Mubadalah.id – Sampah domestik menjadi penyumbang sampah tertinggi di Indonesia yang mencapai 42,23 persen di tahun 2021 dari catatan dataindonesia.id. Tingginya jumlah sampah yang menggunung di TPA (tempat pembuangan akhir) menandakan jika umumnya sampah domestik belum bisa melakukan pemilahan pada satuan rumah tangga.
Pemilahan sampah ini sebenarnya menjadi cara paling sederhana untuk mereduksi jumlah sampah yang akan bermuara di TPA. Pemilahan sampah bisa menjadi upaya nyata dalam menjaga alam dari kerusakan akibat sampah anorganik yang susah terurai oleh mikroorganisme tanah selain polusi udara, dan air.
Sampah yang terkelola dengan tepat bisa bernilai ekonomi. Hal ini memang terdengar simpel dan mudah terimplementasikan, meski nyatanya jauh panggang dari api.
Masyarakat kebanyakan masih nyaman dengan strategi pengelolaan sampah yang mereka yakini benar. Dengan ringan mereka membuang sampahnya di bantaran sungai, sungai yang mengalir, sengaja mereka letakkan di bibir jalan dan dibiarkan bertumpuk di belakang rumah.
Tindakan ini tentu tidak bisa dibenarkan. Tapi menyalahkan tindakan mereka bukan tindakan yang bijak serta tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat tidak semua teredukasi tentang pengelolaan lingkungan dengan baik. Mereka umumnya mencari cara sederhana untuk mengeluarkan sampah domestiknya agar beban mereka segera beres.
Sampah Rumah Tangga dan Beban Domestik Perempuan
Beban kebutuhan hidup yang semakin tinggi telah memaksa laki-laki dan perempuan yang sudah mengarungi biduk rumah tangga harus bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah secara bersama. Kerja bersama ini sayangnya tidak diikuti oleh pembagian yang equal dan fair dalam urusan domestik.
Situasi di atas kerapkali menempatkan perempuan pada posisi lemah ada di dua kaki, domestik dan publik. Misalnya: para istri harus menyelesaikan semua pekerjaan domestik secara tuntas sebelum bergegas meninggalkan rumah untuk mencari nafkah. Dari menyiapkan sarapan, perlengkapan anak sekolah, bekal suami kerja, dan kebutuhan lainnya itu rutinitas mereka di pagi hari. Mereka akan pulang ke rumah di sore hari.
Sampah domestik juga hal yang selalu orang-orang lekatkan pada perempuan. Sisa bahan makanan dan barang tidak terpakai ini harus segera dikeluarkan dari rumah di pagi hari untuk diangkut oleh truk sampah.
Jika telat mengeluarkan maka akan menimbulkan bau yang tidak sedap dan bisa menimbulkan penyakit. Bisa kita bayangkan bagaimana hecticnya seorang istri ketika pagi tiba. Oleh karena itu, tidak kaget jika pola pengelolaan sampah yang perempuan lakukan hanya memindah sampah dari rumah ke tempat pembuangan.
Realitas demikian, semakin menegaskan jika double burden yang perempuan pekerja alami tidak hanya merugikan perempuan tapi juga alam.
Banyaknya bencana yang timbul seperti banjir, longsor, rusaknya ekosistem laut, polusi udara, polusi air, dan polusi tanah adalah dampak nyata dari kondisi alam yang tidak baik. Banjir menjadi bencana yang intensitasnya cukup tinggi. Selama 3 tahun terakhir dari 2020-2022 rerata banjir sebanyak 1.099 pertahun (kata data).
Perempuan Pekerja vs Laki-laki
Meningkatnya jumlah perempuan pekerja sesuai Data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2021 menunjukkan bahwa sebanyak 53, 60 persen dari yang lulusan SMA ke atas. Jumlah yang tidak jauh beda dengan laki-laki yakni 54, 55 persen. Akan tetapi ralitasnya laki-laki justru lebih tinggi TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka).
Berdasar data BPS di atas jika jumlah pekerja perempuan semakin tinggi tapi tidak ia imbangi dengan perilaku pengelolaan sampah tepat. Di mana keluarga tidak bisa kompromi untuk mewujudkan relasi yang lebih mubadalah dalam pengelolaan sampah domestik antara laki-laki dan istri serta melibatkan anak maka bukan tidak mungkin jumlah TPA yang overload akan terus bertambah.
Ini bukan tanpa alasan, konstruksi budaya patriarki yang mengakar kuat dalam hubungan rumah tangga, tentu akan lebih memilih membayar denda daripada untuk memilah sampah.
Kesibukan perempuan pagi hari menuntut kerja sat- set. Oleh karena itu, dalam kehidupan rumah tangga keduanya harus saling kerjasama. Pemilahan sampah tidak hanya akan memperolah nilai ekonomi, tapi yang lebih utama adalah merawat alam untuk keberlanjutan generasi.
Merawat Alam, Menyelamatkan Generasi
Pengelolaan sampah domestik sudah saatnya dinegosiasikan dengan pasangan. Jika tugas pengelolaan sampah identik dengan tangan dingin feminin maka tidaklah bijak dan tentu jauh dari kata adil. Baik perempuan dan laki-laki memiliki kebutuhan yang sama. Dari papan, sandang, pangan, dan kebutuhan lain yang berpotensi menghasilkan sampah.
Sudah saatnya baik laki-laki dan perempuan mulai terbuka pada kenyataan akan kerusakan alam, dan sampah bisa menjauhkan manusia mendapatkan ridla-Nya. Hal ini relate dengan berfirman Allah SWT, QS. Al-A’raf ayat 56-58 yang menyampaikan tentang larangan melakukan kerusakan di bumi karena dari bumi Allah menurunkan rizki seperti buah-buahan dan yang lain.
Betapa Allah SWT sudah gamblang (clear) menyeru kepada kita untuk tidak merusak bumi. Tanah yang baik akan tumbuh di atasnya buah yang berkualitas. Buah itu akan generasi kita nikmati.
Oleh karena itu, menjaga alam adalah cara merawat generasi. Laki-laki dan perempuan menyepakati berumah tangga tidak hanya sekedar menyatukan hati dua insan yang saling mencinta. Maka menikah juga harus bisa memastikan keturunan lahir sehat, berkembang baik serta menjaga kemaslahatan di dunia maupun akhirat.
Selain itu, menjadi fondasi dan kompas untuk mencapai tujuan pernikahan sejak janji suci yang keduanya ikrarkan kepada Allah SWT. []