Mubadalah.id – Di dunia kampus,mencari ilmu tidak melulu didalam kelas. Bahkan saya pernah mendengar satir keras dari salah satu senior yang mengatakan untuk apa sekolah tinggi-tinggi jika di kampus hanya kupu-kupu; kuliah pulang – kuliah pulang. Ada banyak kegiatan yang bisa kita ikuti untuk mendapatkan ilmu dan pengalaman yang luas timbang sekedar kuliah pulang saja. Termasuk membangun relasi kesalingan. Begitu doktrin yang pernah saya dengar.
Doktrin itu beberapa kali saya diskusikan dengan teman. Ketika itu, kami merupakan mahasiswi baru yang sedang beradaptasi dengan dunia kampus. Lamat-lamat teman diskusi saya meresapi doktrin tersebut tidak salah. Namun saat itu pula ia berhadapan pada keputusan untuk tidak menunaikan doktrin tersebut karena memilih doktrin lain.
Keputusannya memilih tinggal di asrama berbasis agama mengantarkannya bertemu dengan pengasuh yang menawarkan komitmen untuk fokus kegiatan di asrama dengan memalingkan semua kegiatan di luar asrama selama satu tahun. Manejemen prioritas, pengasuhnya menyebut.
Bagi pengasuh teman saya, seorang mahasiswa mengenal kampus memerlukan waktu untuk beradaptasi di satu tahun awal agar matang dalam pemikiran dan keputusan. Ini harapannya agar di tahun selanjutnya, mahasiswa bisa menentukan langkah-langkah yang perlu dan tidak perlu bagi dirinya sendiri.
Dengan doktrin ini, teman saya berkomitmen untuk tidak mengikuti kegiatan di luar kampus dalam tahun pertama. Namun karena terlalu nyaman,ia akhirnya tidak mengikuti kegiatan luar kampus di tahun-tahun berikutnya hingga selesai kuliah.
Antara Khidmah dan Aktif Berorganisasi
Jika ditanya apakah menyesal? Teman saya mengatakan selalu gagal menjawab. Namun saat ia hendak menjawab menyesal, selalu ada alasan untuk tidak menjawab itu. Baginya, tidak berorganisasi merupakan komitmennya untuk berkhidmah melaksanakan tugas lain yang menurutnya lebih prioritas. Buah dari khidmah itulah yang ia percaya akan mengantarkan pada kemudahan-kemudahan di kehidupan selanjutnya meski tanpa berorganisasi.
Namun tidak dapat kita pungkiri, seringkali ia mendapati teman-teman aktivisnya tampil dua kali lipat lebih percaya diri setelah mereka terjun di dunia kerja. Belum lagi jaringan yang mereka miliki, luas dan dapat mereka andalkan. Ini beberapa alasan yang memaksanya untuk “mengaku” menyesal.
Adakah yang merasakan penyesalan yang sama karena selama di bangku kuliah tidak mengikuti organisasi di luar kampus?. Mari merapat, kita ramu apa yang sudah menjadi bubur menjadi bubur yang tetap lezat untuk disantap.
Ada beberapa alasan seseorang tidak mengikuti organisasi luar kampus. Ada yang seperti teman saya yang awalnya karena terbentur peraturan, ada juga yang memang alasan “isu-isu” yang menyelimuti para organisatoris, atau bahkan alasan personal lainnya.
Kita hargai alasan-alasan itu. Menjadi organisatoris atau tidak adalah pilihan. Masing-masing memiliki sisi baik dan sebaliknya.
Saling Menghargai Pilihan
Bagi para organisatoris, hargai mereka yang bukan organisatoris dengan tidak mendiskreditkan mereka dalam forum. Saya pernah menemui sesekali, saat para organisatoris bertemu dengan sesama organisatoris dalam suatu kesempatan, mereka akan asyik dengan circle-nya sendiri bahkan tidak jarang ada beberapa dari mereka yang mendiskreditkan eksistensi mereka yang bukan organisatoris yang kebetulan juga ada dalam satu forum tersebut.
Bagi yang bukan organisatoris, sudahi insecure-mu. Ketidakikutsertaanmu dalam organisasi luar kampus bukan merupakan dosa besar yang perlu kita mintakan taubat dengan taubatan nasuha. Andaikan itu perlu, semua masih bisa kita lakukan dengan menebusnya saat menapaki tangga kehidupan pasca kuliah, meskipun itu akan sulit. Banyak tantangan yang akan kita dapat jika memulai terjun dalam organisasi di luar masa-masa menjadi mahasiswa. Namun tentu saja, sulit bukan berarti tidak mungkin.
Bagi yang memilih masih dengan komitmen untuk tidak berorganisasi, hargai mereka para organisatoris. Isu-isu yang menggelayuti para organisatoris tidak bisa kita cerna mentah-mentah. Jika-pun ada isu negatif, tidak bisa untuk kita pukul rata. Tidak perlu nyinyir menyikapi hal tersebut.
Menghadap-hadapkan organisatoris dengan bukan organisatoris dalam kerangka baik buruk tentu bukan sikap yang arif. Perlu adanya relasi kesalingan untuk mengharmonikan dua kubu yang tidak seharusnya berhadapan.
Dalam konteks yang lebih besar (tidak terbatas pada kampus), organisatoris selanjutnya menjadi agen yang bersama-sama kelompoknya mendialogkan pikiran dan bergerak dalam bidang masing-masing. Sedangkan mereka yang bukan organisatoris tidak lantas kita “cap” tidak memberi kontribusi terhadap sebuah peradaban.
Ketidakikutsertaan seseorang dalam sebuah aktivitas (organisasi) tertentu, harus kita pahami bahwa mereka sedang menjadi organisatoris bagi lingkup internalnya sendiri. Sebagaimana teman yang saya ajak diskusi di sini. Ia tentu tidak lantas diam. Ia tetap berorganisasi meski dalam lingkup kecil, asramanya.
Dalam konteks masyarakat, jika ada dari kita yang enggan berorganisasi, jangan lantas memunculkan anggapan-anggapan yang menyudutkan. Banyak faktor yang tidak banyak kita ketahui, bisa jadi mereka justru sedang menjalankan organisasi yang sesungguhnya yaitu keluarga, membangun peradaban dari sudut kehidupan internal yang justru paling mendasar. []