• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Satu Rumah Ibadah dalam Sekat-sekat Rumah Petak

Sejatinya kita semua itu berasal dari Yang Satu, dan mendiami rumah yang Satu. Hanya saja kita tersekat oleh dinding-dinding syariat yang berbeda untuk saling mewarnai antara satu dan lainnya

Aspiyah Kasdini RA Aspiyah Kasdini RA
14/01/2023
in Pernak-pernik
0
Rumah Ibadah

Rumah Ibadah

571
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Terlahir menjadi anak prajurit dan tumbuh di lingkungan masyarakat yang heterogen di kota kecil Sanggau, Kalimantan Barat, merupakan privilise yang patut saya syukuri. Besar dengan kondisi masyarakat yang majemuk secara agama, suku, ras, dan keyakinan merupakan realita sehari-hari yang saya alami serta rasakan bersama anak-anak lainnya di sana. Termasuk melihat rumah ibadah berbeda agama yang saling berdampingan.

Istilah ‘menghargai’ dan ‘toleransi’ bukan teori dalam kelas semata. Melainkan juga sebuah praktik keseharian yang tampak dalam segala aspek kehidupan. Di kota ini, Masjid dan Pekong dibangun bersebelahan. Bahkan di kecamatan-kecamatan yang tersebar di Kabupaten Sanggau dan sekitarnya,  Masjid dan Gereja berjarak berdekatan.

Masyarakat di sana saling bahu-membahu dalam kemanusiaan,  juga saling menghargai atas segala bentuk pelaksanaan ibadah dan ritual keagamaan. Toleransi bagi masyarakat di sana merupakan bagian dari aliran darah yang menyatu bersama raga dan jiwa. Menggerakkan seluruh anggota tubuh, dan menghasilkan kerja-kerja jasmani untuk pemenuhan kebutuhan bersama.

Sebagaimana Ibnu Khaldun tuliskan dalam Muqaddimah, manusia itu membutuhkan kerjasama dengan sesamanya untuk bertahan hidup. Baik untuk memperoleh makanan ataupun mempertahankan diri. Ya, manusia yang ada dalam suatu komunitas masyarakat, yang tidak dipetak-petakkan oleh identitas yang mereka miliki.

Berbagi Kebahagiaan dengan yang Berbeda Agama

Di kota ini, saya yang seorang Muslim juga selalu bertandang ke rumah teman-teman, guru, juga kerabat yang notabenenya berbeda agama di saat mereka sedang merayakan hari besar keagamaannya. Demikian pula sebaliknya, mereka juga akan bertandang ke rumah kami saat hari raya Idulfitri. Walaupun Ayah merupakan prajurit dan tokoh agama di sana, tidak pernah sekalipun ia melarang anak-anaknya untuk berbagi kebahagiaan dengan mereka yang berbeda.

Baca Juga:

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

Islam Hadir untuk Gagasan Kemanusiaan

Tidak hanya pada saat menasehati anak-anaknya, dalam ceramah-ceramah keagamaan pun Ayah selalu menekankan pentingnya merajut perdamaian dalam perbedaan. Sikap dan pemikiran Ayah yang demikian, membuatnya selalu menjadi jembatan mediasi oleh masyarakat saat terjadi konflik dan miskomunikasi antar agama maupun budaya. Dari realita ini, saya dapat berasumsi, sesungguhnya perdamaian itu lebih kita sukai daripada perpecahan dan permusuhan. (Lihat QS. Ali Imran: 103, Al-Nisa’: 114).

Setelah menamatkan sekolah dasar, Ayah dan Mamak mengirim anak-anaknya untuk melanjutkan pendidikan ke pulau Jawa. Tinggal nomaden dari satu kota ke kota lainnya memberi saya banyak pelajaran dan perspektif tentang bagaimana perbedaan bisa kita hayati, pahami dan terimplementasikan pada sikap toleransi dalam bentuk budi pekerti sehari-hari.

Masyarakat dengan corak homogen, baik secara agama, suku, dan bahasa, cenderung antipati terhadap perbedaan. Sebaliknya, masyarakat yang heterogen justru lebih mudah menyikapi perbedaan yang ada dalam lingkungan tersebut. Dari pengalaman ini, saya dapat mengambil kesimpulan, bahwa maksud dari pepatah “‘Tak kenal maka ‘tak sayang” itu benar adanya.

Saat seseorang mengenal dan bercampur dengan mereka yang berbeda, maka ia juga akan merasakan bahwa ia juga berbeda. Kemudian dapat bercampur-baur dengan penuh tenggang-rasa. Oleh karena itu, kegiatan dan edukasi untuk saling mengenal dengan yang ‘tak sama adalah salah satu agenda yang harus kita prioritaskan dan kita dukung. Seperti agenda kerja institut Leimena dan Convey Indonesia.

Menyikapi Perbedaan

Ya, kondisi dan latar belakang hidup seseorang sangat berpengaruh terhadap sudut pandang dan karakter yang kita miliki (Ibnu Khaldun, Muqaddimah: 1.377) termasuk dalam hal menyikapi perbedaan. Sudut pandang yang demikian sangatlah berperan aktif sebagai faktor internal untuk mewujudkan perdamaian. Hal itu bisa kita mulai dari diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita.

Jika orang tua saya telah gugur kewajibannya -karena telah gugur dalam wabah- untuk memberikan pemahaman Islam yang rahmatan lil alamin. Maka sekarang giliran saya untuk melanjutkan estafet tugas tersebut kepada anak-anak saya. Tentunya saya dan suami sempat mengalami kebingungan, karena kami tidak lagi berdomisili di tanah yang masyarakatnya sangat beragam. Melainkan harus tinggal di rumah petakan yang didominasi oleh agama dan ideologi yang sama.

Menjadi mahasiswa membuat saya harus membawa serta anak-anak untuk menjalani kehidupan layaknya mahasiswa. Namun yang menjadi berbeda adalah, anak-anak merupakan anak-anak yang lahir di masa pandemi, sehingga mengenalkan anak-anak pada dunia luar secara langsung bukanlah termasuk prioritas utama. Di mana yang menjadi prioritas saat itu untuk mereka adalah menjaga kesehatan dan keselamatan hidupnya.

Terlebih segala bentuk perkuliahan kami lakukan secara daring, mustahil untuk melihatkan kepada mereka apa itu perbedaan, keberagaman, toleransi, menghargai, dan tenggang rasa.

Tantangan Pandemi dan Masyarakat Homogen

Kondisi pandemi dan masyarakat yang homogen merupakan sebuah tantangan. Di mana ruang dan waktu sangat terbatas bagi kami untuk menanamkan nilai-nilai keberagaman tersebut. Namun Tuhan selalu memberikan jalan-Nya (QS. Al-Insyirah: 5-6).

Pandemi yang memberikan banyak dampak ini, baik secara psikis, ekonomi, budaya, dan lainnya, ternyata juga memberikan banyak hikmah di belakangnya. Termasuk pada Tante Maria Linda, tetangga yang baru saja pindah di sebelah rumah petakan, karena usaha batiknya terdampak akibat pandemi yang ‘tak kunjung usai, merupakan salah satu dari hikmah tersebut.

Rumah petakan yang kami tinggali adalah rumah dengan satu pintu akses utama di depan, dengan memiliki empat ruang yang memanjang ke belakang. Empat ruang ini tersekat dinding dengan posisi pintu-pintu yang sejajar. Sudah umum bagi mahasiswa yang berdomisili di Ciputat. Selain memilih kosan dengan satu kamar sebagai pilihan untuk tinggal dan belajar, juga tidak sedikit yang memilih menyewa rumah petakan seperti yang kami pilih untuk berhemat.

Tante Linda bukanlah mahasiswa di sini. Dia adalah pengusaha yang sedang memulai kembali usahanya setelah pandemi melanda negeri, dan menyewa rumah petakan adalah salah satu ikhtiarnya untuk mengelola kembali ekonomi yang ia miliki.

Berinteraksi dengan Umat Beda Agama

Tante Maria Linda adalah seorang Nasrani. Pada suatu hari di bulan Ramadlan tahun ini, bertepatan dengan pelaksanaan ibadah puasa menjelang Minggu Palma baginya, dan ia pun berpuasa sebagaimana kami. Saat berbuka, kami mengajaknya berbuka puasa bersama. Tentunya anak-anak juga ikut bercengkrama dan menikmati kudapan berbuka bersamanya.

Karena makan nasi atau makan besar akan kami lakukan setelah salat Tarawih, maka kami meminta Tante Linda untuk makan terlebih dahulu. Akan tetapi ia menolak, ia akan makan bersama kami setelah tarawih. Karena pada saat Isya, ia akan melakukan Misa dan meminjam ruangan ketiga di rumah petakan kami. Melihat kondisi tersebut, anak-anak mulai bingung dan bertanya kepada ibunya, “Bubu, kok Tante Linda ndak ikut salat bareng?”; “Ngapain dia di kamar belakang?”

Mendengar pertanyaan kritis dari gadis tiga tahun ini, spontan saya bersemangat menjawab. Inilah kesempatan untuk sedikit-sedikit memberikan pemahaman kepada anak-anak. Inilah jawaban atas kebingungan-kebingungan saya selama ini. Kemudian pertanyaan-pertanyaan itu mulai saya jawab, “Iya, Tante Linda juga sama seperti kita, ia juga sedang beribadah.

Tetapi kita memiliki syariat agama yang berbeda dengannya, kita beragama Islam. Sedangkan Tante Linda beragama Nasrani. Kita menghadap Tuhan dengan melaksanakan salat, dan Tante Linda juga menghadap Tuhan dengan melaksanakan Misa bersama komuninya. Karena sedang pandemi, kita tarawihnya tidak di masjid, tetapi berjamaah di rumah saja, dan Tante Linda juga tidak pergi ke Gereja, melainkan di rumah saja dengan sistem daring.

Rumah Ibadah

Petak-petak Rumah Ibadah
Petak-petak Rumah Ibadah

Dulu waktu Bubu kecil Mbah Ayah pernah bilang, al-ardlu kulluha masjidun illa maqbarah wa al-hamam (Hr. Tirmidzi No. 317). Jadi di mana saja tempat makhluk menghadap Tuhannya, itu adalah rumah ibadah untuknya. Di sini adalah masjid untuk kita, dan juga di ruangan belakang adalah gereja untuk Tante Linda.”

Saya melihat mata bersihnya menyimak jawaban dari Bubunya dengan diiringi anggukan sebagai tanda mengerti. Saat semuanya mulai beribadah, ia tidak mengusik, tidak berisik, dan tidak berlarian di seluruh ruangan, sehingga Tante Linda yang sedang menjalankan Misa daring di kamar belakang pun dapat mengikuti rangkaian ibadah dengan khidmat.

Ini di luar ekspektasi saya, ternyata dengan menggunakan penjelasan singkat saja, anak tiga tahun ini dapat langsung mengambil sikap untuk dapat menghargai perbedaan yang ada dengan tidak bermain di saat yang lain sedang beribadah. Sungguh tidak saya minta ia untuk melakukan itu.

Pandemi memang memberi jarak ruang dan waktu untuk manusia saling bertemu dan beraktivitas secara masal, namun kita masih memiliki orang-orang terdekat dan teknologi untuk kebutuhan hidup, termasuk sekolah, ibadah, jual-beli, dan lainnya.

Oleh karena itu, teknologi juga merupakan media strategis yang dapat kita manfaatkan untuk mengenalkan, mengajarkan, dan memahamkan kepada anak-anak, tentang apa itu perbedaan beserta cara menyikapinya. Sejak kejadian malam Ramadan itu, saya beserta suami pelan-pelan memasukkan nilai-nilai keberagaman dan perdamaian saat membersamai anak-anak bermain.

Petak-petak dalam Rumah

Di rumah petakan ini, kami ajarkan berbagai lagu daerah beserta budaya yang melekat di dalamnya; di rumah petakan ini juga, kami temani mereka mengenal adanya agama lain yang berbeda dengan yang kita yakini berikut ritual keagamaannya; kami temani mereka menonton kartun “Masha and The Bear” dan kartun lainnya dengan bahasa aslinya.

Terkadang saya ajak mereka menikmati video-video lagu dubing Shah Rukh Khan dengan budaya yang menyertainya. Kami ajak mereka menikmati perjalanan Makkah dan Madinah melalui video-video yang neneknya kirim saat umroh. Pertanyaan-pertanyaan kritis yang mereka lontarkan kapada kami saat proses bermain ini kami jadikan senjata untuk pelan-pelan memahamkan kepadanya, bahwa kita semua berbeda. Termasuk antara kamu dan Bubu.

Rumah yang Satu

Kita semua berasal dari berbagai macam perbedaan. Namun kita tinggal di bumi yang sama. Oleh karena itu kita harus saling mengenal dan mengasihi. Dengan demikian kita semua akan bahagia dan selamat dunia-akhirat.

Jadi, tidak ada celah untuk intoleransi, bahkan sekat-sekat rumah petak pun mampu menjadi ruang untuk menanamkan nilai-nilai toleransi kepada anak-anak bangsa. Mari kita manfaatkan media sebaik mungkin, dan penuhi media dengan narasi yang mendamaikan serta menyejukkan. Bukan narasi yang memecah belah.

Rumah ibadah yang ideal bagi kami adalah rumah ibadah yang nyaman untuk melakukan ibadah. Sebuah tempat yang memiliki makna rumah. Yakni tempat nilai cinta, damai dan kasih diajarkan di balik segala perbedaan yang diciptakan-Nya.

Tempat yang harus dapat menjadi rumah bagi siapapun yang ingin melakukan ibadah di dalamnya. Baik itu antar maupun intra agama; dan dapat diakses oleh siapapun dan dalam kondisi apapun, tidak hanya bagi mereka yang mampu, tetapi juga bagi kaum mustadh’afin. Sejatinya kita semua itu berasal dari Yang Satu, dan mendiami rumah yang Satu. Hanya saja kita tersekat oleh dinding-dinding syariat yang berbeda untuk saling mewarnai antara satu dan lainnya (QS. Al-Hajj: 34). (bebarengan)

 

Tags: ibadahislamKeberagamaanNasraniRumah Ibadah
Aspiyah Kasdini RA

Aspiyah Kasdini RA

Alumni Women Writers Conference Mubadalah tahun 2019

Terkait Posts

Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Gizi Ibu Hamil

Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

17 Mei 2025
Pola Relasi Suami Istri

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

17 Mei 2025
Peluang Ulama Perempuan

Peluang Ulama Perempuan Indonesia dalam Menanamkan Islam Moderat

16 Mei 2025
Nusyuz

Membaca Ulang Ayat Nusyuz dalam Perspektif Mubadalah

16 Mei 2025
Poligami dalam

Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version