Beberapa saat dia datang, sambil cengengesan: “Ya ini, bukan salahku, salahnya yang ‘besar’ ikutan keluar bersama yang kecil,” dengan lugu.
Mubadalah.id – Tahun 1989-1995, aku belajar di Perguruan Abu Nur Damaskus Syria di bawah pimpinan Khalifah Naqsyabandi, Syekh Ahmad Amin Kaftaro hafizahullah. Di sini, aku ambil kuliah sarjana Fakultas Dakwah yang berasrama. Makan tiga kali, dapat pakaian musim panas dan musim dingin grade terendah, dan uang saku 200 Lira Syria (saat itu sekitar 10 USD).
Alhamdulillah wa syukru lillah……
Salah satu kegiatan yang disukai para pelajar dan mahasiswa adalah piknik. Minimal setahun sekali, atau kadang dua kali, kami piknik gratis: ke tempat-tempat wisata Syria, seperti Palmyra, atau sekedar berenang di kolam renang private milik salah satu jam’ah Syekh Kaftaro.
Suatu saat di acara piknik, terjadwal harus berangkat jam 8.30 pagi, kami sudah berebut naik bus sejak bus datang 10 menit sebelumnya. Aku sudah langsung dapat duduk di kursi depan, biar mudah melihat pemandangan.
Sekitar 15 orang Indonesia juga duduk berdekatan, biar ngrumpi sekalian. Temenku, dari Pekalongan, adalah termasuk yang paling semangat. Naik paling awal dan duduk persis di sampingku. Ia baru setahun di Syria, belum masuk kuliah, masih di kelas persiapan.
Saat jam 8.30, masih ada beberapa yang belum masuk bus. Anak Pekalongan ini dengan sigap turun dan gero-gero memanggil seluruh pelajar dan mahasiswa yang mau ikut piknik. Dia juga mengetuk ke kamar-kamar.
Asrama kami adalah rumah Arab sederhana, dua tingkat, hanya ada 9 kamar, besar dan kecil. Aku menempati kamar terkecil, sekitar 4 x 6 meter, dengan 3 ranjang besi tingkat. Jadi, kami berenam dalam satu kamar.
Izin Buang Air
Sekitar jam 8.45 semua peserta piknik sudah masuk. Si anak Pekalongan ini mringis di depan. “Sebentar, izin mau buang air kecil dulu,” pintanya memelas kepada kami yang dari Indonesia.
“Syuwaih ‘ammuh, wahid nazil la hammam,” kata salah seorang di antara kami kepada supir bus. (Artinya: sebentar om, ada yang turun mau ke kamar kecil). “Ma’alisy,” jawab sang supir membolehkan.
Sampai jam 09.00 anak dari Pekalongan ini belum datang. Aku berinisiatif turun mencarinya. Di kamar kecil aku ketok-ketok. “Cepetan ditunggu,” kataku. “Sebentar lagi,” jawab anak Pekalongan itu. “Eh, katanya buang air kecil, kok lama sekali,” kataku lagi. “Ya, maunya buang air kecil, eh yang besar ikut, sebentar ya, tungguin,” katanya.
“Ha, ha, haaaa..” aku tertawa terbahak-bahak dan aku bawa tawa ini ke dalam bus. Temen-temenku pada heran. “Ada apa, kok malah tertawa,” kata temen-temenku. Aku ceritakan soal “Yang besar ikut” pada “yang kecil” itu kepada temen-teman. Tertawalah semua temen-temenku juga.
Beberapa saat dia datang, sambil cengengesan: “Ya ini, bukan salahku, salahnya yang ‘besar’ ikutan keluar bersama yang kecil,” dengan lugu. []
NB: Ini humor ke-4, yang ingin menikmati silahkan baca status sebelum ini: ada tiga humor sudah aku tulis. Dan akan berlanjut. Humor-humor ini dari kisah nyata yang aku alami, tetapi ditulis ulang untuk tujuan humor belaka he he he hee…