Mubadalah.id – Dalam akad nikah, saksi menjadi salah satu syarat sahnya pernikahan. Mayoritas madzhab bersepakat bahwa saksi merupakan syarat sahnya pernikahan. Pendapat ini lahir dari hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah ‘Tidaklah ada pernikahan melainkan dengan wali dan dua saksi yang adil’ (HR Darul Qutri dan Ibnu Hibban)
Tentu saja ketentuan berlakunya saksi tidak terlepas dari hikmah yang terkandung dalam pensyariatannya. Salah satu alasannya adalah karena pernikahan memiliki kedudukan yang sangat penting, maka hal ini harus diperlihatkan kepada publik agar tidak ada tuduhan zina.
Kesaksian menunjukkan adanya kepercayaan publik bahwa dua orang asing yang akan hidup satu atap itu merupakan pasangan suami istri yang sah. Dan jika ada kecurigaan orang lain, maka saksi bisa dihadirkan untuk pembuktian.
Pada kajian fikih, saksi hendaknya memiliki beberapa sifat tertentu, Pertama, hendaknya mempunyai kapabilitas untuk mengemban persaksian, telah baligh dan berakal. Kedua, Kehadiran mereka menjadikan terwujudnya makna pengumuman atas pernikahan tersebut. Ketiga, mampu menghargai pernikahan ketika menghadirinya.
Dalam hal kapasitas, kajian fikih juga menyebutkan bahwa saksi disyaratkan berakal, baligh, merdeka, Islam, adil, dapat melihat dan mendengar, dan berjenis kelamin laki-laki. Lantas bagaimana jika saksi tersebut perempuan? Bagaimana hukum saksi perempuan? Mengapa pernikahan harus memiliki saksi? Apakah pencatatan dalam perkawinan bisa mengganti posisi syarat wajib menghadirkan saksi dalam akad perkawinan?
Jawaban dari pertanyaan tersebut akan anda dapatkan dalam pengajian Fikih Islam wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily bersama KH. Husein Muhammad pada kanal youtube mubadalah TV berikut ini: