Mubadalah.id – Sastra adalah jembatan emas yang bisa mendudukkan definisi ulama pada keseluruhan konteksnya. Dengan sastra manusia akan mengenal dirinnya. Dengan sastra manusia akan dikenal dirinya. Dalam konteks ini definisi ulama perempuan sering kali kabur dan memunculkan polemik dengan definisi itu sendiri. Selama ini definisi itu lebih di pandang dalam ruang formal, padahal ulama adalah keseluruhan dari ruang hakikat dan ruang formal. Sastra adalah jembatan emas yang bisa mendudukkan definisi ulama pada keseluruhan konteksnya.
Sebut saja Imam Syafi’i, yang dengan kefasihannya dalam bersastra mengantarkannya menjadi mujtahid yang dikenang sepanjang masa. Sebut juga Ibnu Malik, dengan karya al-Fiyah-nya menjadi ukuran standar santri nusantara dalam mempelajari al-Qur’an dan sunnah.
Kemudian di Nusantara, kita kenal dekat dengan wali sanga. Dengan keahliaanya dalam menciptakan syi’ir-syi’ir dan tembang-tembangnya mampu mengimankan masyarakat nusantara dengan cara yang sangat lembut dan tidak menyakiti siapapun. Pastinya semua sudah mengenal bahkan hafal syiir Lir Ilir karya Sunan kalijaga. Bukankah begitu?
Siapa yang tidak mengenal Rabiah al adawiyah? Perempuan yang begitu mencintai Tuhannya. Syi’ir-syi’irnnya yang dasyat mampu mengantarkannya menjadi Ulama perempuan yang tak lekang dimakan zaman.
Dari sini ternyata sastra mampu mengantarkan manusia sebagai seorang Ulama’. Ini juga di alami beberapa perempuan di Indonesia seperti Raja Aisyah Binti Raja Sulaiman. Dia adalah cucu Raja Ali Haji, yang juga seorang ulama, sastrawan dan sejarawan. Sebagai putri Diraja Melayu, Aisyah Sulaiman sangat akrab dengan kehidupan di lingkungan istana Kerajaan Riau-Lingga. Di sanalah di Pulau Penyengat , dia dilahirkan dan dibesarkan, yang kemudian nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan pun dia dapatkan.
Jelaslah bahwa Aisyah Sulaiman telah memperjuangkan harkat, martabat, dan marwah kaum perempuan melalui karya-karyanya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dengan Hikayat Syamsul Anwar, misalnya, dia telah berhasil menyuarakan semangat keislamannya melalui pesan emansipasi, yang bahkan belum banyak terpikirkan oleh kaumnya kala itu. Karakter tulisannya yang kuat di dalam hikayat ini mampu mengantarkan Aisyah Sulaiman sebagai pelopor kesusastraan Indonesia modern.
Selain itu kita mengenal sosok R.A. Kartini, walaupun dia bukan Ulama perempuan namun karya sastranya mampu membawa pesan-pesan ilmiyahnya kepada dunia. Minadzulumati ilannur, dari kegelapan menuju cahaya adalah secuil ayat al-Qur’an yang menjadi inspirasinya untuk menggugah perempuan Indonesia.
Gus Mus pernah menyampaikan bahwa Ulama itu memandang ummat dengan penuh kasih sayang, “al-‘Ulama’ yandzuruna al-ummata bi ‘aini ar-rohmah”. Ulama’ yang demikian adalah wujud manifestasi dari ayat “innama yakhsya allaha min ‘ibadihi al-‘ulama’” hanya para ulama’, dari hamba-hamba Allah yang merasa takut kepada Allah. Wujud rasa takutnya kepada Allah SWT, adalah kasih sayangnya kepada sesamanya. Dari sastra yang ditulis dengn penuh cinta mengantarkan pemberdayaan perempuan dan bangsa.
Sastra memang bukan ilmu utama untuk menjadi Ulama akan tetapi sastra bisa menjadi media utama keulamaan perempuan.