Mubadalah.id – Tentu ingat cerita-cerita naas kaum perempuan pada masa Jahiliyah, yaitu kelahiran bayi perempuan yang tidak diinginkan. Jika lahir, bayi perempuan akan dikubur hidup-hidup. Hal itu terus berulang bahkan dilakukan juga oleh orang-orang yang kelak menjadi sahabat Nabi Saw. ketika Nabi Saw.
Sangat lama tradisi jahiliyah itu mengakar, sampai akhirnya Rasulullah Saw. diutus membawa Risalah kenabian dan kemanusiaan. Salah satunya adalah penghapusan adat mengubur anak perempuan hidup-hidup. Ketika risalah kenabian tersebut dilancarkan, pastinya ada protes dan riak-riak keributan karena dianggap aneh dan keluar dari kebiasaan.
Bagaimana tidak, dalam tradisi jahiliyah perempuan diposisikan sebagai manusia yang hina, bahkan kelahirannya saja tidak diharapkan. Ketika dewasa mereka dipoligami dengan jumlah yang tidak terbatas, kemudian dijadikan jamina piutang, bahkan menjadi harta wariskan laiknya benda mati.
Lain halnya dengan kelahiran bayi laki-laki, ada sebuah pride tersendiri bagi masyarakat di masa itu. Jika bayi laki-laki lahir, maka tidak merah padam bapak si bayi tersebut, tetapi tersenyum seolah merasa terbebas dari aib. Sekali lagi, untuk membuat sebuah perubahan yang baik, tentunya tidak bisa bim salabim berhasil dengan segera. Riak-riak protes dan kritik di sana-sini pasti terjadi.
Risalah Kenabian
Konon katanya salah satu sahabat Nabi Saw., Umar ibn Khattab pernah mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Ia menggali liang kubur untuk anak perempuannya dan kemudian menguburnya. Entah, ada perasaan tak tega atau malah bangga setelah mengubur anak perempuannya tersebut.
Begitulah kira-kira kondisi perempuan pada masa Jahiliyah. sampai Nabi Saw. diutus membawa risalah kenabian, menciptakan ruang aman untuk perempuan. Tidak hanya itu, Nabi Saw. juga menyebutkan derajat seorang ibu tiga kali lebih tinggi dibandingkan bapak.
Setelah berabad-abad risalah kenabian untuk memperbaiki tatanan kehidupan sosial, khususnya melindungi dan menciptakan ruang aman bagi perempuan, pada abad ke 20 risalah kenabian untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan terus diupayakan, yaitu dengan kampanye internasional 16 HAKTP (hari anti kekerasan terhadap perempuan) yang rutin diperingati setiap tahun.
16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan
16 HAKTP adalah Gerakan internasional yang dimulai sejak tahun 1991 yang diprakarsai oleh Women’s Global Leadership Institute sementara di Indonesia Komnas Perempuan adalah pelopor peringatan internasional 16 HAKTP sejak tahun 2001.
Dipilihnya rentang waktu tersebut yaitu 25 November sampai 10 Desember setiap tahunnya, karena pada 10 Desember merupakan hari HAM internasional, sehingga korelasinya dengan 16 HAKTP adalah mempertegas penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia sebagai bagian dari HAM.
HAM yang fokus pada perlindungan setiap individu dan fokus menjaga dan menjunjung tinggi martabat setiap manusia agar dapat hidup layak, aman, dan terbebas dari segala bentuk kekerasan kultural ataupun struktural. Tidak usah berdebat mengenai kesepakatan internasional HAM sebagai konsep dari Barat karena nyatanya Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi HAM.
16 HAKTP juga merupakan upaya untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan. Bagaimana tidak, 16 HAKTP sama halnya seperti risalah kenabian yang berjuang untuk pembebasan perempuan dari kekerasan, diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, dan beban ganda.
Ruang Aman bagi Korban Kekerasan
Perjuangan yang terbaru untuk mewujudkan ruang aman dan keadilan bagi korban kekerasan seksual adalah peraturan terbaru: Permendikbudristek 30/2021. Permendikbud yang sedang hype dan ramai-ramai diperbincangkan dan dikomentari berbagai pihak.
Ada dua komentar mengenai Permendikbudristek ini, komentar negatif yaitu menyebutkan ada celah untuk legalisasi perzinahan di kampus melalui Permedikbud tersebut, sementara komentar positifnya adalah Permendikbudristek paying hukum dan upaya menciptakan ruang aman bagi perempuan korban pelecehan seksual.
Sekali lagi, melakukan perubahan ke arah dan kondisi yang lebih baik tidak akan pernah mudah. Pasti ada pro-kontra di dalamnya. Tetapi hal ini sudah menjadi hukum alam, memang begitu semesta merumuskan.
Bagi penulis, kontradiksi yang muncul atas Permendikbudristek nampaknya ada pihak yang tidak menghendaki adanya payung hukum dan terciptanya ruang aman bagi perempuan, padahal Nabi Saw. sudah mencontohkan sejak berabad-abad yang lalu. Mengapa masih dianulir oleh umatnya hingga sekarang?
Dalam kasus pelecehan seksual di kampus kerap kali adik-adik mahasiswa tidak berani untuk bersuara secara lantang. Ibaratnya, perlu viral terlebih dahulu baru akan pihak kampus usut. Itu pun jika kampus memiliki kesadaran bahwa suara korban harus kita utamakan.
Hal yang membuat adik-adik mahasiswa enggan membuka luka yang belum kering karena kadang-kadang ketika investigasi pertanyaan-pertanyaan semacam “kenapa kamu mau?”. Atau pertanyaan lain yang menyudutkan korban. Tetapi, hal yang sama seperti bertanya “kenapa melanggar kode etik kampus?” kepada pelaku jarang sekali terlontarkan.
Bahkan ada lho kampus yang meminta untuk berdamai saja dengan pelaku. Walhasil, pelaku masih bisa melenggang bebas. Karena dipaksa “berdamai” sementara tidak ada efek jera bagi pelaku. Bisa-bisanya kampus membiarkan pelaku kekerasan seksual berkeliaran mencari korban lain.
Kita ketahui bersama bahwa pasti di masing-masing universitas atau institusi pendidikan tinggi pasti memiliki kode etik, baik kode etik mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan. Kondisi perempuan yang masih harus berjuang dengan menghadapi beragam ketidakadilan mengingatkan penulis pada seorang feminis yang tulisan kritisnya familiar untuk membela kelompok yang terpinggirkan yaitu Can the Subaltern Speak? Pemikiran dari Gayatri Chakrosvorty Spivak.
Mewakili Kelompok yang tidak Bisa Bersuara
Tulisan ini mewakili pihak-pihak yang kerap kali dianggap sebagai the other, subaltern, dan kelas rendahan, salah satunya yaitu perempuan yang tidak dapat “bersuara” karena kondisi dan posisi yang dialaminya. Selain itu, Spivak tidak hanya fokus pada perempuan sebagai penonton atas semua yang terjadi di dunia, Spivak juga merujuk subaltern kepada populasi yang secara sosial, politik, dan geografis berada di luar struktur kekuatan hegemonik dan pada semua hal yang kaitannya pada pembatasan akses di semua lini kehidupan.
Ibaratnya, kelompok subaltern, termasuk perempuan jangankan bersuara, dianggap keberadaannya pun tidak, diliankan, dianggap the other. Untuk itu Spivak berjuang untuk suara-suara dari para kaum tertindas yang tidak dapat bicara. Oleh karenanya, bagi Spivak, kaum intelektual harus hadir sebagai pendamping atau orang yang mewakili kelompok- kelompok yang tertindas tersebut.
Selain menyatakan aktor intelektual harus mewakili kegelisahan subaltern, Spivak juga menyatakan bahwa aktor intelektual, yaitu kaum-kaum terdidik yang tidak terpinggirkan. Atau pemegang otoritas seharusnya lebih banyak bertindak secara nyata untuk memperjuangkan kelompok-kelompok subaltern daripada hanya berpikir atau berbicara tanpa mengambil tindakan (solusi).
Nabi Bersuara Membela Kelompok Rentan
Nah, maka dari itu posisi Nabi Saw., para intelektual dan aktivis yang tergabung dalam organisasi nasional atupun organisasi internasional, dan juga pemegang otoritas seperti pemimpin sebuah negara, menteri dan individu yang posisi sosialnya diuntungkan karena kelas sosial, harus bertindak untuk mewakili suara kelompok subaltern agar dapat keluar dari posisi dan kondisi yang selalu terpinggirkan.
Nabi Saw. bersuara dengan menghapus kebiasaan pada masa Jahiliyah, mengangkat derajat kaum perempuan melalui hadis-hadis dan sikapnya. Sementara aktor-aktor intelektual merumuskan teori-teori agar dapat terbaca dunia untuk mengikis posisi perempuan sebagai subaltern.
Selain itu, aktivis-aktivis berkampanye untuk penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, yang terakhir, pemegang otoritas menerbitkan aturan atau ketetapan seperti Permendikbudristek 30/2021 untuk menciptakan ruang aman serta keadilan bagi korban-korban kekerasan seksual.
Sekarang, pertanyaannya sebagai individu apa yang dapat kita lakukan? atau setidaknya dapatkah individu yang tidak saya sebutkan di atas menyetujui semua upaya dan aksi pembebasan perempuan yang sudah mereka lakukan sejak berabad-abad yang lalu? Selamat berkontemplasi! []