Mubadalah.id – Di zaman yang katanya sudah canggih ini, ternyata masih banyak orang yang mempertanyakan tingginya pendidikan perempuan. Bahkan, sebagian masyarakat masih beranggapan jika tugas perempuan hanya di dapur, sumur dan dapur. Dari asumsi-asumsi tersebut, salahkah menjadi perempuan berpendidikan?
Perempuan adalah pendidik pertama dan utama. Perempuan akan menjadi seorang ibu. Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya, segala tentangnya adalah teladan pertama yang dijumpai anak-anaknya. Anak-anaknya berhak dididik dan dibesarkan oleh ibu cerdas yang berpendidikan dan berakhlak mulia.
Bukan berarti tugas mendidik hanya diberikan kepada ibu saja, ayah juga berpengaruh terhadap proses pendidikan anak, meski tidak seotentik seorang ibu. Bukankah kita sering mendengar jika ibu yang cerdas akan menghasilkan anak yang cerdas.
Hal tersebut dapat dimaknai bahwa pendidikan akan berpengaruh dalam pola pikir dalam berkeluarga, cara mendidik anak dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan di keluarga. Pendidikan tinggi yang dimaksud ini juga bukan hanya berbicara tentang pendidikan formal yang kita peroleh di sekolah atau universitas, tetapi diperlukan bimbingan pendidikan non formal. Bagaimana seorang perempuan memiliki pengetahuan yang luas dan berusaha meraih pendidikan yang lebih baik.
Pada masa sekarang ini seharusnya masalah pendidikan tidak memandang gender, baik itu kaum perempuan ataupun kaum laki-laki. Sebab, eksistensi perempuan semakin terlihat di berbagai bidang. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya profesi yang dulu dianggap hanya bisa dilakukan oleh kaum laki-laki, kini perempuan pun bisa membuktikan bahwa perempuan itu juga bisa, bahkan tak kalah baik jika diadu kualitasnya.
Contohnya supir bus, juru parkir, montir, kepala sekolah, kepala desa, menteri bahkan presiden sekalipun. Perempuan berpendidikan tinggi di Indonesia masih lekat dengan streotipe yang bias gender. Padahal, hasil yang dituai dari pendidikan tinggi itu juga untuk pengembangan Indonesia sendiri.
Perempuan dan pendidikan, kedua elemen yang berbeda namun tak dapat dipisahkan. Dua hal ini yang kerap menjadi sebuah perbicangan yang menarik. Bagaimana tidak, sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita telah dikumandangkan oleh R.A.Kartini. Dia mengajarkan pentingnya emansipasi terhadap perempuan, minimal melalui pemberian akses pendidikan secara luas. Sehingga kemudian dianggap menjadi sesuatu hal yang penting oleh sebagian kalangan.
Namun, dalam praktiknya masih belum berjalan maksimal, dalam banyak hal perempuan masih memiliki sejumlah rintangan dan ketertinggalan untuk bisa mendapatkan yang terbaik dibidang pendidikan. Karena tidak semua lembaga pendidikan memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk dapat menempuh pendidikan seperti halnya para pria, belum lagi masalah perekonomian.
Juga rendahnya tingkat kesadaran akan pentingnya pendidikan yang tinggi bagi perempuanlah yang membuat sebagian perempuan kerap mengesampingkan masalah pendidikan. Padahal sejatinya perempuan memang terlahir untuk menjadi hebat dan melahirkan orang-orang hebat. Maka, ketika perempuan yang menempuh dunia pendidikan formal, ia pasti tahu betul bagaimana harus menjadikan pendidikan sebagai “ibu” yang mengajarkan, mendidik, juga menghidupi mereka yang dididik.[]