Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Masdar F. Mas’udi tentang kitab kuning di pesantren, maka menurutnya, kitab kuning di pesantren masih sangat mensubordinasi perempuan.
Lebih lanjut, kata Masdar, kitab kuning di pesantren kebanyakan isinya memandang perempuan sebagai makhluk yang hanya separuh harga laki-laki.
Hal ini, lanjut Masdar, bisa terlihat dalam berbagai ketentuan fiqh yang dianut oleh seluruh madzhab, misalnya dalam ajaran Islam, orang tua dianjurkan untuk anak yang baru dilahirkan untuk menyembelih hewan (aqiqah).
Bagi anak laki-laki minimal 2 ekor kambing, tapi bagi perempuan cukup 1 ekor saja.
Seperti halnya melahirkan, demikian pula ketika mati terbunuh, perempuan dihargai separuh harga laki-laki.
Jika laki-laki yang terbunuh maka keluarga berhak menuntut ganti rugi terhadap pembunuh atau keluarganya dengan 100 ekor unta, sedangkan jika yang terbunuh perempuan maka ganti rugi hanya 50 ekor.
Juga dalam hal kesaksian. Kesaksian dua orang perempuan juga setara dengan kesaksian satu orang laki-laki.
Dalam pembagian waris kitab kuning/fiqh juga membedakan posisi perempuan dan laki-laki, perempuan mendapatkan setengah dari jumlah warisan laki-laki.
Dan dalam hal nikah laki-laki berhak menikahi lebih dari satu sedangkan perempuan secara mutlak hanya memiliki seorang suami.
Kitab kuning juga memandang perempuan hanya sebagai objek. Misalnya, laki-laki lah yang berhak menikahi sedangkan perempuan statusnya sebagai yang menikah.
Sebagai objek, perempuan yang hendak menikah juga boleh melihat bagian tubuhnya oleh laki-laki (calon suami).
Laki-laki juga lah yang memiliki kekuasaan menceraikan istri, sedangkan perempuan hanya boleh mengajukan mosi tidak percaya kepada pengadilan, tidak bisa langsung menceraikan.
Laki-laki yang menceraikan istrinya boleh meminta kembali istrinya untuk rujuk dengan syarat masih dalam masa iddah, sementara perempuan tidak bisa menolak, dan lain-lain.*
*Sumber : tulisan karya Septi Gumiandari dalam buku Menelusuri Pemikiran Tokoh-tokoh Islam.