Telah banyak ceramah dan tulisan yang menyatakan bahwa hubungan seksual antara suami dan istri dalam Islam dianggap sebagai sedekah yang berpahala. Tentu saja, ini benar dan sudah ditegaskan dalam sebuah dialog antara Nabi Muhammad Saw dan beberapa sahabat mengenai hal tersebut, sebagaimana tercatat dalam Sahih Muslim (no. hadits: 2376).
Sayangnya, di kalangan masyarakat, sedekah ini dipahami secara sepihak atau searah. Dari laki-laki yang meminta kepada perempuan. Lalu, perempuan dituntut untuk memenuhi dan melayani suami. Perempuan akan memperoleh pahala sedekah karena melayani suami, laki-laki akan memperoleh pahala sedekah karena menikmati hubungan seksual yang halal.
Masih segar dalam ingatan kita seorang Ustadz atau Tengku yang dengan lantang menyatakan, dalam sebuh stasiun televisi, bahwa laki-laki berhak meminta bahkan memaksa istrinya untuk berhubungan seks, dan Islam mewajibkan perempuan untuk memenuhi dan melayani. Pahala suami adalah karena menikmati istri yang halal dan pahala istri adalah karena melayani suami yang sah.
Pandangan ini tentu saja tidak mubadalah, atau tidak seimbang. Konsep sedekah huseks di sini juga menjadi pincang karena bersifat searah dan tidak berkesalingan. Karena hanya laki-laki yang menikmati, sementara perempuan hanya melayani. Apalagi ditambah kebolehan laki-laki untuk memaksakan kehendak, yang bisa berujung pada kekerasan. Pernikahan lalu tidak lagi menjadi ajang perpaduan cinta kasih dan kebahagiaan, (sakinah, mawaddah wa rahmah) sebagaimana yang dianjurkan al-Qur’an (ar-Rum, 30: 21).
Sebagaimana kita tahu bersama, al-Qur’an sendiri menegaskan relasi suami istri dalam hal seks (dan juga yang lain) dengan perumpamaan pakaian yang saling melengkapi satu sama lain. Kata al-Qur’an (al-Baqarah, 2: 187), dalam hal seks, istri adalah pakaian bagi suami dan suami adalah pakaian istri (hunna libasun lakkum wa antum libasun lahunn). Pakaian adalah sesuatu yang menutupi, melengkapi, dan menghangatkan. Konsep ini tentu saja sebuah isyarat eksplisit mengenai relasi yang saling melayani dan memenuhi kebutuhan masing-masing antara suami dan istri.
Ditambah lagi, konsep sedekah sendiri dalam perspektif al-Qur’an harus dilakukan dengan cara-cara yang baik dan tidak menyakitkan. Bahkan al-Qur’an menegaskan bahwa perkataan yang baik dan menyenangkan (qawlun ma’rufun) juah lebih baik daripada sedekah yang diberkan dengan cara yang menyakitkan (QS. Al-Baqarah, 2: 262-263).
Dus, sedekah huseks dalam Islam seharusnya dilakukan dengan cara-cara yang menyenangkan dan membahagiakan bagi kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan. Seorang laki-laki muslim yang mengikuti ajaran al-Qur’an tidak akan menggunakan posisinya sebagai suami untuk memaksakan kehendak dalam hal seks, apalagi memaksa dan melakukan kekerasan.
Seorang ustadz yang meresapi nilai-nilai al-Qur’an sebagaimana digambarkan di atas, juga, seharusnya mendakwahkan relasi kesalingan (mubadalah) antara suami dan istri, dimana kesenangan, kenikmatan, dan kebahagiaan yang timbul dari hubungan seks, adalah menjadi hak kedua belah pihak, sehingga keduanya, satu sama lain, harus sama-sama menikmati dan melayani, menerima dan memberi, terpenuhi kebutuhannya dan juga memenuhi kebutuhan pasangannya.
Paksaan dan kekerasan seksual tidak ada dalam kamus ajaran Islam, baik dari laki-laki kepada perempuan, maupun sebaliknya. Yang ditegaskan Islam adalah justru relasi suami istri yang bermitra dan berpasangan (zawaj), satu sama lain menjadi pakaian yang menutupi dan menghangatkan (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna), serta komitmen bersama untuk mewujudkan kasih sayang, ketenangan, dan kebahagiaan (sakinah, mawaddah, rahmah) untuk keduanya dan oleh keduanya.
Demikianlah bahwa sedekah hubungan seksual antara suami dan istri dalam perspektif mubadalah harus meletakkan keduanya pada posisi yang setera untuk bisa bahagia dan sekaligus membahagiakan. Meminta hak seks adalah sesuatu yang sah, baik suami maupun istri, tetapi harus diiringi juga dengan mendengarkan kebutuhan pasangan dan memenuhinya. Lalu, pahala yang didapatkan keduanya dari huseks itu adalah karena menikmati yang halal dan sekaligus karena melayani pasangan. Wallahu a’lam.
*) Pembahasan lebih lengkap mengenai hal ini bisa ditemukan di bab V (hal. 325-438) dari sebuah buku yang informasinya bisa klik di sini Qira’ah Mubadalah