Mubadalah.id – Pernahkah kalian menemukan satu jalan buntu, tak tahu arah, tak tahu harus ke mana, dan tak tahu hendak mengadu pada siapa. Semua upaya yang telah dilakukan seakan sia-sia tanpa makna. Waktu seolah berhenti berputar. Semua diam, tak bergerak. Kita meradang, sendiri dan hidup terasa sunyi. Ternyata hidup bukan hanya tentang hari ini.
Jika sudah begitu, saya akan merefleksikan kembali makna perjalanan hidup, apa saja yang telah saya lakukan tempo hari. Menelusuri jejaknya, bahkan hingga pada kenangan yang tak ingin diingat sekalipun. Bukan untuk membongkar luka lama, tetapi menyapa setiap perasaan negatif yang pernah hadir. Mungkin masih ada sisa rasa kebencian, atau dendam yang luput, dan saya masih belum bisa memaafkannya.
Melalui peta jalan menuju masa lalu itu, seringkali kita temui pemaafan pada kesalahan yang pernah dilakukan. Dan berharap esok, kesalahan yang sama takkan terulang. Begitu juga harap yang sama dan selalu dirapalkan pada orang-orang kesayangan di sekitar. Bukan untuk menjadi lebih protektif. Tetapi lebih memvalidasi seluruh emosi yang ada, sehingga kita lebih siap untuk segala kemungkinan di depan mata, bahkan yang terburuk sekalipun.
Pengalaman pertama yang saya lalui, ketika menghabiskan waktu libur bersama keluarga. Tetiba ada orang yang saya pahami telah melakukan kesalahan pada kami, tanpa rasa bersalah dan penyelasan, ikut liburan bersama. Dulu belasan tahun silam, saat saya hamil anak pertama, dan usia kandungan masih trimester awal. Lalu dalam waktu bersamaan suami sakit, harus menjalani perawatan intensif di rumah.
Malam itu, ketika hujan besar, ada seorang lelaki yang datang ke rumah hendak meminjam mobil. Katanya untuk membeli sesuatu di kota terdekat. Sebab memang tempat tinggal kami hanya kampung kecil yang jauh dari akses kebutuhan masyarakat. Terlebih di masa itu, di mana untuk membeli obat di apotek saja kami harus keluar desa yang jaraknya lumayan jauh.
Karena merasa sudah mengenal lama lelaki itu, kami izinkan ia membawa mobil meski dalam kondisi hujan besar. Selang satu jam kemudian, kami mendapat kabar jika mobil yang telah dipinjam itu menabrak pengendara motor, dan korban dalam kondisi koma di rumah sakit kota. Mobil tentu saja disita sebagai barang bukti. Lelaki yang meminjam mobil tersebut lepas tanggung jawab, ia pergi dan menyerahkan urusan itu pada kami.
Tentu saya marah, marah sekali. Keesokan harinya suami yang masih sakit harus melepas infus, ia bergegas ke Polsek, dan menemui keluarga korban untuk menyampaikan permohonan maaf, dan melihat secara langsung kondisi korban. Sampai di rumah, sakit suami kambuh, dan meminta temannya untuk memasangkan jarum suntikan infus lagi.
Dalam kondisi tersebut, saya tahu ada kemarahan bertahun-tahun yang terendap dan belum mampu saya lepaskan. Setiap kali bertemu dengan lelaki, yang saya sebut sebagai pembawa sial itu, tanpa kabar sebelumnya ikut dalam rombongan liburan keluarga. Refleks ingatan saya langsung kembali pada peristiwa belasan tahun lalu, ketika ia dengan entengnya meninggalkan sekian masalah dan kami yang harus menyelesaikan.
Ketika liburan kemarin mobil yang lelaki itu bawa mogok dalam perjalanan, dan lagi-lagi kami pula yang ikut direpotkan, bisa ditebak saya mengomel sepanjang sisa perjalanan, liburan yang akhirnya menjadi tak nyaman. Namun Gusti Allah punya cara lain untuk menegur ketidakadilanku terhadap kondisi yang terjadi itu. Tas yang kami bawa tertinggal di lokasi wisata.
Dari rangkaian peristiwa demi peristiwa yang saya susuri, bahkan hingga jauh ke belasan tahun silam, dimana sebutan pada lelaki pembawa sial itu mulai saya sematkan, saya tahu ada kata maaf yang belum mampu dilepaskan agar detik-detik yang kami anggap kelam, menjadi benderang di kemudian hari. Sebab memang hidup bukan hanya tentang hari ini, ada masa lalu yang harus kita ikhlaskan, dan masa depan yang juga harus diperjuangkan.
Sebagaimana maqalah Arab, yang dulu saat masa-masa berseragam biru putih, dan abu-abu putih sering saya bubuhkan dalam buku agenda, لَنْ تَرْجِعَ الأَياَّمُ الَّتيِ مَضَتْ yang artinya “Tidak akan pernah kembali lagi hari-hari yang telah berlalu.” Jadi, pilihan untuk mengelola waktu, dan hari-hari kita dengan lebih baik, semua kembali pada diri kita sendiri.
Mungkin cerita versi kalian bisa berbeda. Ada banyak kata maaf yang belum sempat terucapkan pada orang tua, saudara, dan sahabat karib, atau bahkan barisan para mantan. Kita layak untuk menjalani hari-hari ke depan dengan rasa tenang, tanpa ada beban masa lalu yang membelenggu bagai sembilu. Dan percaya bahwa, damai yang kita damba akan menjelma menjadi nyata. []