosial saat itu, bahkan pada setiap masa, juga menunjukkan tidak sedikit perempuan yang bekerja dan menanggung beban ekonomi keluarganya. Adalah amat tidak masuk akal jika hasil beragam kerja perempuan tersebut tidak boleh diperhitungkan, baik ketika mereka masih hidup maupun sesudah mati. []