Mubadalah.id – Penghukuman kepada murid perempuan di Indonesia yang dianggap melanggar aturan dalam penggunaan jilbab terus berlangsung dalam satu dekade ini. Peristiwa terbaru adalah pencukuran/penggundulan rambut bagian depan dan bagian bawah yang tak tertutup jilbab kepada 19 siswi SMP Negeri 1 Sidodadi, Lamongan, Jawa Timur.
Sebelumnya, tahun 2021, seorang siswi non-Muslim di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat protes dan viral karena pemaksaan jilbab. Pihak sekolah akhirnya mengakui bahwa itu kesalahan, karena jilbab tidak wajib. Namun, ia dan keluarganya mendapat bullying dari Masyarakat. Mereka menganggap tindakan sekolah itu sudah benar.
Tulisan ini membedah kasus penggundulan itu dengan teori “relasi kuasa” dari filsuf Prancis Michel Foucault. Relasi kuasa jelas beroperasi dalam kasus penggundulan itu: kuasa guru penertib disiplin dengan murid yang didisiplinkan, antara kelembagaan kedinasan pendidikan dengan pihak sekolah, atau antara pihak sekolah dengan orang tua murid yang jadi korban.
Relasi Kuasa
Melampaui gagasan relasi kuasa Foucault, peristiwa penggundulan itu merupakan contoh paling sempurna dari beroperasinya relasi kuasa yang nyaris tanpa kontrol. Yakni akibat masuknya kuasa yang bersumber dari pandang primordial agama.
Sang guru sebagai pemilik kuasa bukan hanya merasa sedang dikontrol oleh atasannya (kepala sekolah, komite sekolah, Kemendikbud) untuk menertibkan disiplin. Tetapi meyakini bahwa mereka didaulat Tuhan untuk menertibkan cara menutup aurat bagi murid perempuan.
Kenyataannya sikap mereka juga terdorong oleh aturan yang ambigu. Aturan tentang penggunaan jilbab merujuk kepada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 59/2014 mengenai kuriulum Nasonal 2013 yang tak pernah kita anulir meskipun sekarang menggunakan “Kurikulum Merdeka”.
Dalam peraturan Kurikulum 2013, menyebutkan soal tata tertib berpakaian point 1.4 “ Berpakaian sesuai dengan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari”. Karenanya para pembela penertiban jilbab mendukung tindakan sang guru yang mereka anggap sedang menertibkan akhlak muridnya sesuai perintah agama (Islam).
Aturan Penggunaan Jilbab
Setidaknya ada dua pertanyaan dari peristiwa ini yang harus kita jawab agar peristiwa serupa tak terulang. Pertama apakah jilbab wajib di sekolah? Termasuk di sekolah negeri yang, seperti SMK 2 Padang. Di mana siswanya tak melulu Muslim dan mengakui jilbab adalah kewajiban agama?
Atau, apakah jilbab kita anggap sebagai atribut/seragam sekolah? Jika jilbab menjadi atribut sekolah maka harus tersedia landasan filosofis rasional atas kebijakan itu. Yakni suatu penjelasan yang berlaku umum tentang kewajiban penggunaan jilbab sebagai seragam resmi sekolah. Konsekuensi dari itu, penggunaan jilbab harus diwajibkan kepada seluruh pelajar putri yang tak terhubung dengan keyakinannya.
Sebaliknya jika penggunan jibab terkait dengan keyakinan agama, maka pemakaian jilbab tak dapat kita jadikan dasar tata tertib dan disiplin sekolah. Itu juga berarti terlarang untuk menggunakan power yang tersedia untuk mengkondisikan pemaksaan penggunaan jilbab.
Persoalan kedua, seberapa jauh seseorang atau suatu lembaga merasa punya otoritas untuk mengontrol tubuh dan seksualitas perempuan dengan menggunakan ukuran-ukuran primordial dan subyektifitasnya? Landasan apa yang mereka gunakan dalam penertiban itu dan siapa yang harus bertanggung jawab? Di batas mana penertiban itu menjadi tanggung jawab sekolah? dan mana yang menjadi porsi tanggung jawab keluarga dan masyarakat?
Pertanyaan filosofis itu bersumber pada pertanyaan klasik soal pemisahan urusan keyakinan yang subyektif dengan urusan publik yang universal dan rasional pada relasi-relasi di ruang publik seperti di sekolah.
Pengetahuan sebagai Sumber Kuasa
Aspek lain dalam teori relasi kuasa Foucault adalah soal pengetahuan sebagai sumber kuasa. Dalam relasi kuasa guru-murid itu bertumpuk secara berlapis kuasa yang sang guru miliki. Terutama untuk jenis kuasa yang tak diatur secara terbuka dan obyektif.
Misalnya, siapa yang dapat mengontrol kuasa guru atas penilaian baik- buruk muridnya, kuasa atas penentuan nilai kepintaran dan kepatuhan muridnya, serta, kuasa atas pemahaman keyakinan.
Melampaui pandangan Foucault, dalam kasus pemaksaan penggunaan jilbab, dengan jelas tergambar bahwa keyakinan/ agama menjadi sumber kuasa sang guru. Dalam situasi serupa itu guru pelaku pengguntingan rambut dan pendukungnya tak merasa bersalah karena mereka merasa sedang menjadi polisi Tuhan.
Bagi Indonesia yang pendiduknya beragam suku, ras, etinis, agama, budaya dan keyakinan, kerudung atau penutup kepala bukanlah suatu yang asing dan hanya kita maknai sebagai identitas agama. Ini terlhat dari beragamnya penyebutan pada kerudung itu sendiri dalam budaya yang berbeda-beda.
Seperti kudung, kerudung, kukudung, tiung, tengkuluak, awik yang sama sekali tak bersumebr dari kata Arab hijab atau jilbab. Itu menunjukkan bahwa kerudung atau penutup kepala pada perempuan Indonesia merupakan budaya setempat yang tercipta karena alam dan lingkungannya.
Identitas Politik Keagamaan
Dalam cuaca yang sepanjang tahun terkena sinar mata hari, penutup kepala selama ini telah perempuan Indonesia gunakan, apapun latar belakang pekerjaannya. Petani, nelayan, pedagang, pegawai atau ibu rumah tangga atau pekerja kantoran. Kerudung hadir dalam kehidupan sehari-hari perempuan Indonesia dalam fungsi yang beragam, terlepas apapun latar belakang budaya, adat dan agamanya.
Pengambil alihan makna kerudung hanya semata-mata sebagai identitas agama dan sebagai kontrol atas tubuh dan sekualitas perempuan merupakan sebuah kemunduran bagi budaya Indonesia.
Revolusi Iran yang menggunakan kerudung sebagai identitas perlawanan kepada kediktatoran Shah Iran, atau simbol kesalehan yang diintroduksi kalangan Salafi atau Wahabi atau identias politik yang diperkenakan kalangan Ihwanul Muslimin di Mesir dan menjadi jaringan Tarbiyah di Indonesia. Mereka telah menyempitkan sekaligus merampas makna dan fungsi kerudung itu bagi perempuan Indonesia.
Dalam ajaran Islam sendiri penggunaan kerudung bagi perempuan tidak diwajibkan. Hal itu terlihat dari sumber rujukannya yang tidak kuat serta munculnya banyak pendapat.
Pada kenyataannya kerudung telah terpakai sebagai identitas politik keagamaan daripada sebagai ajaran agama. Karenanya mengembalikan kerudung sesuai fungsi kulturalnya akan membebaskan negara dari urusan pendisiplinan sekolah, sekaligus ikut menghapuskan kerudung sebagai alat kontrol atas tubuh dan seksualitas perempuan. []
*)Tulisan ini dalam versi lain telah dimuat di The Jakarta Post pada 6 September 2023.