Ada kawan yang menghubungkan keharusan berada di rumah saja untuk menghindarkan penularan wabah Corona dengan ayat 33 al Ahzab :
وَقَرۡنَ فِی بُیُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَـٰهِلِیَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ (٣٣)
Yang umum diartikan, dan tinggallah kalian (wahai istri istri Nabi) di rumah dan janganlah mempertontonkan perhiasan dan kecantikannya pada orang lain, sebagaimana prilaku jahiliyyah dahulu kala.
Menyandingkan ayat ini (yang ada kata wa Qarna) dengan keharusan tinggal dirumah karena Corona, hanya karena ada kemiripan kata, bisa disebut “ilmu cok kalicok asal cocok”. Bahasa Usul Fiqihnya “Syathatun fi an Nash” artinya membebani atau mengisi teks al Qur’an dengan makna yg tidak dikandungnya, bahasa lainnya “pemerkosaan terhadap teks”.
Jadi sesungguhnya tidak ada hubungan antara ayat ini dengan corona yang mewabah saat ini. Lalu apa arti ayat di atas?
Ayat 33 al Ahzab ini tidak bisa dipisahkan dari ayat sebelumnya, yaitu ayat 22 nya:
یَـٰنِسَاۤءَ ٱلنَّبِیِّ لَسۡتُنَّ كَأَحَدࣲ مِّنَ ٱلنِّسَاۤءِ إِنِ ٱتَّقَیۡتُنَّۚ فَلَا تَخۡضَعۡنَ بِٱلۡقَوۡلِ فَیَطۡمَعَ ٱلَّذِی فِی قَلۡبِهِۦ مَرَضࣱ وَقُلۡنَ قَوۡلࣰا مَّعۡرُوفࣰا
Wahai istri istri Nabi, jika kalian bertaqwa, kalian tidak sama dengan perempuan perempuan lainnya. Maka janganlah kalian menggenitkan dalam bertutur, karena akan meyebabkan laki laki yg “sakit hatinya” punya “harapan kotor” terhadap kalian. Bertuturlah dengan tutur kata yang selayaknya.
Ayat ini 32-33 (menurut hemat saya) menjelaskan etika “Ibu Negara” dan juga Ibu tokoh tokoh agama, agar bersikap, bertutur, berpenampilan sesuai dengan budaya dan etika yang wajar dan selayaknya (makruufa) , tidak berlebih lebihan, religius dan gampang berbagi.
Mengapa “Ibu Presiden, ibu Gubernur, ibu Bupati, ibu kepala desa, ibu Nyai, dan ibu tokoh agama lainnya, diatur secara khusus dalam beretika? Menurut ayat 32 al Ahzab “karena kalian memiliki peran sosial berbeda dengan perempuan perempuan pada umumnya”. Kalian adalah figur publik, kalian adalah teladan, kalian adalah panutan. Tutur katanya di teladani, tingkah lakunya diikuti, penampilannya dicontoh dan seluruh kehidupannya menjadi cermin.
Nah, salah satu etika “Ibu Negara dan yg semaknanya” adalah ” وَقَرۡنَ فِی بُیُوتِكُنَّ”. Sebagian ulama membaca dengan kasroh Qaf nya “wa Qirna”. Kata ” Qarna atau Qirna” menurut ahli tafsir ada kemungkinan berasal dari kata “Waqara” yang bermakna tenang, berwibawa atau terhormat. Dan ada kemungkinan dari kata “Qarra” yang bermakna menetap atau mendengkur. Dan tidak ada satupun ulama yang mengatakan kata Qirna berasal dari QaRaNa.
Jadi jika berpijak pada asal kata Waqara, maka makna ayat itu adalah “wahai istri istri nabi berwibawalah dan terhormatlah kalian di rumah rumah kalian”. Jika mengikuti tafsir ini, maka ayat ini tidak memerintahkan istri Nabi untuk “tinggal di rumah”, melainkan perintah berada dirumah secara berwibawa dan terhormat.
Tafsir ini menurut hemat saya lebih sejalan, karena didukung oleh penggalan ayat berikutnya “dan jangan kalian mempertontonkan perhiasan dan kecantikan sebagaimana tradisi jahiliyyah. Yang dilarang bukan “Keluar Rumah” , melainkan “Tabarruj tabarrujal Jahiliyyah” yang tidak boleh.
Apa ayat ini juga berlaku pada perempuan selain istri Nabi (ibu Negara dan yang semaknanya)? Menurut saya tidak. Sebab ayat 32 menyatakan dengan tegas “lastunna ka ahadin minan nisa’-kalian tidak sama dengan perempuan umumnya”. Lalu bagaimana dengan perempuan yang lain? Ya ada ayat nya sendiri, misalnya An-Nur ayat 30-31 (akan dibahas dalam forum lain).
Jadi, hendaknya berhati hati di dalam memahami ayat. Pemahaman tekstualis sangat penting, tetapi berhenti di situ, sangat tidak baik. Setelah tafsir harfi, masih ada tugas lagi melihat Maqhashidus syari’ahnya, dan setelah itu men “tahqiqil manath” makna ayat itu dalam Realitas kemanusiaan saat ini. Wallahu A’lam. []